Mira teringat kata-kata
ibunya, suatu saat jika kesedihan mendatangimu, pejamkan matamu lekat-lekat. Lalu
ambilah kesedihan itu dari dadamu dan letakkanlah ke dalam laci yang tak kau
pakai di rumahmu. Bisa laci di bawah meja, atau laci dalam lemari, atau laci
apa saja yang jarang kau sentuh. Biarkan kesedihan itu bersemayam di sana.
Janggan kau ganggu gugat. Sampai kesedihan itu lenyap dimakan waktu.
“Bagaimana cara meletakkannya, Bu? Apakah seperti
meletakkan pakaian usang yang tak dipakai lagi?” Tanya Mira waktu itu.
“Ya, kesedihan memang pakaian yang tak perlu kau
pakai berlama-lama. Maka, singkirkan saja ia. Pejamkan saja matamu. Lalu
masukanlah kedua tanganmu ke dalam laci yang terbuka itu. Rasakan saja, setiap
kesedihan itu mengalir dari dadamu, melalui tanganmu, dan megucur ke dalam laci
itu. Jika kau harus menangis, menangislah. Ketika kemudian kau rasakan hatimu
sedikit ringan, berarti kesedihan itu telah berpindah dari tanganmu ke dalam laci
itu.”
Dulu, ibu Mira sering sekali bersedih hingga di
rumah banyak sekali laci kosong tak terpakai. Pasti ibu sengaja menggunakan
laci-laci itu untuk menyimpan kesedihannya. Jadi laci-laci itu tak benar-benar
kosong. Ada kesedihan ibu di dalamnya.
Mira punya seorang ayah, hanya saja, ibu tak pernah
memberi tahu ayah soal laci-laci kesedihan itu. Ayah juga jarang sekali
menyentuh laci-laci itu. Ayah tak punya banyak alasan untuk menyentuh lemari-lemari,
meja-meja, atau bahkan laci. Setiap ayah butuh pakaian atau sesuatu, selalu ibu
yang menyiapkannya sehingga ayah tak perlu repot-repot membuka lemari di mana
laci kesedihan ibu meringkuk di dalamnya.
Ayah datang ke rumah setiap dua hari, dua hari
berikutnya ia tak pulang, dan lalu pulang setelah dua hari ia tak pulang.
Ibu bilang, “Ayah harus bekerja dan mengurus orang
lain seperti mengurus kita setiap dua hari.”
Mira juga
merasa heran, menurut Mira, bukan ayah yang mengurus Mira dan ibunya, tapi ibu
yang mengurus ayah dan Mira. Tapi sudahlah, Mira tak mau memikirkan itu panjang-panjang.
Ia takut bingung, meski sebenarnya Mira sudah bingung. Karena ayah-ayah teman
Mira tak perlu tak pulang untuk mengurus orang lain selama dua hari.
Setiap dua hari tanpa ayah itulah, Mira sering
melihat ibunya termenung di kursi dapur atau meja makan. Atau kadang di bibir
ranjang. Sebelum akhirnya mendatangi laci-laci yang tak terpakai untuk
menuntaskan tangis di hadapannya. Mengalihkan kesedihan dari tangannya. Agar
berpindah ke dalam laci-laci malang itu.
Setalah bertahun-tahun terlewat, dan usia Mira
beranjak matang, Mira lekas memahami bahwa ayah memiliki dua perempuan dan dua
anak dari dua perempuan. Perempuan pertama adalah ibu Mira yang melahirkan
Mira, dan perempuan kedua adalah perempuan lain yang juga melahirkan anak lain
yang bukan Mira. Barangkali ayah seperti seekor serangga, kupu-kupu, atau
mungkin capung, atau mungkin kumbang, yang harus memiliki sayap sama di kiri
kanan. Sayap pertama dan kedua. Sayap yang harus sama-sama diurus secara adil.
Ya, barangkali memang begitu seorang laki-laki. Ia takkan bisa terbang hanya
dengan sebilah sayap. Ayah takkan bisa terbang jika hidup hanya dengan ibu
Mira. Tapi Mira tetap saja bingung. Bahkan, sampai ibu akhirnya meninggal
karena serangan jantung—menurut Mira, ibu meninggal karena kesedihan yang turut
bersarang di jantung, bukan serangan jantung, Mira tetap saja bingung memahami
ayah.
Setelah ibu meninggal, Mira tinggal serumah dengan
ayah dan perempuan itu, perempuan ayah yang selain ibu. Tentu saja perempuan
itu berbeda dengan ibu. Meski perempuan itu tak pernah memarahi Mira, tapi Mira
tahu perempuan itu dan anak perempuannya tak pernah menyukai Mira. Sebagaimana
Mira tak pernah menyukai mereka. Memangnya siapa yang bisa menyukai anak dari
perempuan lain yang merebut ayah dari ibu? Memangnya siapa yang bisa menyatukan
dua sayap yang ada di kiri dan di kanan?
Setiap kali waktu makan tiba, ayah benar-benar
seperti kepala seekor serangga. Meja makan itu berbentuk persegi panjang. Ayah
duduk di salah satu ujung, menjadi titik pusat, sedangkan Mira di sebelah kanan
ayah, dan perempuan itu serta anaknya duduk di sebelah kiri ayah. Seandainya
ibu Mira masih hidup dan duduk persis di sebelah kanan ayah, sejajar berhadap-hadapan
dengan perempuan itu, barangkali ayah langsung bisa terbang karena sayap-sayapnya
telah lengkap. Membayangkan itu, Mira teringat ibunya hingga kesedihan itu
mendatanginya seperti angin dingin yang tiba-tiba mengusap kulit, lalu meresap
ke pori dan membekukan sesuatu yang ada di dalam, membuat sesuatu itu sesak
sampai air mata pecah dan memeleh di pipi Mira.
Pada saat-saat seperti itu, Mira lebih banyak
menundukkan kepala, sebelum menyendiri di kamarnya dan berdiri di depan laci
yang terbuka lebar di bawah meja belajarnya. Ayah sering datang ke kamar Mira untuk
mengusap pundak Mira dan bertanya ada apa? Tapi Mira lebih suka bungkam. Oh,
betapa lelaki ini tak pernah bisa memahami sayapnya sendiri, sayapnya sebelah
yang tinggal satu, pikir Mira dengan mulut terkatup rapat. Sepertinya Mira juga
tak bisa menyukai ayahnya seperti anak-anak lain menyukai ayahnya. Entah
mengapa. Terkadang Mira berpikir bahwa ibunya meninggal lantaran ayahnya
sendiri.
Ayah menduakan ibu dan ayah menduakan Mira. Itu yang
terjadi. Mira tak bisa menahan rasa sesak di dadanya setiap kali melihat ayah
memeluk perempuan itu, bersendagurau dengan anak itu. Ayah sering mengajak
perempuan itu dan anaknya keluar untuk jalan-jalan dan bersenang-senang tanpa
Mira. Ayah memang selalu menawari Mira untuk ikut, tapi tatapan kedua perempuan
itu selalu mengatakan begini, “Menyingkirlah! Kehadiranmu hanya akan merusak kebahagiaan
kami. Merusak kebahagiaan kami.” Dan ayah juga tak pernah memohon Mira dengan
sungguh-sungguh, agar Mira benar-benar ikut. Semua hanya basa-basi. Seolah ayah
juga senang kalau Mira tidak ikut. Kalau ayah mau tahu, hati Mira sakit sekali.
Hancur. Barangkali seperti itulah hati ibu dulu, ketika dua hari ayah rutin
menghilang.
Mungkin ayah tampak berusaha berbuat adil, tapi
sungguh, di dunia ini tak benar-benar ada perempuan yang sudi diduakan. Sehingga
adil itu nyaris tak pernah ada. Bahkan seandainya ibu Mira seorang malaikat, ia
akan tetap merasa sedih ketika lelakinya menemui perempuan lain untuk berusaha
berbuat adil. Mira tahu, selama hidup bersama ayah, ibu hanya menyembunyikan
kesedihan itu dari ayah dan meletakkannya di dalam laci. Hingga ayah tak pernah
sadar, bahwa ibu mati karena kesedihan itu. Kesedihan yang terlalu banyak
hingga laci-laci di dunia ini sekalipun tak akan cukup untuk menyimpan
kesedihan itu. Ya, sebab itu ibu mati. Dan yang ayah tahu soal ibu hanya, bahwa
ibu adalah seorang perempuan yang baik lagi penurut, tegar dan tak banyak
menuntut. Dan Mira, ia benar-benar tak mau mati seperti ibu.
Tinggal serumah dengan ayah dan perempuan itu dan
anaknya, bagi Mira sama artinya dengan meramu bunga-bunga kesedihan. Laci di
lemari Mira rasanya sudah tak cukup untuk menyimpan kesedihan itu. Laci di
bawah meja belajar Mira juga sudah penuh oleh luapan kesedihan. Bahkan kamar
Mira terasa sesak oleh kesedihan yang meluber dari waktu ke waktu. Sudah tak
cukup lagi.
Malam itu, ketika ayah dan perempuan itu dan anaknya
pergi bersenang-senang, Mira memilih untuk memulai hal baru. Ia ingin bangkit.
Ia ingin terbang bebas seperti serangga. Ia ingin pergi dan terlepas dari
setiap kesedihan yang membelunggunya. Kesedihan itu harus dilenyapkan. Laci-laci
itu harus disingkirkan dan diisi dengan sesuatu yang lain. Dan Mira sudah
mengisinya.
Sepaket kosmetik lengkap dan sebuah cermin mungil
telah mengisi kemurungan laci itu. Beberapa helai baju dan majalah-majalah
perempuan juga telah mengisi laci-laci lain. Dan Mira telah siap. Malam itu,
Mira memoles wajahnya. Gurit cantik yang tersembunyi itu semakin nyata. Lipstik
merah muda itu telah membuat bibir Mira tampak penuh. Dan bayangan mata yang ia
oleskan di sekitar mata itu membuat mata Mira tampak tajam seperti dua cahaya
yang takkan pernah padam.
Malam itu, Mira ingin menjadi serangga betina yang
terbang bebas dengan ribuan sayap di sisinya. Ribuan sayap yang terbuat dari
helai-helai kesedihan yang diperam begitu lama dalam laci-laci di kamarnya.***
Malang, 2016