Kososng, (Tabloid Cempaka, edisi 10 -16 Desember 2011)


 SENJA hari pertama. Ia terbaring di atas kasur yang serba putih. Tangan dan kakinya dirantai perban. Warna hitam bersemu merah merembes di sana. Matanya menganga menerawang langit-langit. Tatapan matanya kosong. Melompong. Tanpa isi. Di sebelahnya, seorang perempuan baya terduduk kaku. Matanya seperti langit sehabis hujan pertama. Sesekali ia bergeming untuk mengucek matanya yang seperti terkena kelilip. Lantas ia membeku lagi.
            Tadi pagi, sebuah bom meledak di gereja tempat ia melangsungkan resepsi. Gereja porak-poranda, seperti pesta pernikahannya, seperti jasad istrinya. Agaknya ia berangan-angan, ingin menyusul istrinya.
***
Aku berangkat dengan seorang gadis yang muncul dari dalam kepalaku (tepatnya dari ceruk mata yang bergemircik). Seorang gadis yang sangat sempurna. Gadis yang tak pernah kulihat sebelumnya.  Aku sempat yakin, bahwa dia adalah bidadari. Seluruh tubuhnya terhijab sutera putih yang berkibar-kibar. Utuh dari rambut sampai telapak kaki. Hanya matanya saja yang tak tertutup. Mata yang sangat indah. Mata yang tampak berkilat-kilat oleh kajal.  Seperti sebuah telaga di tengah padang gurun yang membara.
            “Ayo, apa yang kau tunggu?” bisiknya. Ia mengulurkan tangannya yang tertutup oleh kaus tangan putih yang sangat halus bak bulu kelinci. Aku menyambut tangannya. Halus itu turut membaluri telapak tanganku. Aku seperti terbang.
            “Kita mau ke mana?” tanyaku gamang.
            “Kita akan melakukan perjalanan panjang. Perjalanan yang sangat jauh.”
            “Iya, tapi ke mana?”
            “Nanti kau akan tahu.”
            Jemari kami pun bergamit. Setapak demi setapak ia memulai langkahnya. Aku mengikutinya di belakang. Jemariku masih utuh digamitnya. Seperti sebuah pesawat yang lepas landas. Tiba-tiba kami mengawang, tak berjejak tanah. Sesenti demi sesenti. Sekaki demi sekaki. Sehasta demi sehasta. Kami terbang. Kami mengawang di udara. Kami kami menyentuh pucuk-pucuk pohon. Seperti mimpi. Tanah dan pohon-pohon yang tadi kami pijak tampak kian mengecil. Kami terbang kian tinggi. Udara bergemerisik menampar-nampar tubuh kami. Menebar kibarkan pakaian putihnya yang lebar.
            “Wajahmu pucat. Kau takut?” desisnya bertaburan diantara uadara yang bergemerisik.
            “Aku hanya belum pernah terbang sebelumnya.”
            “Kini kau terbang.”
            “Ini benar-benar seperti mimpi.”
            “Kau tidak sedang bermimpi. Lihatlah di bawah sana. Dari atas semuanya tampak indah.”
            “Ini sungguh-sungguh menakjubkan.”
            Kami memperhatikan kerlip lampu yang berjajar-jajar. Pendarnya serupa senja yang tumpah di mata yang muram. Kami mengamati lekuk sungai yang tampak hitam kelam seperti tinta gurita. Kami mengamati kubah-kubah yang benderang seperti bola lampu raksasa yang mengapung di lautan yang kelam. Kami mengamati semuanya. Rembulan kuning langsat berlayar memayungi perjalanan kami. Awan gemawan beriring seperti cadik. Bintang gemintang bertebaran di mana-mana seperti cahaya lilin di kelam raya. Aku memejamkan mata. Terbuai udara harum aroma misik.
            “Bangunlah,” suara lembut itu membasuh telingaku.
            Aku mengerjap, udara sesak seperti dalam tungku, “Apa kita sudah sampai?”
            “Sudah kukatakan, perjalananmu sangat jauh. Perjalananmu masih panjang. Bahkan kau belum mencapai separuhnya.”
            “Lalu, sekarang, kita ada di mana?”
            “Kita di tengah perjalanan.”
            “Tidakkah tempat ini memiliki nama?”
            “Pun, bila kau tahu, di sini, nama tak begitu berarti.”
            Aku memicingkan mata. Mengusap dahi yang terasa basah. Perlahan kabut awan menipis. Merendah. Menyentuh tanah yang penuh pasir. Desiran angin seperti berbisik diantara pasir-pasir yang lunglai.
            “Kita di padang gurun kah?”
            “Apakah menurutmu kita tengah di padang rumput?”
            “Kedengarannya ini kabar buruk.”
            “Itulah perjalanan. Tak selamanya jalan yang kita tempuh itu mulus. Adakalanya kita melalui tebing dan batu-batu yang penuh ancaman, yang bisa melukai kita kapan saja.”
            “Menurutku tebing dan bebatuan akan lebih mudah untuk kita lalui. Tapi ini padang pasir. Lihatlah! Kita berada di padang pasir. Jangankan air, tempat berteduh pun nihil.”
            “Kita memang tengah berada di bagian yang sulit.”
            “Mengapa kita tidak terbang saja.”
            “Sekarang aturannya kau harus berjalan kaki. Jadi, kusarankan kau tidak banyak mengeluh. Ini memang bagian yang sulit yang harus kau lalui. Sendiri.”
“Baik, baik. Tapi, untuk kata yang terakhir, kupikir kau hanya bercanda. Dan itu lucu, haha.”
“Aku tidak bercanda. Ini perjalananmu, bukan perjalananku. Tugasku hanya menjemputmu. Sampai di sini kau harus meneruskan perjalananmu sendiri.”
Suara gadis itu kian sayup. Tubuhnya mengawang di udara. Menjauhiku. Kian jauh. Sejauh jangka pandang, kian keruh. Ia kian jauh. Sempat kutilik sutera putih yang dikenakannya berkibar-kibar, sebelum akhirnya tubuhnya hilang ditelan badai pasir.
             Aku berdiri kaku. Beku. Aku hilang arah. Tersesat. Yang ada hanya bisik-bisik pasir dan liukan hawa panas yang menari-nari. Aku tergugu. Hampir menangis. Aku berjalan gontai. Meraba-raba arah. Aku terus berjalan, melampaui waktu. Melintasi subuh yang beku. Melalui siang yang jerang. Melewati senja yang galan. Menyusupi petang yang lapang. Meringkuki malam yang purna. Aku terus berjalan, melampaui waktu.
            “Aku ingin pulang saja, aku lelah, aku kehilangan arah, Ibu... Ayah… aku lelah, aku kehilangan arah.”     
            Aku terduduk simpuh. Penuh peluh. Seperti kaktus tua yang roboh ditelantarkan waktu. Kini aku terduduk. Hanya duduk. Aku terus terduduk, dilampaui waktu. Dilintasi subuh yang beku. Dilalui siang yang jerang. Dilewati senja yang galan. Disusupi petang yang lapang. Diringkuki malam yang purna. Aku terus terduduk, dilampaui waktu.
            Sejauh mata memandang tak ada apa. Kosong. Melompong.
***
            Senja bulan pertama. Ia terduduk di kursi roda. Matanya menerawang jauh ke depan, namun kosong. Melompong. Tanpa isi. Di belakangnya, seorang perempuan baya mendorong kursi roda itu. Pelan. Perlahan. Matanya juga penuh kabut. Sesekali ia menghentikan kursi roda yang didorongnya untuk mengucek matanya yang seperti terkena kelilip. Lantas ia kembali mendorong kursi roda itu. Pelan. Perlahan.
Sebulan lalu, sebuah bom meledak di gereja tempat ia melangsungkan resepsi. Gereja porak-poranda, seperti pesta pernikahannya, seperti jasad istrinya. Bahkan ia belum sempat membuka cadar sutera yang menghijab wajah istrinya.***
Malang, 29 September 2011

0 komentar: