MAHISA
bangkit dari rebahnya. Mula-mula yang menyaput pengelihatannya hanya remang. Remang
yang sangat kental dan lapang. Ia tak tahu, apa ia baru siuman dari pingsan,
atau bangun dari tidur. Ia hanya merasa, bahwa tubuhnya sangat kotor dan
lengket. Ia mencoba berdiri. Meregangkan otot yang terasa kaku, mematahkan
leher dan menekukkan pinggang ke kiri dan ke kanan. Ia terbelalak dan hampir
menjerit ketika menyadari sekujur tubuhnya telah dibaluri lumpur. Sial! Lumpur
apa ini?
Mahisa menguncang-guncangkan
badan. Lumpur di tubuhnya berhamburan ke mana-mana. Dari dulu Mahisa memang
sangat membenci lumpur, segala sesuatu yang lembab, yang becek, yang kotor. Jadi
tak mungkin ia sudi bergumul dengan lumpur. Tapi yang membaluri tubuhnya memang
benar-benar lumpur. Ia kipat-kipatkan keduan tangannya. Kampret! Ini lumpur
dari mana? Ia masih tercengang.
***
Kini, Mahisa mengedarkan
pandangannya seperti orang bingung. Ia sadar tengah tersesat. Tersesat di
tempat yang asing. Langit sangat gelap. Lebih gelap dari mendung. Awan-awan
tampak seperti gumpalan lumpur yang menggantung di langit. Kakinya pun terasa
becek. Ia menunduk. Genangan lumpur juga menenggelamkan mata kakinya. Sial! Mimpi
buruk macam apa ini? Ia masih belum percaya.
Sejauh
paku pandang, yang ia tangkap hanya lumpur. Cairan pekat yang terus meleleh dan
sesekali menggelembung. Rumah-rumah, jalan-jalan, gedung-gedung, pepohonan, semuanya
sempurna terbalut lumpur. Ia menampar-nampar pipinya. Melebar-nanarkan kelopak
matanya. Tapi yang ia lihat memang benar-benar lumpur. Ini tempat yang sangat
aneh, bahkan untuk sebuah mimpi buruk, pikirnya. Ia memang suka traveling, berpetualang ke tempat-tempat
yang jauh. Tapi ia tak pernah berharap terdampar di tempat seperti ini. Tempat
yang sangat kotor dan becek. Sial! Lagi-lagi ia mengumpat.
Mahisa
menghela napas dan mulai mengayunkan kaki. Aku harus mencari seseorang yang
bisa menjelaskan semua ini, gumamnya. Ahai, apa lagi ini. Lihatlah! Orang
pertama yang ia temui sangat menyeramkan. Seluruh tubuhnya juga dibaluti
lumpur, hanya tampak kerling matanya saja yang seperti tersembunyi di balik
topeng. Mahisa ingin menyapa orang itu. Tapi orang itu terus melaju seperti
batu berjalan. Ia tak diorangkannya. Mahisa kembali melangkah dengan tatapan
yang masih cengang. Aku harus menemukan seseorang yang lain, gumamnya lagi.
***
Orang kedua yang ia
temui adalah seorang perempuan. Tubuhnya juga terbalut lumpur, namun tidak
separah orang pertama tadi. Perempuan itu mengendong seorang bayi yang sangat
mulus dan bersih. Sangat kontras. Lumpur yang meleleh dari tubuh perempuan itu
sama sekali tak bisa menyentuh kulit si bayi. Lumpur yang menetes ke tubuh bayi
itu tampak seperti butiran air yang jatuh ke daun talas. Sama sekali tak
berbekas. Ia kian terheran-heran. Pemandangan yang unik, pikirnya. Di sini memang
banyak hal yang tidak lumrah, gerutunya dengan mulut menganga.
Mahisa mempercepat
langkahnya, terlupa ingin menanyakan sesuatu. Aku harus mencari manusia yang
benar-benar masih manusia, bukan lumpur berjalan, gerutunya lagi. Beberapa
orang berikutnya, yang ia jumpai, semuanya berbaju lumpur. Hanya lumpur dan
lumpur. Para manusia lumpur. Benaknya sudah bisa sedikit mencerna: barangkali aku
memang tersesat, di kota lumpur.
***
Mahisa menghambur ke sebuah
bangunan besar dengan kubah dan tiang-tiang yang menjulang serupa istana—yang secara
tidak sengaja kau temukan di sudut jalan—hanya tempat itu yang lumpurnya tidak
terlalu tebal. Ia mulai memasuki tempat itu, melewati sebuah pintu yang lebar
dan tinggi. Matanya teredar ke penjuru tempat itu sampai sudut-sudutnya. Lumpur
di tempat itu hampir mengering. Lumpurnya sudah mulai mengelupas. Di dalam
tempat itu, dari balik sebuah mimbar, tiba-tiba seseorang berdiri. Seorang laki-laki
dengan gamis putih yang hampir menutupi kaki. Wajah orang itu sangat bersih,
jernih, tak setitik kotoran pun tampak di sana. Wajah itu bersinar. Apa ia malaikat?
“Salam...” Mahisa
mengangkat suara. Sedikit lumpur menyembur dari mulutnya. “Permisi, salam…” Mahisa
mengulang salamnya. Lelaki itu menoleh.
“Ya? Salam.” lelaki itu
memicingkan matanya. “Siapa?”
Buru-buru Mahisa
menyalami lelaki itu. Lelaki itu menyambut tangan Mahisa yang masih basah oleh
lumpur. Buru-buru lelaki itu melepaskan jabatan tangannya.
“Aku baru melihatmu. Kau
musafir di kota ini?” Tanya lelaki itu.
“Sepertinya saya
tersesat, Tuan.” Jawab Mahisa gusar.
“Tersesat? Tersesat
bagaimana? Semua orang di kota ini memang tersesat. Tersesat oleh lumpur. ”
“Tersesat oleh lumpur?”
Lelaki itu mengangguk,
menyentuh pundak Mahisa dan mengajaknya duduk. Lelaki itu seperti menyelami
kebingungannya.
“Pasti kau pikir, kota
ini aneh. Sungguh masih banyak kota-kota aneh lainnya yang akan kau jumpai di
luar sana. Kau ini seperti tak tahu usia zaman saja.”
Mahisa mengernyitkan
alis. Mulutnya rapat.
“Ini kota lumpur. Sejak
aku lahir, kota ini sudah begini. Hanya saja, sewaktu aku kecil, lumpurnya
tidak separah ini.”
“Kota lumpur?
Bagaimana…” Mahisa ling-lung oleh pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba
berkecambah dalam kepalanya.
Cukup dalam lelaki itu menyelami
kepanikan Mahisa. Maka sebelum Mahisa meminta penjelasan lebih. Lelaki itu
sudah memulai ceritanya….
Di kota ini,
lumpur terus meleleh dan akan terus meleleh. Semua penduduk kota ini berpakaian
lumpur. Pakaian apapun yang mereka kenakan, lambat laun akan tergenangi lumpur
dan akhirnya menjadi lumpur. Menyatu dengan tubuh mereka. Menyatu dengan
lumpur. Bukan hanya itu, seperti yang kau lihat sendiri…. rumah-rumah, gedung-gedung,
pohon-pohon, tanah, bahkan langit, semua utuh berbalur lumpur. Gelap ini akan
terus meleleh. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur
lumpur. Tentu kau tahu kenapa.
“Tapi kenapa…. Dari
mana…” Mahisa menyela.
“Hush… tidak baik
menyela orang bicara.” lelaki itu balas menyelanya, sebelum kemudian
melanjutkan ceritanya…
Tak seorangpun tahu
dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, nenek moyang kami, lumpur
itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan
kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu
pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan lumpur yang
muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak
mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.
Lelaki itu terpekur.
“Apa ceritamu sudah
selesai?” Mahisa memberanikan diri menyela.
“Hanya itu yang
kutahu.”
Isi kepala Mahisa
menderu, mencoba mencerna cerita itu.
“Berarti
penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?” ungkapnya kemudian.
“Cuma
nabi dan bayi, manusia yang terjaga dari dosa.”
“Tapi
rumah-rumah, jalan-jalan, gedung-gedung, masjid, gereja, tempat ini… Bagaimana
mereka melakukan dosa? Bagaimana mereka bisa berlumpur?”
“Kau
tak tahu, ya? Dosa itu memiliki lidah yang menjulur, dan bisa menjilati apa
saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di
mana manusia melakukan dosa, di situ lumpur juga akan muncul.”
“Tapi,
mana ada orang berbuat dosa di tempat ibadah?”
“Bukankah
dosa adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dosa bisa dilakukan di mana saja,
kapan saja.”
Mahisa
mengangguk ragu, kemudian mematung.
Lelaki
di sampingnya tersenyum, seperti hendak mengisyaratkan sesuatu.
“Lumpur ini benar-benar
menghalangi kenikmatan,” gumam Mahisa seperti melamun.
“Begitulah
lumpur.”
“Benar. Sangat menghalangi
kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari
mulut kita ikut menyembur.”
“Begitulah!”
“Kita juga tak bisa
makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”
“Tapi warga di kota ini
sudah terbiasa.”
“Terbiasa? Bagaimana
mungkin mereka bisa tertidur pulas dengan tubuh becek dan kotor semacam itu.”
“Buktinya mereka bisa.”
“Aku jadi bertanya-tanya,
apakah mereka juga bisa bercinta dengan nyaman.” Mahisa menghela napas.
“Ini sudah berlangsung
lama.”
“Tidak adakah cara
untuk menghentikannya?”
“Menghentikan apa?”
“Ya lumpur ini!”
“Hahaha,
kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendiri lah!”
Mahisa
membisu. Matanya kembali menyalak, memperhatikan ruangan tempatnya duduk. Ia juga
melihat satu demi satu lumpur kering yang menempel di dinding dan lantai tempat
itu mulai mengelupas.
“Aku
harus membersihkan lumpur di tempat ini. Ini rumah Tuhan.” Lelaki itu berdiri
dan mengambil sapu yang tergeletak di sebelahnya.
“Aku
hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin ada lumpur di rumah Tuhan.” Mahisa
ikut berdiri.
“Bukankah
rumah Tuhan itu tempat umum. Siapa pun boleh masuk.” Lelaki itu berkata sambil
terus mengayunkan sapunya.
“Bahkan
mereka yang sangat kotor dan berlumpur-lumpur?”
“Ya.
Bahkan mereka yang sangat kotor dan berlumpur-lumpur.”
Lelaki itu menghentikan
gerakan sapunya dan kembali bercerita…
Tempat ini sebenarnya
adalah tempat paling efektif untuk berbilas. Hanya saja jarang sekali orang
yang mau datang ke tempat ini. Kata mereka tempat ini panas. Sebenarnya panas
inilah yang bisa membuat lumpur di tubuh mereka mengering lalu mengelupas dan
bersih. Pasti kau bertanya-tanya, mengapa mereka tidak membilas tubuh mereka
dengan air saja. Tidak. Sesuatu yang basah takkan bersih oleh yang basah. Akan
tetap basah. Untuk bersih mereka butuh menjadi kering. Dan untuk menjadi kering
mereka membutuhkan pengering. Lagi pula, tak ada lagi air bersih di kota ini. Yang
ada hanya air berlumpur. Semuanya sudah menyatu dengan lumpur. Di kota ini,
semua sudah sempurna. Berlumpur. Dan tak ada yang bisa mengeringkan lumpur itu
kecuali panas.
“Mmm, maaf menyela. Tapi bolehkan saya menanyakan
sesuatu…”
Lelaki itu tak menjawab. Tapi Mahisa tak
peduli.
“Panas itu api, api itu
neraka… bagaimana mungkin rumah Tuhan menjadi neraka?”
“Nyatanya, begitulah
yang terjadi di kota ini. Mereka sudah terbiasa dengan lumpur. Bahkan mereka
menikmatinya. Jika mereka mengeringkan lumpur di tubuh mereka. Mereka akan
gelisah dan kesakitan. Seperti terbakar. Itulah yang terjadi.”
Mahisa manggut-manggut.
Heran bercampur senang. Heran dengan penduduk kota yang lebih suka
berkotor-kotor. Senang karena lumpur yang membaluri tubuhnya sudah mulai
mengering. Padahal, baru beberapa saat yang lalu ia duduk di tempat itu. Mahisa
menekur dan menggumam dalam hati: sekarang aku tahu bagaimana cara mengeringkan
lumpur ini.
***
Tiba-tiba pikiran
Mahisa berkelana pada lelaki itu. Lelaki di hadapannya yang wajahnya sangat
bersih bersinar. Tak setitik noda pun melekat di sana. Bukankah lelaki itu tadi
bilang, cuma bayi dan nabi manusia yang tubuhnya tidak dibaluri lumpur. Lelaki
itu jelas bukan bayi. Serta merta Mahisa menegakkan kepalanya, ia melonjak
seperti baru menyadari sesuatu. Tapi lelaki yang bercerita panjang lebar di
depannya barusan sudah raib, entah kemana. Seperti menghilang begitu saja. Di
tempat lelaki itu berdiri, Mahisa seperti menemukan sisa-sisa cahaya.
Sementara, dari luar
tempat itu, sayup-sayup ia mendengar suara berisik dentuman gelas dan botol
beradu, diselingi tawa-tawa perempuan yang terdengar genit dan menggoda. Juga
suara laki-laki dan perempuan yang sahut-sahutan seperti petir. Suara perempuan
menangis. Suara anak kecil merintih. Suara dadu menggelinding. Suara orang
berpesta. Gemeletak bola bilyard yang diikuti kata-kata tajam. Semua beradu, bagai
menusuk telinganya.
Mahisa bangkit dan menilik
keluar tempat itu, dari kejauhan ia melihat orang-orang berlalu-lalang dengan
lumpur yang kian menebal di tubuh mereka. Dari kejauhan mereka tampak seperti bongkahan
batu berjalan. Batu yang penuh lumpur. Lumpur yang terus meleleh. Seperti es
krim cokelat yang mencair. Jalan-jalan, pepohonan, rumah-rumah, semua juga tampak
menggumpal oleh lumpur. Lumpur yang tak henti-henti menetes.
Mahisa tertegun. Matanya
berhalimun. Bibirnya berbisik runtun. Itu bukan lumpur! Itu dosa!***
Malang,
2010-2011
0 komentar:
Posting Komentar