Penglihatan (Surabaya Post, Minggu 18 Desember 2011)

SEPERTI ingatan dan kenangan. Mata dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Tak semua ingatan dapat bertumbuh kembang menjadi kenangan. Begitu pun, tak semua mata mampu memancarkan pengelihatan. Tapi tentu saja, pengelihatan memiliki matanya sendiri. Mata yang tak kasat, mata yang bisa memata-matai apa saja, mata yang bisa melihat banyak hal. Seperti mataku, penglihatanku.
            Baik, akan mulai kuceritakan ceritaku.
Lampau. Ketika ibu melahirkanku ke dunia, sepasang mataku tertinggal di surga. Aku tak tahu bagaimana cara mengambilnya. Kupikir Tuhan tidak lupa menyematkannya, tapi memang sengaja. Ketika itu, ibu menjerit tak karuan melihat oroknya. Seolah tak percaya, ia bagai melahirkan boneka. Boneka yang tak sempurna. Boneka yang seram. Boneka dengan dua liang menganga di wajahnya. Ketika itu, bapak pun mengutuki takdir dengan serapah yang nyinyir. Maka, babak selanjutnya, ibu dan bapak bersepakat untuk menaruhku dalam sebuah kardus dan melarungkanku ke sungai kumuh yang berombang-ombing di belakang rumah. Hingga seorang pengemis renta menemukanku. Ia merawatku. Hingga aku tumbuh menjadi bocah lelaki yang miris.
***
            Tidakkah kau percaya, jika Tuhan mengambil sesuatu darimu ia akan meninggalkan sesuatu yang lain untukmu. Sesuatu yang jauh lebih berharga. Memang, Tuhan tidak menyematkan sepasang mata di wajahku. Tapi, ia menalikan pita suara yang sangat sempurna di tenggorokanku. Tidakkah dapat kau dengar suaraku yang melengking seperti nafiri di malam hari. Tidakkah pula kau simak liukan yang mendayu bagai gesekan biola itu. Betapa aku sendiri tak tahu, bahwa suaraku menjadi begitu mahal berharga.
            Selepas ibu yang merawatku ‘mangkat’ dimakan penyakit dan usia. Aku pun mulai terjun ke jalan-jalan. Tongkatku mulai berayun di trotoar trotoar. Lantaran dibesarkan oleh seorang pengemis, aku pun menjadi seorang pengemis. Tapi tidak juga, karena mereka tidak melemparkan koin itu cuma-cuma. Karena aku menjual lagu, menjual suara. Memang hanya itu yang bisa kulakukan untuk mempertahankan nyawa. Tidak lain.
Kian waktu, kian masyhurlah kabar tentang lelaki buta yang menjual suaranya. Kian merebaklah kabar perihal suara titisan nafiri itu. Suara yang seperti emas. Suara yang konon di dalamnya tersemat mantra-mantra. Suara yang begitu menentramkan hati siapa saja yang mendengarnya. Aku sendiri tak bisa menyimak secara pasti, benarkah suaraku seemas itu?
Setapak demi setapak, takdir menuntunku ke jalannya. Bukankah sudah kukatakan, jika Tuhan mengambil sesuatu darimu ia akan meninggalkan sesuatu yang lain untukmu. Sesuatu yang jauh lebih berharga. Tahukah kau, musabab suara itulah, Tuhan mengirim seseorang yang bernama produser rekaman. Entah apa itu. Tapi, pelan perlahan, ia membelikanku sabun, baju baru, sepatu, parfum, kacamata, dan mengontrakkanku sebuah rumah di bilangan Jakarta. Tempat di mana para artis dan musisi melabuhkan diri.
Lantas, aku pun mulai dikenalkan dengan tempat-tempat baru yang bernama: salon, studio rekaman, panggung, dan seterusnya dan seterusnya... Hingga aku turut mengenal istilah-istilah baru: kontrak, manajer, clip, shooting, talk shaw, dan seterusnya dan seterusnya...
Namun sungguh, di dunia baru ini aku melihat banyak sekali ihwal menjijikkan. Mengapa aku bisa bicara seperti itu? Karena aku bisa melihatnya. Bukankah sudah kukatakan, bahwa mata dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Aku tak punya mata, tapi aku bisa melihat segalanya, dengan jelas. Sangat jelas. Semua hanya butuh pembiasaan. Dan pembiasaan itu telah kulakukan sejak pertama kali aku menghirup udara dunia. Itu lebih dari cukup.
Kau ingin tahu apa yang kulihat? Baik. Aku bisa melihat aneka warna di dalam duniaku, dunia yang kata orang-orang tak memiliki warna selain hitam, persis seperti ketika mata mereka terpejam. Harus kukatakan berapa kali pada mereka, bahwa mata dan pengelihatan adalah dua hal yang berbeda. Penglihatan tak ada hubungannya dengan mata. Dan pengelihatan sudah lebih dari cukup bagiku.
Dengan pengelihatan itu aku bisa melihat warna ketulusan, yang berwarna hijau berkilau. Aku sendiri tak tahu seperti apa warna hijau. Kata orang-orang seperti warna dedaunan. Akupun tak tahu seperti apa itu warna dedaunan. Tapi aku menyebut warna ketulusan itu dengan warna hijau. Warna yang di dunia baruku sudah hampir lenyap. Sungguh, warna hijau itu tak tersemat sama sekali pada diri produser ataupun majaer pribadiku. Yang kulihat pada diri mereka adalah perpaduan warna merah dan hitam. Dan itu warna kebohongan. Entah, kebohongan seperti apa yang telah mereka suguhkan kepadaku aku tak tahu.
Masih banyak warna yang dapat kupilah dari pengelihatanku. Warna kasih yang putih. Warna amarah yang merah. Warna haru yang biru. Warna pilu yang ungu. Warna bangga yang jingga. Warna gairah yang kuning. Warna kebaikan yang bening. Warna penghianatan yang hitam. Warna kesombongan yang kelabu. Dan warna asmara yang merah jambu.
Warna demi warna berpencar di hadapanku, dalam penglihatanku. Peristiwa demi peristiwa berlalu dengan warnanya sendiri-sendiri. Dengan bekasnya sendiri-sendiri. Hingga tibalah waktu di mana warna merah jambu mengepul dalam kepalaku.
Di antara sekian penggemar(suara)ku, aku mengenal seorang gadis yang lugu. Dari suaranya, caranya bertutur, aku bisa melihat warna-warna indah itu mengepul dari tubuhnya. Kupikir ia tak terlalu cantik. Aku pun tak paham seperti apa itu cantik. Kata orang-orang, cantik adalah enak dipandang mata. Dan karena aku tak memiliki mata, cantik tidak masuk dalam hitunganku. Cantik dalam hitunganku adalah cantiknya warna-warna itu. Warna yang mampu merias penglihatanku.
Setelah menguliti gelagatnya, berangsur waktu, aku memberanikan diri untuk memintanya dari genggaman kedua orang tuanya. Kami pun menikah. Berita itu menyembur seperti kembang api, merebak luas di media, di tivi-tivi, di koran-koran. Beberapa cericit sempat kudengar, bahwa istriku menikah denganku lantaran uang dan kepopuleran.
Gadis mana yang mau menikah dengan orang tak punya mata, orang yang kemana-mana terus berkedok kaca mata. Iiiih seram. Apakah mereka juga akan bercinta dengan memakai kaca mata, hahaha….
Sudahlah, itu gampang sekali dinalar. Dia menikah pasti karna uangnya. Karena apa lagi? Siapa yang tidak mau, sekali show saja honornya bisa jutaan…
Bukankah dengan uang itu dia bisa mencari lelaki lain secara diam-diam. Suaminya kan buta, tak tahu apa-apa. Kasihan ya…
Kalau begitu, aku juga tidak keberatan menikah dengannya, maksudku menikah dengan uangnya hahaha….
Suara-suara semacam itu begitu runcing, berwarna hitam kelabu dan baunya sangat busuk. Aku mengabaikannya mentah-mentah.
Namun, bersilang waktu, warna-warna indah itu tiba-tiba menguap dari tubuh istriku. Di sini, aku baru menyadari bahwa cericit orang-orang itu tak sepenuhnya salah. Tidak pernah terpikirkan olehku, hingga kami memiliki anak satu, ketika naik ke ranjang, istriku selalu meminta mematikan lampu. Bukankah itu bisa berarti bahwa ia tak mau melihat liang di wajahku ketika kami bercinta. Mungkin benar, ia jijik, atau malah takut. Entahlah.
Setelah terbiasa dengan gelimang uang. Perangainya memang sedikit berbeda. Warna-warna indah yang dulu pernah mengaura dari tubuhnya pun perlahan lenyap. Mungkin salahku juga, masalah keuangan dalam keluarga kami, sepenuhnya kupercayakan padanya. Tanpa sepengetahuanku, ia pun mulai membayar pembantu baru dan perawat anak. Tentu itu ia maksudkan supaya waktunya lebih leluasa. Ia pun mulai memperbanyak kesibukan di luar rumah: arisanlah, shopinglah, reunianlah, pertemuan ibu-ibulah, inilah, itulah, taiklah… Dan ia melakukan semua itu tanpa merasa rikuh. Seolah aku tidak tahu apa saja yang ia lakukan di luar rumah, hanya lantaran aku tak punya mata.
Hari-hariku kian terpuruk saja. Apalagi kian hari karirku kian meredup. Kau tahu, kan, di dunia artis rejeki adalah musim-musiman. Setelah namaku tenggelam. Kedok istriku terbuka dengan sempurna. Tapi tetap saja, tanpa mata kasat aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kalau sudah begini, rasanya aku ingin mengambil sepasang mataku yang tertinggal di surga. Supaya aku bisa kemana-mana. Supaya aku bisa benar-benar mengawasi kelakuan istriku. Supaya aku bisa menjadi kepala rumah tangga yang bisa segalanya. Lebih dari itu aku bisa menatap wajah anakku yang sudah seperti tak punya ibu.
Beberapa kali, sebagai suami, aku memperingatkannya. Supaya ia mencurahkan perhatian lebih pada anak kami satu-satunya. Namun, ia malah mencak-mencak, ia malah balik menyemprotku dengan kata-kata yang menyakitkan. Katanya ia sibuk kerja, ia juga menyebut-nyebut bahwa setelah karirku menurun, aku tak ubahnya patung yang tak bisa memberi kontribusi apa-apa pada keluarga. Bahkan, dengan terang-terangan ia mengaku bosan hidup denganku. Ia pikir, orang buta tak punya hati dan tak bisa menangis, sehinga seenak perut ia melontarkan kata-kata yang begitu bengkok dan runcing seperti kail pancing.
***
Cukup sampai di sini. Cukup. Aku lelaki. Aku punya hati. Aku suami. Aku punya harga diri. Maka, pada sebuah malam ketika kami tidur saling memunggungi. Diam-diam, dari belakang, aku membekap kepalanya dengan bantal. Kuat-kuat. Aku melihatnya meronta. Kakinya menendang-nendang seperti bayi. Tapi tetap saja, ia perempuan yang tenaganya tak sebanding dengan lelaki. Aku tertawa. Bisa kubayangkan seringai wajahku saat itu. Aku tahu itu bukan dendam. Itu hanya pelajaran berharga yang harus ia terima. Pelajaran berharga yang harus ia bawa sampai ke lahadnya.
Setelah ia diam tak bergerak. Kurasakan ada yang redam di dadaku. Betapa nyata hatiku turut buta oleh luka. Aku tahu alasan yang sebenarnya, mengapa aku nekat mengakhiri hidupnya. Ya, karena aku sudah tak tahan dengan warna hitam dan bau busuk yang akhir-akhir ini menguap dari tubuhnya. Warna penghianatan yang terlampau kental. Hingga baunya yang busuk meruah ke seluruh rumah, menyebar ke penjuru kamar.
Ia sungguh keliru, jika ia pikir, selama ini, aku tak tahu menahu bahwa diam-diam, ia sudah tidur seranjang dengan manajerku sendiri.***
Malang, 12 Oktober 2011

0 komentar: