SEPERTI
ingatan dan kenangan. Mata dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Tak
semua ingatan dapat bertumbuh kembang menjadi kenangan. Begitu pun, tak semua
mata mampu memancarkan pengelihatan. Tapi tentu saja, pengelihatan memiliki
matanya sendiri. Mata yang tak kasat, mata yang bisa memata-matai apa saja,
mata yang bisa melihat banyak hal. Seperti mataku, penglihatanku.
Baik,
akan mulai kuceritakan ceritaku.
Lampau. Ketika ibu
melahirkanku ke dunia, sepasang mataku tertinggal di surga. Aku tak tahu
bagaimana cara mengambilnya. Kupikir Tuhan tidak lupa menyematkannya, tapi memang
sengaja. Ketika itu, ibu menjerit tak karuan melihat oroknya. Seolah tak
percaya, ia bagai melahirkan boneka. Boneka yang tak sempurna. Boneka yang seram.
Boneka dengan dua liang menganga di wajahnya. Ketika itu, bapak pun mengutuki
takdir dengan serapah yang nyinyir. Maka, babak selanjutnya, ibu dan bapak
bersepakat untuk menaruhku dalam sebuah kardus dan melarungkanku ke sungai
kumuh yang berombang-ombing di belakang rumah. Hingga seorang pengemis renta
menemukanku. Ia merawatku. Hingga aku tumbuh menjadi bocah lelaki yang miris.
***
Tidakkah
kau percaya, jika Tuhan mengambil sesuatu darimu ia akan meninggalkan sesuatu
yang lain untukmu. Sesuatu yang jauh lebih berharga. Memang, Tuhan tidak
menyematkan sepasang mata di wajahku. Tapi, ia menalikan pita suara yang sangat
sempurna di tenggorokanku. Tidakkah dapat kau dengar suaraku yang melengking
seperti nafiri di malam hari. Tidakkah pula kau simak liukan yang mendayu bagai
gesekan biola itu. Betapa aku sendiri tak tahu, bahwa suaraku menjadi begitu mahal
berharga.
Selepas
ibu yang merawatku ‘mangkat’ dimakan penyakit dan usia. Aku pun mulai terjun ke
jalan-jalan. Tongkatku mulai berayun di trotoar trotoar. Lantaran dibesarkan
oleh seorang pengemis, aku pun menjadi seorang pengemis. Tapi tidak juga,
karena mereka tidak melemparkan koin itu cuma-cuma. Karena aku menjual lagu, menjual
suara. Memang hanya itu yang bisa kulakukan untuk mempertahankan nyawa. Tidak
lain.
Kian waktu, kian
masyhurlah kabar tentang lelaki buta yang menjual suaranya. Kian merebaklah
kabar perihal suara titisan nafiri itu. Suara yang seperti emas. Suara yang konon
di dalamnya tersemat mantra-mantra. Suara yang begitu menentramkan hati siapa
saja yang mendengarnya. Aku sendiri tak bisa menyimak secara pasti, benarkah
suaraku seemas itu?
Setapak demi setapak,
takdir menuntunku ke jalannya. Bukankah sudah kukatakan, jika Tuhan mengambil
sesuatu darimu ia akan meninggalkan sesuatu yang lain untukmu. Sesuatu yang
jauh lebih berharga. Tahukah kau, musabab suara itulah, Tuhan mengirim
seseorang yang bernama produser rekaman. Entah apa itu. Tapi, pelan perlahan,
ia membelikanku sabun, baju baru, sepatu, parfum, kacamata, dan mengontrakkanku
sebuah rumah di bilangan Jakarta. Tempat di mana para artis dan musisi
melabuhkan diri.
Lantas, aku pun mulai
dikenalkan dengan tempat-tempat baru yang bernama: salon, studio rekaman,
panggung, dan seterusnya dan seterusnya... Hingga aku turut mengenal istilah-istilah
baru: kontrak, manajer, clip, shooting, talk shaw, dan seterusnya dan
seterusnya...
Namun sungguh, di dunia
baru ini aku melihat banyak sekali ihwal menjijikkan. Mengapa aku bisa bicara
seperti itu? Karena aku bisa melihatnya. Bukankah sudah kukatakan, bahwa mata
dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Aku tak punya mata, tapi aku bisa
melihat segalanya, dengan jelas. Sangat jelas. Semua hanya butuh pembiasaan.
Dan pembiasaan itu telah kulakukan sejak pertama kali aku menghirup udara
dunia. Itu lebih dari cukup.
Kau ingin tahu apa yang
kulihat? Baik. Aku bisa melihat aneka warna di dalam duniaku, dunia yang kata
orang-orang tak memiliki warna selain hitam, persis seperti ketika mata mereka
terpejam. Harus kukatakan berapa kali pada mereka, bahwa mata dan pengelihatan
adalah dua hal yang berbeda. Penglihatan tak ada hubungannya dengan mata. Dan
pengelihatan sudah lebih dari cukup bagiku.
Dengan pengelihatan itu
aku bisa melihat warna ketulusan, yang berwarna hijau berkilau. Aku sendiri tak
tahu seperti apa warna hijau. Kata orang-orang seperti warna dedaunan. Akupun
tak tahu seperti apa itu warna dedaunan. Tapi aku menyebut warna ketulusan itu
dengan warna hijau. Warna yang di dunia baruku sudah hampir lenyap. Sungguh,
warna hijau itu tak tersemat sama sekali pada diri produser ataupun majaer
pribadiku. Yang kulihat pada diri mereka adalah perpaduan warna merah dan
hitam. Dan itu warna kebohongan. Entah, kebohongan seperti apa yang telah
mereka suguhkan kepadaku aku tak tahu.
Masih banyak warna yang
dapat kupilah dari pengelihatanku. Warna kasih yang putih. Warna amarah yang
merah. Warna haru yang biru. Warna pilu yang ungu. Warna bangga yang jingga.
Warna gairah yang kuning. Warna kebaikan yang bening. Warna penghianatan yang hitam.
Warna kesombongan yang kelabu. Dan warna asmara yang merah jambu.
Warna demi warna
berpencar di hadapanku, dalam penglihatanku. Peristiwa demi peristiwa berlalu
dengan warnanya sendiri-sendiri. Dengan bekasnya sendiri-sendiri. Hingga
tibalah waktu di mana warna merah jambu mengepul dalam kepalaku.
Di antara sekian
penggemar(suara)ku, aku mengenal seorang gadis yang lugu. Dari suaranya,
caranya bertutur, aku bisa melihat warna-warna indah itu mengepul dari
tubuhnya. Kupikir ia tak terlalu cantik. Aku pun tak paham seperti apa itu
cantik. Kata orang-orang, cantik adalah enak dipandang mata. Dan karena aku tak
memiliki mata, cantik tidak masuk dalam hitunganku. Cantik dalam hitunganku
adalah cantiknya warna-warna itu. Warna yang mampu merias penglihatanku.
Setelah menguliti
gelagatnya, berangsur waktu, aku memberanikan diri untuk memintanya dari
genggaman kedua orang tuanya. Kami pun menikah. Berita itu menyembur seperti
kembang api, merebak luas di media, di tivi-tivi, di koran-koran. Beberapa
cericit sempat kudengar, bahwa istriku menikah denganku lantaran uang dan
kepopuleran.
Gadis mana yang mau
menikah dengan orang tak punya mata, orang yang kemana-mana terus berkedok kaca
mata. Iiiih seram. Apakah mereka juga akan bercinta dengan memakai kaca mata, hahaha….
Sudahlah, itu gampang
sekali dinalar. Dia menikah pasti karna uangnya. Karena apa lagi? Siapa yang
tidak mau, sekali show saja honornya bisa
jutaan…
Bukankah dengan uang
itu dia bisa mencari lelaki lain secara diam-diam. Suaminya kan buta, tak tahu
apa-apa. Kasihan ya…
Kalau begitu, aku juga tidak
keberatan menikah dengannya, maksudku menikah dengan uangnya hahaha….
Suara-suara semacam itu
begitu runcing, berwarna hitam kelabu dan baunya sangat busuk. Aku
mengabaikannya mentah-mentah.
Namun, bersilang waktu,
warna-warna indah itu tiba-tiba menguap dari tubuh istriku. Di sini, aku baru
menyadari bahwa cericit orang-orang itu tak sepenuhnya salah. Tidak pernah
terpikirkan olehku, hingga kami memiliki anak satu, ketika naik ke ranjang,
istriku selalu meminta mematikan lampu. Bukankah itu bisa berarti bahwa ia tak
mau melihat liang di wajahku ketika kami bercinta. Mungkin benar, ia jijik,
atau malah takut. Entahlah.
Setelah terbiasa dengan
gelimang uang. Perangainya memang sedikit berbeda. Warna-warna indah yang dulu pernah
mengaura dari tubuhnya pun perlahan lenyap. Mungkin salahku juga, masalah keuangan
dalam keluarga kami, sepenuhnya kupercayakan padanya. Tanpa sepengetahuanku, ia
pun mulai membayar pembantu baru dan perawat anak. Tentu itu ia maksudkan
supaya waktunya lebih leluasa. Ia pun mulai memperbanyak kesibukan di luar
rumah: arisanlah, shopinglah, reunianlah, pertemuan ibu-ibulah, inilah, itulah,
taiklah… Dan ia melakukan semua itu tanpa merasa rikuh. Seolah aku tidak tahu
apa saja yang ia lakukan di luar rumah, hanya lantaran aku tak punya mata.
Hari-hariku kian
terpuruk saja. Apalagi kian hari karirku kian meredup. Kau tahu, kan, di dunia
artis rejeki adalah musim-musiman. Setelah namaku tenggelam. Kedok istriku
terbuka dengan sempurna. Tapi tetap saja, tanpa mata kasat aku tak bisa berbuat
apa-apa.
Kalau sudah begini,
rasanya aku ingin mengambil sepasang mataku yang tertinggal di surga. Supaya
aku bisa kemana-mana. Supaya aku bisa benar-benar mengawasi kelakuan istriku. Supaya
aku bisa menjadi kepala rumah tangga yang bisa segalanya. Lebih dari itu aku bisa
menatap wajah anakku yang sudah seperti tak punya ibu.
Beberapa kali, sebagai
suami, aku memperingatkannya. Supaya ia mencurahkan perhatian lebih pada anak
kami satu-satunya. Namun, ia malah mencak-mencak, ia malah balik menyemprotku
dengan kata-kata yang menyakitkan. Katanya ia sibuk kerja, ia juga
menyebut-nyebut bahwa setelah karirku menurun, aku tak ubahnya patung yang tak
bisa memberi kontribusi apa-apa pada keluarga. Bahkan, dengan terang-terangan
ia mengaku bosan hidup denganku. Ia pikir, orang buta tak punya hati dan tak
bisa menangis, sehinga seenak perut ia melontarkan kata-kata yang begitu bengkok
dan runcing seperti kail pancing.
***
Cukup sampai di sini.
Cukup. Aku lelaki. Aku punya hati. Aku suami. Aku punya harga diri. Maka, pada
sebuah malam ketika kami tidur saling memunggungi. Diam-diam, dari belakang,
aku membekap kepalanya dengan bantal. Kuat-kuat. Aku melihatnya meronta.
Kakinya menendang-nendang seperti bayi. Tapi tetap saja, ia perempuan yang
tenaganya tak sebanding dengan lelaki. Aku tertawa. Bisa kubayangkan seringai
wajahku saat itu. Aku tahu itu bukan dendam. Itu hanya pelajaran berharga yang
harus ia terima. Pelajaran berharga yang harus ia bawa sampai ke lahadnya.
Setelah ia diam tak
bergerak. Kurasakan ada yang redam di dadaku. Betapa nyata hatiku turut buta
oleh luka. Aku tahu alasan yang sebenarnya, mengapa aku nekat mengakhiri
hidupnya. Ya, karena aku sudah tak tahan dengan warna hitam dan bau busuk yang
akhir-akhir ini menguap dari tubuhnya. Warna penghianatan yang terlampau
kental. Hingga baunya yang busuk meruah ke seluruh rumah, menyebar ke penjuru kamar.
Ia sungguh keliru, jika
ia pikir, selama ini, aku tak tahu menahu bahwa diam-diam, ia sudah tidur seranjang
dengan manajerku sendiri.***
Malang, 12 Oktober 2011
0 komentar:
Posting Komentar