Sudah hampir seminggu aku dan istriku menempati rumah baru kami. Tapi, selama hampir seminggu itu, tak ada seorang pun dari tetangga kami yang berhasil kami temui untuk kami ajak bertegur sapa atau semacamnya. Lebih dari itu, kami merasa kasihan melihat anak kami yang masih tujuh tahun, selalu bermain dengan mainannya sendiri. Terkadang ia mengajak boneka singa raksasanya bicara, diajaknya boneka singa itu balapan mobil atau perang-perangan. Terlihat sangat menyedihkan untuk seorang anak kecil.
Di perumahan ini, aku memang tak pernah melihat anak kecil. Entahlah. Orang-orang di perumahan ini pun tampak seperti hantu, sosoknya misterius dan gelap. Lambat laun aku merasa, bahwa hunian yang mereka sebut real estate ini tak ubahnya kuburan. Sepi di siang hari, dan semakin sepi di malam hari.
Sebenarya antara rumah satu dan rumah yang lain nyaris tidak berjarak, kecuali oleh sebuah tembok yang tampaknya juga tidak terlalu tebal. Ketika tetangga di balik tembok sebelah kanan kami tengah mandi, kami bisa mendengar suara guyuran air jelas sekali. Bahkan ketika tetangga sebelah kiri kami tengah bercinta, sayup-sayup kami bisa mendengar suara lenguh dan kereotan ranjang. Aku jadi bertanya-tanya, apakah real estate yang harganya hampir ratusan juta ini, memang begini nuansanya. Nyaman. Bebas dari gangguan. Sangking bebasnya hingga lebih cocok disebut kuburan. Hampir bisa dihitung jari berapa kali sehari orang-orang itu (tetangga kami) keluar dari rumah mereka.
Kupikir perumahan ini memang sekedar persinggahan atau tempat peristirahatan saja, sama sekali bukan tempat untuk silaturrahim atau mengenal orang. Pagi buta, selepas subuh, perumahan ini benar-benar mati, tampaknya belum ada seorang pun yang sudi bangun dari mimpinya. Sedikit siang, akan sedikit ramai oleh deruman mobil yang dipanaskan. Berikutnya gerbang-gerbang besi akan berderit tergeser dari tempatnya. Mobil-mobil dengan ‘robot’ di dalamnya akan meluncur satu persatu ke tujuan masing-masing. Bahkan mereka tak sempat memencet klakson sebagai sapaan, ketika mobil mereka bersimpangan.
Ketika waktu dhuha naik, perumahan itu akan kembali menyepi. Jangankan pemulung atau pengamen, tukang sayur pun dilarang masuk. Suasana sepi akan terus berlanjut hingga menjelang maghrib, ketika mobil-mobil mengkilat beserta ‘robot’ di dalamnya itu kembali mengandang. Selanjutnya, mereka lebih suka menghabiskan waktu dan lelah mereka seusai kerja dalam rumah masing-masing. Entah nonton tivi. Entah langsung tidur. Hampir saja terpikirkan olehku untuk menulis sebuah cerita tentang orang-orang kota yang tinggal di pekuburan mewah semacam ini. Ah, pasti akan menarik.
***
Malam hari di tempat ini terasa sangat lama berlangsung. Hawanya pun sedikit berbeda. Sangat atis dan wingit. Seolah ada banyak hal yang mencegah manusia untuk tidak keluyuran di malam hari. Memang, ketika matahari terbenam dan malam menggenang, berdiam diri di rumah terasa jauh lebih nyaman. Setidaknya, kami pun merasakan itu. Maka, kini kami tahu, mengapa orang-orang di sini lebih suka mendekam di rumah daripada berkeluyuran di luar.
Pada sebuah malam yang tak terduga, ketika listrik di area kami tiba-tiba padam, terjadi sebuah pemandangan yang indah sekaligus ganjil di area kami. Dalam keadaan gelap seperti itu istriku berteriak-teriak menyuruhku membeli lilin—karena kami memang tak pernah menyediakan lilin. Apakah ada penjual lilin di sekitar sini? Setidaknya aku harus keluar komplek dan mencari minimarket. Ketika baru saja aku beranjak keluar rumah, serta merta aku membeku di depan pintu, ternganga. Apa gerangan?
Kusaksikan puluhan, atau mungkin ratusan kunang-kunang tengah beterbangan dalam gelap. Mereka terbang ke sana kemari, menyisakan lesat cahaya di ekornya. Persis ratusan meteor yang berarak menuju suatu tempat.
“Wah… Indah sekali,” gumamku. Tampaknya istriku mendengarnya.
“Indah, apanya yang indah?” sahutnya dari dalam.
“Kunang-kunang.”
“Apa tadi, kau bilang kunang kunang?”
“Coba kemari!”
Istriku melangkah terburu-buru, beberapa detik berikutnya ia sudah berdiri terkagum-kagum di sebelahku. Si kecil turut menempel di paha ibunya.
“Apa ini asli kunang-kunang?” tanya istriku seperti tak percaya.
“Memangnya kau pikir itu apa? Peri cahaya?”
“Aku lupa kapan terakhir kali melihat kunang-kunang. Sekarang ini, kunang-kunang sudah termasuk jenis binatang langka. Susah sekali ditemui. Huf, aku hampir tak percaya kalau ini benar-benar kunang-kunang.”
“Di kampungku masih banyak.”
“Ah, di kampungmu aku juga tak pernah melihatnya.”
“Memangnya kapan kau memperhatikannya. Kunang kunang kan memang hidup di semak, di sawah sawah, atau di tepi-tepi sungai.”
“Tapi aneh, kok ada kunang-kunang, ya, di sini. Di sini kan hampir tidak ada sawah atau semak, apalagi sungai”
“Kau pernah dengar?”
“Apa?”
“Konon, kunang-kunang itu berasal dari kukunya orang mati.”
“Ih, jangan menakut-nakuti.”
“Jangan-jangan tempat ini dulunya kuburan. Hii…”
“Sekarang juga seperti kuburan.”
“Baiklah, waktunya berpesta di tengah kuburan,” sahutku hatta beranjak membuka gerbang depan, istriku dan si kecil mengekor di belakang.
Kami berdiri di tengah jalan, di gang depan rumah kami. Si kecil melompat-lompat sambil berteriak, “Kunang kunang. Kunang kunang, Ma.” Si kecil masih meluapkan ekspresi takjubnya pada binatang langka itu, hingga kami terkager-kaget ketika gerbang rumah sebelah berderit. Seorang anak kecil yang disusul seorang perempuan berteriak-teriak girang dan melompat lompat, sama seperti anakku.
“Horee! Kunang-kunang, Ma, kunang-kunang,” kata anak kecil itu berulang kali.
“Suka sama kunang-kunang ya, Dik?” tanpa mukaddimah istriku menghampiri perempuan itu, “Saya tetangga baru, rumah sebelah,” imbuh istriku.
Selanjutnya mereka saling berkenalan, saling sebut nama. Aku tak terlalu memperhatikan percakapan mereka selanjutnya. Aku dan si kecil asyik berlompatan, mencoba meraih kunang-kunang yang terbang rendah di anatar kami. Beberapa menit kemudian, muncul juga seorang anak kecil dengan lilin di tangan, seorang lelaki tambun mengekor di belakangnya.
“Mau lihat kunang-kunang juga, ya?” sapaku pada anak kecil itu.
“Iya, tadi denger ramai-ramai orang berteriak kunang-kunang, ini si kecil jadi penasaran dan pingin liat,” jawab lelaki tambun di belakangnya yang kemudian menghampiriku.
“Sutha,” ia menjabat tanganku, tapi, karena gelap, aku tak bisa melihat jelas raut mukanya, “baru pindahan, ya?” tanyanya pula.
“Iya, sekitar seminggu yang lalu.”
“Kalau saya sudah lumayan lama di sini.”
“Oh, ya?”
“Ya, mungkin, sudah ratusan tahun.”
Lelaki tambun itu seperti tertawa, kemudian menepuk pundakku dan beringsut meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Beberapa menit berikutnya, muncul lagi seorang lelaki kerempeng yang jalannya agak terbungkuk-bungkuk.
“Jarang-jarang bisa ngumpul bareng begini,” ungkapnya iba-tiba, “bawa korek?” tanyanya kemudian.
Aku menyodorkan korek api pada lelaki kerempeng itu, berikutnya lelaki kerempeng itu tampak mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kretek, ia menjetikkan korek api di tangannya, yang kemudian membakar kretek yang sudah ia jepit di bibir. Dari cahaya korek api yang menyala sekilas itu, tampak sekali bahwa lelaki itu memang sangat kurus. Ada cekungan lebar di pipinya. Ia tersenyum, senyum yang lebih mirip seringai. Selanjutnya, di mataku, lelaki kerempeng itu terlihat amat menyeramkan. Aku hanya melihat bara rokok yang mengapung dalam gelap. Setelah mengucapkan terima kasih, lelaki kerempeng itu bernajak dari hadapanku dan menghilang dalam gelap.
Selanjutnya, satu demi satu, suara gerbang pintu berdecit beriringan. Satu per satu, orang-orang muncul dari rumah mereka. Tapi, karena gelap, mereka semua tampak seperti sosok yang misterius.
Beberapa jenak berikutnya kami sudah asyik dengan diri kami masing-masing yang tengah terpesona pada kunang-kunang, yang seperti tak ada habisnya. Entah kapan dan dari mana, tiba-tiba saja ruas jalan depan rumah kami sudah dipenuhi kunang-kunang. Ratusan kunang-kunang. Ribuan kunang-kunang. Tak terhitung. Puluhan orang takjub. Menengadahkan kepala. Membentangkan tangan. Beberapa kunang-kunang hinggap di jari dan rambut mereka. Beberapa orang yang lain saling ngobrol satu sama lain. Hingga suara mereka mirip dengungan yang tak jelas. Semua berlangsung dalam remang. Remang yang lebih dekat dengan gelap.
***
Entah berapa jam pesta kunang-kunang itu berlangsung. Sebelum ditimpa kejenuhan, aku segera masuk ke dalam rumah. Biarkan istriku dan si kecil menyusul nanti, begitu pikirku. Di dalam rumah, aku merebahkan badan di atas sofa. Masih dalam gelap. Sekilas aku berdiri, beranjak mendekati jendela. Orang-orang di luar sana masih asyik berpesta, dengan kunang-kunang. Beberapa orang membawa lentera dan berjalan ke sana kemari. Mengingatkanku pada pencari belut di sawah-sawah, di kampungku, ketika tengah malam tiba. Aku kembali merebahkan tubuhku di sofa. Hingga tak terasa, kantuk mengantarku ke alam lembutnya.
Ketika aku terbangun, dan kutengok jam dinding, waktu sudah menujukan pukul setengah lima pagi. Lampu sudah menyala, entah sejak pukul berapa. Aku bangkit dari rebah dan melihat istriku sudah berbaring memeluk guling di kasurnya. Tapi, si kecil tak ada di sampingnya. Aku memanggil-manggil si kecil berulang-ulang. Tapi nihil, tak ada jawaban, aku terus menyerukan namanya, sampai istriku terbangun. Kata istriku, si kecil sudah ia ajak masuk rumah semalam, malah sudah tertidur dalam pelukannya.
Kami menengok pintu dan gerbang depan, semua masih rapi terkunci. Aku kembali menelusuri kamar demi kamar, kemudian garasi, kamar mandi, sampai teras depan. Berulang-ulang. Tapi tetap saja, kami tidak menemukan jejak si kecil. Tiba-tiba aku didera cemas tanpa sebab. Istriku malah sudah sesenggukan. Kian detik, rasa cemas itu menggunung menjadi ketakutan yang akut.
Dalam keadaan panik, kami pun memberanikan diri untuk mengetuk gerbang pintu rumah sebelah. Beberapa kali kami menyerukan salam sambil mengetuk-ngetuk gerbang bergembok itu. Beberapa saat kemudian, seorang perempuan baya, yang tampaknya seorang pembantu, muncul tergopoh-gopoh.
“Iya, ada apa?”
“Maaf, pagi-pagi mengganggu, Apa Anda melihat anak kecil yang semalam bersama kami?”
“Anak kecil?”
“Iya, anak kami, yang semalam melihat kunang-kunang di sini, ketika lampu mati.”
“Kunang-kunang? Semalam?”
“Iya. Anda melihatnya juga, kan?”
“Tapi semalam kami tidak kemana-kemana. Memang, mati lampu. Tapi tidak ada kunang-kunang. Semalam ketika ada orang berteriak kunang-kunang, saya sempat menengok keluar. Tapi tidak ada apa-apa. Saya cuma melihat seorang laki-laki, seorang perempuan, dan bersama seorang anak kecil yang melompat-lompat sambil berteriak ‘kunang-kunang, kunang-kunang’. Saya malah takut sendiri. Apa semalam itu Anda?”***
0 komentar:
Posting Komentar