Elegi Kehilangan
Masa telah larut dalam peluk cumbu malam. Tak banyak bunyi-bunyian. Semua sunyi kecuali satu dua binatang malam yang masih setia berkidung riuh. Seriuh hatiku yang tak pernah mau diam atau berhenti untuk tidak memikirkan sosok yang hilang tinggal bayangan. Mata ini berat dikuasainya, lidah ini kelu melantun namanya, hati ini beku oleh dinginya kenyataan yang kurang ramah. Setelah begadang malam begitu panjang dengan bayangan perempuanku akhirnya aku terlelap juga dalam nina bobo jangkrik-jangkrik malam yang diselimuti buaian dingin nafas angin yang menebarkan bau kantuk. Lelap hanya menguasaiku sekejap saja, kembali aku terjaga. Betapa tidak, dingin angin yang semula melenakanku kini menjadi-jadi menghujam setiap pori-poriku sehingga aku terjaga dalam gigil. Kalau sudah begitu takkan mampu lagi aku memejamkan mata walau sekuat tenaga kupaksa-paksa. Karena setiap mataku terbuka sosok perempuan itu kembali datang berlari-lari di benakku. Ah, perempuanku. Betapa aku tersiksa oleh kerinduan yang membiaskan asa-asa kososng ini. Oh, perempuanku dimanakah kau kini. Berabad-abad tak kutemui engkau, entah dimana engkau pergi meningalkanku aku tak tahu. Kapan kau hilang aku juga sudah lupa. Ciri-cirimu pun tak terdeteksi oleh sinyal memoriku, bahkan siapa namamu aku sudah tak ingat lagi. Namun engkau selalu ada disini, didalam hati. Meski aku tak melihatmu di alam nyata ini. Ketiadaanmu tak mengalahkan keyakinanku bahwa engkau kini ada. Entah dimana mungkin di sebrang dunia. Adakalanya aku ingin mengumumkan pada dunia, bahwa aku telah kehilangan seorang perempuanku, namun bagaimana mungkin aku bisa mengumumkanya sedanhkan sosok perempuanku itu tak pernah terlukiskan meski ia selalu terpatri dalam hati. Aku bukan berhayal aku hanya kehilangan. Menyakitkan. Semenjak perempuanku hilang aku menjadi enggan untuk melantunkan kidung-kidung cinta namun tak bisa ku ingkari bahwa yang menyala-nyala di hatiku ini memang cinta. Menyala-nyala saja tak kenal dinding ruang dan perjalanan waktu. Yang membuat badanku kurus habis ini apalagi kalau bukan cinta, bahkan yang membuatku menjadi rendah ini juga cinta. Menyakitkan.
***
Selalu saja kutanya-tanya pada sisa-sisa bayangmu. Masihkah terhitung episode pencarianku ini wahai perempuanku? Betapa aku lelah. Syaraf-syarafku melemah kalah. Air mataku memang takkan habis tertumpah mungkin hampir. ِKau juga tahu zaman lalu aku mencarimu. Aku mendengar suaramu mendayu merdu dalam tidak sadarku kau berkata " Aku menunggumu di tepian pantai, kau sangat dekat dengan pantai itu. Jemputlah aku. Aku menunggumu. "
Entah pantai yang mana?. Bukankah beribu pantai tersebar di seantero dunia. Namun demi kamu, perempuanku. Aku akan mampu melakukan apapun. Jangankan pantai , lautpun kan kuarungi, gunungpun akan kudaki, lembahpun kan kuturuni. Karena keyakinanku mengatakan bahwa kau ada untuk menungguku. Dan pantai demi pantai telah ku lalui. Setiap yang bernyawa akan kutanya " Apakah kau tahu dimana perempuanku? " dan mereka akan selalu kembali bertanya " Seperti apakah perempuanmu itu? " maka lagi-lagi aku takkan bisa menjawabnya. Aku hanya akan mengatakan dalam lirih kalau perempuanku seperti yang ada di hatiku. Tapi sayangnya mereka tak tahu dan takkan pernah tahu isi hatiku. Terus saja aku berlalu dari pantai ke pantai hingga aku termangu di tepian pantai hatiku, kupandang ombak yang bergemuruh, pasir-pasir yang tak berdaya terseret olehnya seperti aku. Namun di situ, di tepian pantai hatiku aku melihat sosok itu, aku menemukan sosok itu. Sosok perempuanku. Sungguh anggun perempuanku itu, ia bergaun biru, tapi ia menatapku sayu sambil melambai-lambaikan tangannya seolah berkata " Kemarilah…., tangkaplah aku….!" Hati siapa yang tidak bergetar. Ketika aku coba mendekat ia malah berlari ke tengah laut, semakin aku mendekat lagi ia semakin menjauh ke tengah laut, lepas menyatu dengan deburan ombak, berbaur dengan harum asinnya air laut. Aku masih mengejarnya dengan langkah berat terhimpit kuatnya arus ombak yang bengis. Sesekali parau suaraku memangil-manggil. Serak, garam cair laut meracuni tenggorokanku, membekukan kelenjar liurku hingga aku tak dapat lagi memanggilnya, memanggil perempuanku. Ia semakin jauh saja, semakin ke tengah menyatu dengan ombak bersatu dengan samudera, lalu hilang seperti di telan laut dan lazuardi di sana. Aku bersimpuh dalam gigil, aku terisak diantara berisik ombak. Tubuhku basah, mataku basah, hatiku juga basah. Dalam suara serak yang lirih di telan ombak aku masih berbisik " Oh…, perempuanku. Tunggulah aku. Bawalah aku dari sakit yang tak kunjung penawar ini, sertakanlah aku bersamamu. Aku lelakimu….! "
Perempuanku telah pergi dan hilang dari pantai hatiku. Lalu kemana lagi aku musti mencari. Haruskah aku menuruni lembah, mendaki gunung-gunung, mengacak-acak rimba? Tidak. Perempuanku adalah manusia dan rimba bukanlah tempat manusia. Ah, namun sekarang ini apa masih ada beda antara manusia dan makhluk yang tinggal di rimba sana?. Namun di belantara manakah perempuanku ada. Bukankah ini dunia yang penuh rimba raya dan manusia-manusia buas di dalamnya. Namun seluas-luasnya rimba belantara takkan lebih luas dari derita-deritaku yang tertanam dan subur menyebar di seluruh jiwaku. Untuk itu aku butuh penawar, aku butuh prempuanku, penawarku. Kau akan kucari dan tetap kucari sampai apapun. Rimba demi rimba aku menitinya, tebing terjal aku mendakinya. Namun aku tak mendapatkan suatu apapun bahkan walau sekedar bau perempuanku. Hingga aku terpaku di belantara kering ini, belantara hatiku. Banyak sekali semak-semak dalam relungku untuk sembunyi. Namun disini kembali ku lihat sosok itu berkelebat. Sosok perempuanku. Ia berlari kecil dari balik pohon ke pohon lain, dari satu semak ke semak lain sehingga sulit sekali aku menyudutkan pandangan ke sosok itu. Namun di bawah pohon kokoh itu ia berhenti. Kali ini ia bergaun hijau daun, manis sekali. Ia memandangku dengan pandangan sama persis ketika di pantai itu, sayu. Namun ia seperti lebih lincah, ia menggerakkan jemarinya dan berbisik mesra " Mendekatlah padaku….! Dekaplah aku…." Hatiku bergetar. Namun ketika kuayunkan langkah menujunya seperti tupai ia meloncat ke tubuh pohon itu dengan lincahnya. Semakin aku melangkah mendekatinya semakin tinggi pula ia meloncat ke batang-batang lalu menapak di dahan-dahan. Tepat di kaki pohon itu kutengadahkan kepalaku ke atas, semakin tinggi saja perempuanku itu melejit ke langit. Mataku perih tertusuk silau matahari di atas sana yang menyeruak di sela ranting tak berdaun. Oh…, haruskah ku kejar dia. Tidak, aku tidak mungkin dapat memanjat pohon hatiku ini. Namun aku juga tak mau perempuanku pergi lagi. Aku harus mendekapnya kini, disini. Kembali kutengadahkan kepalaku menentang matahari melawan silau yang menikam retina. Aku akan mengejarnya. Seketika tanganku menyentuh kambium pohon itu seketika itu pula sosok itu melejit semakin tinggi , menapak di pucuk pohon lalu terbang dan menghilang. Bagai di telan matahari di atas sana. Kekhawatiranku selalu saja terkabul. Aku lelah sudah . lelah jiwa, lelah raga. Aku lelah mencurahkan segala pikiran ini selalu padanya. Kini kemana lagi aku musti mencarinya. Aku cari di kesunyian ia kembali hilang, di tepi pantai ia hilang, di belantara ia juga hilang. Baiklah, akan kucari sendiri perempuanku. Mungkin di keramaian kota, bukan di kesunyian pantai ataupun di kediaman pohon-pohon lagi. Aku harus mencarinya di dunia ramai, dunia modern, dunia hura cita. Aku akan mencari perempuanku. Aku akan menyusulmu di antara kebisingan hidup. Akan kujelajahi kita-kota kehidupan. Mungkin saja kau sudah merajut di sana.
Dalam hiruk pikuk keberisikan mesin-mesin pengandung kotoran, jiwa-jiwa yang penuh polusi aku terus mencari tak kenal mati, tak kena henti. Lagi-lagi pada setiap yang berbau nafas akan kutanya " Apakah kalian melihat perempuanku? ia anggun bergaun biru, atau kadang hijau daun. Dan satu lagi ia bermata sayu" dan setiap yang kutanya selalu dengan mantap mengabarkan aku " Di sana…..! " mereka menunjukan padaku para perempuan yang kelihatan, perempuan yang berbaju tapi telanjang. Perempuan-perempuan yang hanya membalut sepertiga tubuhnya dengan kain tipis saringan, sehingga mereka dapat membelalakan pandangan setiap lelaki padanya. Lekuk tubuhnya yang artistic dapat menggetarkan segala diri dari kebanyakan lelaki. Apalagi ditambah keringat yang membasahi leher-leher, pangkal dada, perut yang terbuka, juga paha-paha yang terdasar. Setiap lelaki dapat menikmati pemandangan itu dimanapun dan kapanpun. Murah dan praktis.
Silahkan saja para lelaki menikmati kegilaan itu, silahkan saja para lelaki berderak hatinya. Namun aku tidak, yang dapat mengguncangkan hatiku dan meluluh lantakan jiwaku hanya satu, perempuanku. Dan sama sekali mereka bukanlah perempuanku. Perempuanku tidak akan mau telanjang begitu. Perempuanku anggun bergaun biru atau hijau daun dan bermata sayu. Apakah aku takkan lagi menemukanmu, oh pujaanku, bidadariku, perempuanku. Kini aku lunglai di sudut-sudut hatiku. Begitu haru, begitu biru. Begitu diam, begitu sunyi. Sayup-sayup sebuah sajak terngiang di telingaku:
Cinta itu buta
Cinta itu dahaga
Cinta itu kembara
Kemana, Kekasih kau kupuja?
Lembah yang dalam, tak perlu kau turuni
Gunung yang menjulang, tak perlu kau daki
Laut yang membentang tk perlu kau arungi
Karena cinta tak pernah pergi
Disini. Di dalam hati
Mestikah cinta terus bersinar
Dalam kelam yang mulai pudar
Dalam jiwamu yang semakin bergetar
Dalam bola matamu yang kian berbinari
Lalu sepi kembali. Hatiku gerimis air mataku menitis jatuh meresap di tanah-tanah pekat kering. Mungkin benar perempuan itu tiada kemana ia hanya ada dalam hatiku. Namun aku tetap rindu. Apakah itu karena ia ada di dalam hati sehingga tak pernah mau pergi. Aku selalu saja sangsi pada kata-kata kenyataan. Namun kalau kenyataan sudah bicara apa lagi yang perlu dikatakan. Harapan pun juga ikut lebur. Dan kalau sudah begitu. Hatiku akan berkidung sendiri:
Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Aku terdampar disini
Tersudut menunggu mati
Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi sudut gelap hati ini
Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada Cinta ku dapatii
Dalam beban ini aku kacau balau. Biarlah ku ambil sebilah pisau. Biarkan pisau yang bicara. Kan ku robek-robek dadaku, kan kuhujam dan kubelah jantung hatiku.agar perempuanku datang padaku, menemuiku. Biar jasad yang sudah rapuh ini terkulai, jiwaku masih membara. Baiklah perempuanku. Aku akan mendobrak dimensi hatiku kan kujemput kau dari pantai-pantainya , kan kubawa kau dari semak-semaknya, tunggulah!. Ketika sebilah pisau terangkat. Kudeengar lagi sebuah lantunan dari jauh:
Merana memang merana
Bila putus cinta
Terluka memang terluka
Kalau gagal cita
Tetapi jangan sampai jadi putus asa
Dan juga jangan sampai jadi gelap mata
Merana boleh merana
Serananya saja
Berduka boleh berduka
Sedukanya sajaiii
Kulepaskan pisau dari genggaman, sehingga ia tergeletak kaku di lantai tanah. Nasehat dalam lagu itu memang yang seharusnya. Tapi seandainya lagu itu hidup dan paham bahwa keadanku tak sekedar itu. Kalau merana yang seperti itu kupastikan ku akan tetap mampu bertahan. Namun meranaku bukanlah sembarang merana. Jadi aku tak pernah putus asa ataupun gelap mata. Karena aku memang sudah tak memiliki asa, mataku juga sudah lama hitam membuta. Pikiranku bergolak, sosok itu muncul sekilas lalu pergi. Dan rasa sakit itu kambuh . Aku tak kuasa. Kembali aku melirik sebilah pisau yang mengkilat bergairah. Disana terpancar bahwa sakitku akan usai di ujung runcingya. Dadaku kan terbelah merah. Hatiku kan terbuka oleh tajamnya. Dan aku akan segera mengambil perempuanku dari sana dari hatiku. Dan tiba-tiba semua hitam.
Malang 19 April 2007
i. Dikutip dari puisi " Cinta" dalam kumpulan puisi SBY " Taman Kehidupan "
ii. Dikutip dari lagu" Berhenti berharap" SO7
iii.Dikutip dari lagu "Merana" Rhoma Irama
0 komentar:
Posting Komentar