Hamdan wa syukron Lillah...

Salam friend..... gimana kabarnya....

ku cuma mau berbnagi berita gembira, bukankah faamma bini'mati rabbika fahadits.....

Alhamdulillah cerpenku yang berjudul Parodi Katastrofa Minggu kemarin masuk satu besar dari sekitar 400 naskah cerpen lebih.... sejatim sih. Yah, itu bikin aku semakin semangat untuk nulis dan terus nulis.....

buat kawan-kawan yang mau baca cerpenya monggo..... berikut ini:


Parodi Katastrofa
(Bayi Yang Menitipkan Tangisnya Pada Hujan)

Kalau saja isteriku rajin mengikuti pengajian, barangkali malam ini suaminya tak perlu mengendap-endap, ketiban kutukan dari negeri malakut. Kalau saja isteriku menekuni kuliahnya di fakultas hukum, sudah barang tentu dia tidak akan mengumpankan suaminya untuk berseteru dengan hukum. Kalau saja isteriku mau berinisiatif sedikit dengan memberikan pilihan ketiga, tentunya malam ini aku tak usah memilih untuk jadi lelucon penghibur iblis. Dan kalau saja—akar dari semua ini—kami tak sembarangan menerima tawaran Amor untuk bermain-main dengan kenikmatan sesaat, pastinya katastrofa ini hanya akan menjadi cerita fiksi.
Siapa yang mengira, kalau ternyata resiko itu begitu cepat menuntut, ia tak pernah memberikan senggang waktu yang cukup untuk kami mempersiapkan diri menjadi seterunya. Dan buruknya lagi, isteriku tak pernah mau disengat lebah, meskipun habis kikis ia menjilat madunya. Isteriku tak pernah sudi dijamah getah, meski legitnya nangka belum hilang dari sendawanya. Akibatnya, bayi yang tak tahu apa-apa ini yang harus diapa-apakan. Isteriku memang sudah tak waras, hatinya teramat sempit sehingga logika-logika tak akan muat bersilaturrahim ke dalamnya, apalagi rasa welas asih.
Memang, ku akui, ini bukan salah isteriku semata. Ini salah kami berdua. Namun, dengan alasan apapun, rencana isteriku itu memang sudah kelewat laknat. Tapi, walau bagaimanapun dia itu tetap isteriku, tentu aku sangat menyayanginya, tapi anehnya, ia tak pernah mengizinkan aku menyayangi anaknya, anak kami. Kalau aku mulai berani-berani menyanggah keputusanya, dia akan mengeluarkan master piecenya, dia itu sangat pandai mengancam, dia sangat berbakat untuk menyakiti siapapun termasuk dirinya sendiri.
Petang tadi, ada lagi naga yang mampir ke tubuhnya. Ia memekik sampai percikan api menyembur dari mulutnya.
“Aku ndak mau tahu, pokoknya Kakang harus membawa bayi itu. Kakang sudah berjanji, Kakang tak boleh lupa sama janji Kakang sendiri. Kalau Kakang tak mau membawa bayi itu, aku sendiri yang akan membawanya. Tapi ingat...! jangan harap Kakang bisa melihatku lagi. Titik.” Begitu gertaknya.
Hh… entahlah, dia dapat refrensi dari mana, sehingga dia boleh berani seperti itu pada suaminya. Dia juga berani menghianati kodratnya sebagai ibu. Itulah yang membuatku menyebutnya sebagai perempuan tidak waras. Ironisnya dia seperti menghipnotisku jadi keledai, aku hanya menurut dan bungkam.
Maka setelah ia mengancam—mungkin mau minggat, atau kalau lebih buruk lagi bunuh diri—barulah aku beranjak membawa bayi merah ini menjauh dari ibunya yang psiko. Aku sengaja berangkat saat iqamah Maghrib naik petang tadi. Aku tak mau siapapun tahu tentang rencana lacut ini. Aku sengaja berangakat dengan berjalan kaki menuju perkampungan jauh, namun cukup aku kenal. Meski langkahku terus berayun, sejujurnya langkah itu gamang. Langkah itu bergerak hanya untuk mengelabuhi isteriku semata, tidak yang lain.
Pertengahan malam mulai mengambang. Kutatap bulan sabit di jantung langit yang masih setia menggelar dongeng untuk bumi yang hampir terpejam, ia tampak seperti seorang ibu yang rela menahan kantuk demi melelapkan anak-anaknya. Maka tak seorangpun bisa mencegah. Dingin malampun bersekongkol dengan gerimis demi harmoni kantuk yang kutuk. Tubuh-tubuh yang kelelahan dan mata-mata yang malas akan lebih mudah dihasut untuk melupakan alamnya dan singgah ke dunia dimana mimpi-mimpi menjelma menjadi bunga. Malam telah menjadi sempurna untuk disebut malam. Senyap dan gelap, saatnya para iblis menjajakan bakatnya: menghasut manusia untuk melakukan hal-hal syaithani yang tak pantas dilakukan di siang hari. Benar-benar sepi tiada cela. Aku masih terus mengayunkan telapak kakiku, menyusuri gang-gang sempit yang cukup aku kenal, melewati tanah-tanah kosong yang penuh belukar, kakiku yang tak beralas mencengkram kuat tanah-tanah becek, beberapa kali kuusapkan kakiku yang penuh lumpur ke gundukan rumput-rumput basah yang sesekali mengkilat oleh sengatan guntur. Aku celingukan ke kiri dan ke kanan, juga ke belakang, hanya untuk memastikan bahwa tak seekor binatang malampun bernyali membututiku, apalagi manusia.
Sedikit demi sedikit, dengan sangat tertib, titik-titik gerimis telah berhasil membuat manik-manik lembut di rambutku yang berminyak. “Ah… Kenapa harus gerimis segala.” Gerutuku pada langit, kesal.
Aku tetap berjalan tenang, tak bergeming sama sekali pada rintik gerimis yang menghujam kulitku seperti jarum-jarum beku dari langit. Bagiku ini bukan masalah, tapi bagi makhluk kecil yang menggeliat ini? Aku semakin kesal saja pada isteriku yang bebal, aku juga semakin kesal pada diriku sendiri yang tak bisa berbuat banyak. Kilatan petir yang gagah berkali-kali memberiku peringatan supaya aku mengurungkan niatku, tepatnya niat isteriku. Setiap aku berpikir ulang dan meperlambat langkah, wajah naga isteriku kembali menyeringai seram. Kakiku berayun lagi. Rupanya kesempurnaan malam telah berhasil membuat bulu kudukku berdiri, sesekali gerahamku berpelukan, nyeri menahan gigil. Sungguh sebuah keajaiban, bayi mungil yang ada dalam gendonganku, sedikitpun tak berkutik. Kain batik tebal telah membungklus rapat tubuh kecilnya seperti kepompong, hanya pada bagian muka kain itu sedikit tersingkap. Saat titik air mengamuk dan menjadi tombak-tombak dingin tak kenal ampun, maka kuputuskan untuk mencari tempat berteduh dari kuyup. Aku khawatir kalau bayi yang ada dalam pelukanku ini merengek dan terbangun. Hujan menjadi-jadi, melodinya sangat kasar, seperti butiran paku yang menghujam jalan-jalan pekat dan sepi. Aku harus berteduh.
Berteduh?
Sungguh sial, demi apapun, sungguh sial. Aku baru tersadar, aku telah terperangkap di tengah-tengah perbatasan antara dua kampung, Katikan dan Kedungwaru. Dan di sini cuma ada dua macam atap, langit dan pepohonan. Yang ada di sini hanya ladang-ladang singkong dan kebun pisang yang luasnya berhektar-hektar, juga pohon-pohon pembatas jalan. Demi melindungi si bayi dari dingin dan kuyup aku menutup wajahnya dengan sebagian kain yang membungkus rapat tubuhnya lalu tergugu di kaki pohon Asam Jawa yang terjajar sepanjang tepian jalan.
“Sial...!” umpatku pada alam yang kurasa seperti mengejekku.
“Tenang le... bapak tak akan membiarkan kamu kedinginan.” Kubenamkan bayi itu lebih dalam ke dinding dadaku.
Aku berjingkat dari kaki pohon satu ke kaki pohon yang lain, mencari naungan yang lebih aman dari tirta murka. Aku paham sepenuhnya, air yang singgah di semak dedaunan yang kunanungi ini sudah pasti akan merembes ke ranting-ranting lalu mengalir lewat dahan-dahan dan meleleh membasahi apa-apa yang ada di bawahnya. Aku menjadi panik saat kusentuh kain yang membaluti bayiku mulai basah.
“Maafkan bapak le… kamu harus menanggung semua ini.” ucapku cemas, lalu kukecup kening bayi itu. Rasa damai bercampur resah perlahan menyiram palung dadaku.
Yang kutahu, di tengah mbulak yang luas ini, tak ada satupun gubug atau pos ronda sehingga siapapun kalau kehujanan di sini, ia akan memotong sembarangan daun-daun pisang ini untuk dijadikan payung yang sia-sia. Satu lagi yang kutahu, dan itu harapanku satu-satunya, di depan sana, sebelum memasuki perbatasan kampung Kedungwaru, ada sebuah rumah reot yang menyendiri. Konon, penghuninya ialah seorang dukun beranak yang tak beranak. Yang kudengar dari orang-orang, namanya Mak Darsi, perempuan tua itu tinggal seorang diri di sana. Ia hidup dari para korban lelaki. Setiap ujung kehamilan merupakan berkah bagi Mak Darsi. Warga lebih percaya pada jasa Mak Darsi dari pada Bu bidan. Seperti ada tuah yang menempel di tangan Mak Darsi setiap kali ia berurusan dengan rahim-rahim yang berdarah. Lewat tangan Mak Darsi, persalinan selalu lebih mudah dan lancar, dan yang paling disukai warga, Mak Darsi lebih mengutamakan pekerjaannya dari pada imbalan yang diterimanya, artinya warga yang tak perlu mencekik leher mereka dengan biaya persalinan yang menukik.
Mak Darsi, aku memang belum pernah menemuinya, melihat rupanya juga belum. Tapi kali ini aku harus bicara dengannya. Mak Darsi, ya, aku butuh jasanya yang lain. Mak Darsi, itulah tujuanaku membawa bayi ini.
***
Malam terasa sangat betah mengaum di puncaknya. Hujan mulai jinak. Aku dan bayi malang ini sudah basah kuyup. Beberapa kali kutatap wajah bayi itu yang mulai pucat, kedinginan. Anehnya ia hanya menggeliat, sama sekali tidak rewel. Beberapa kali aku harus mendekatkan wajahku pada wajah mungil itu, setelah nafas hangat menyentuh wajahku, barulah aku bisa bernafas lega.
Aku kembali mengayunkan langakah, menuju gubuk Mak Darsi yang sudah tidak jauh lagi. Setelah sampai di muka rumah Mak Darsi, tanganku yang kisut mengetuk daun pintu dari anyaman bambu itu tergesa-gesa.
“Iya, sebentar.” Kudengar suara serak yang mengantuk dari dalam. Lamban langkahnya membuatku gusar.
Setelah pintu terbuka, kulihat jelas wajah renta perempuan itu, kuperkirakan usianya delapan puluhan. Kerutan-kerutan lentur yang memanjang di dahinya melukiskan kepasrahan pada perlakuan nasib. Rambut putihnya yang sebagian tertutup kerudung terlihat lelah melawan kesepian yang selama ini mengucilkanya. Punggunya yang bungkuk dan ringkih tampak kuat menopang beton-beton kehidupan. Entahlah, begitu saja aku membaca wajah Mak Darsi.
“Isteri sanak mau melahirkan?” tanya Mak Darsi ingin tahu, ia tak sadar ada bayi dalam gendonganku.
“Bukan Mak.” Jawabku kecut.
Mak Darsi menatap balutan kain yang menempel di dinding dadaku. “Kau menggendong bayi?” selidiknya setelah ia yakin dengan yang dilihatnya.
Aku mengangguk lesu.
“Masuk-masuk....! Oalah... basah semua. Kasihan bayimu.” Buru-buru Mak Darsi meraih tanganku dan menyuruhku masuk. “Duduk dulu!” pintanya ramah. Ia masuk kamarnya sebentar dan kembali dengan jarit batik gelap yang masih terlipat rapi. Dengan cekatan Mak Darsi membuka lipatan kain basah yang membungkus bayiku. Tubuh kecil itu benar-benar merah pucat, seperti cindhil, aku tak sampai hati melihatnya. Mak Darsi segera membungkus bayiku dengan kain yang diambilnya.
“Oalah blahi.. bayi ini masih merah, ari-arinya saja belum kering betul.”
“Memang baru sepasaran Mak!” tukasku getir.
“Lalu kenapa kamu pertontonkan bayi merah ini pada malam-malam hujan begini. Tak ada yang mengingatkanmu? Angin malam tak bagus buat bayimu. Apalagi hujan angin begini. Kamu itu ngawur.”
Aku membisu beberapa saat.
“Aku tak tahu harus bagaimana, Mak. Aku mau minta tolong sama Mak.” Ucapku gamang. Aku mau terisak tapi tak jadi. Mak Darsi mengerutkan dahinya.
“Ini pasti ada apa-apa.” Tebaknya “Sanak cerita dulu sama Mak, sebenarnya ada apa? Apa pula yang bisa Mak lalukan buat sanak?” tutur Mak Darsi kemudian.
“Bayiku Mak... Bayiku.” Aku mulai terisak menahan sesak.
“Bayimu kenapa sanak? Kenapa?”
“Isteriku menyuruhku membuang bayi ini, Mak. Kalau tidak, ia mau minggat atau mungkin bunuh diri Mak!” jelasku. Mak Darsi menelan ludah mendengar penjelasanku. Mata tuanya terpejam, menghayati sesuatu.
“Kenapa isterimu sampai begitu? Masalahnya apa?” ujarnya kemudian.
Mulutku terkunci rapat. Aku tak perlu menceritakan semua. Aku yakin Mak Darsi sudah paham dengan gelagatku.
“Oalah sanak... semuanya sudah terjadi. Kalau kamu menyesal, kamu harus memelihara penyesalanmu itu. Apapun masalahnya, kalian harus tetap merawat orok itu. Kalau tidak kalian nanti akan menyesal tak ketemu jalan, terutama isterimu itu. Tentu kalian ndak mau menyesal seumur hidup seperti Mak ini.”
Aku tercenung memandangi wajah renta perempuan itu. Dalam benak aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan masa lalu Mak Darsi. Mataku menyipit menunggu kata-kata yang hendak ia lanjutkan.
“Anak itu berkah dari Gusti Allah.... kenapa berkah itu tidak diterima saja dengan senang hati. Anak itu titipan Gusti Allah. Nanti kalau kalian sudah tua seperti Mak ini baru kalian insyaf, apa maksud Gusti Allah memberi kalian anak. Baru kalian tahu bagaimana rasanya hidup tanpa buah hati. Tentu kau paham bagaimana nasib pohon yang tidak berbuah.”
Ganti aku yang tergelak mendengar penjelasan Mak Darsi. Namun, tak juga aku angkat suara. Mak Darsi masih ingin melanjutkan tamsilnya.
“Dulu sewaktu muda Mak ini perempuan rusak. Mak nggak tahu, laqob apa yang pantas disematkan pada wanita yang sampai hati membunuh anaknya sendiri.”
Aku tersentak tak percaya. “Haa? Maksud Mak?” selidikku.
“Dulu sebelum Mak menikah Mak sudah kecelakaan, hasilnya Mak Hamil. Untuk menutupi kebejatan Mak terpaksa Mak menggugurkan janin yang Mak Kandung. Dan taukah kau sanak.... apa yang terjadi sesudah itu?”
Aku tak menjawab. Mak Darsi terdiam sejenak. Matanya menerawang ke langit-langit yang penuh benang laba-laba usang dan hitam oleh asap kayu kabar.
“Setelah Mak berhasil membuang aib Mak, Mak menikah. Dan inilah yang harus sanak kabarkan kepada isteri sanak: setelah menikah, berpuluh-puluh tahun berikutnya, Mak tidak bisa lagi punya anak, rahim Mak rusak. Penderitaan Mak tak tanggung-tanggung, suami Mak menceraikan Mak setelah ia capek menunggu keturunan dari Mak yang tak kunjung kandung. Mak pasrah… Mak menyebut semua itu sebagai keadilan Gusti Allah. Sekarang di usia Mak yang semakin renta ini, Mak ingin bisa berbuat banyak. Dari itulah Mak mengabdikan diri sepanjang kemampuan tua Mak sebagai dukun bayi. Dengan senang hati Mak membantu menjemput bayi-bayi itu dari dunia sempit dalam perut ibunya untuk menyaksikan luasnya dunia. Setidaknya itu menjadi kelegaan tersendiri bagi Mak. Pernah beberapa kali ada pasangan muda yang meminta bantuan Mak untuk menggugurkan janin mereka, tapi Mak langsung mendamprat mereka sebelum mereka selesai menjelaskan masalahnya. Sungguh, apapun masalahnya, apapun alasanya membunuh bayi tak berdosa itu bukan penyelesaian masalah yang baik. Sanak boleh pegang kata-kata Mak. Ini.” Tutur Mak Darsi panjang, ari tipis bening mengembang di pelupuk matanya yang cekung untuk kemudian disekanya dengan ujung kerudungnya yang kumal sebelum sempat menitis.
Tenggorokanku tercekat. Penjelasan Mak Darsi sungguh sebuah ironi bagiku. Aku teringat kejadian sekitar setengah tahun lalu. Saat bayi ini masih bersarang dirahim perempuan yang kini telah menjadi isteriku itu. Malam-malam buta, perempuan itu mengamuk.
“Ayo kang... kita ke dukun. Ayo...!” rengeknya berbau paksaan.
“Itu tak perlu, Sri.”
“Tak perlu bagaimana? Itu perlu sekali Kang. Aku nggak mau perutku sampai kelewat melendung. Pokoknya kita harus ke dukun, sekarang!” tandasnya tak terima, suaranya meninggi.
“Kau tak tak boleh menggugurkan janin itu Sri....” aku menyanggah.
“Lantas apa kata orang-orang kalau mereka tahu, aku melahirkan empat bulan setelah kita menikah. Mereka pasti akan menggunjingku.”
“Kita harus berani menanggung resikonya Sri...”
“Iya, kamu laki-laki, enak, dengan modal menekuk dengkul kamu bisa dapat semuanya, setelah itu kamu masih bisa berjingkrak-jingkarak pula. Nah, aku...!?”
“Bukan begitu Sri... kamu tidak percaya padaku? Kita akan menanggungnya sama-sama. Kalau kamu memang malu untuk mengakui kalau kamu memang kecelakaan, kamu kan bisa tinggal dengan orang tuaku di desa sana. Takkan ada orang tahu. Kalau tetangga-tetanggaku mulai ribut, aku bisa dengan mudah mengatakan pada mereka kalau kamu sudah lama jadi isteriku. Toh aku orang rantau, aku tak yakin mereka peduli atau sekedar ingin tahu bagaimana kehidupanku selama di rantau. Kalau lagi-lagi mereka mencibirku, pulang-pulang membawa perempuan, maka aku sudah sangat paham bagaimana cara tidak menggubris sesuatu yang tak penting, kau harus belajar itu dariku.”
“Mboh... terserah kamu mau ngoceh apa. Pokoknya aku tak mau bayi ini lahir.... aku tak mau. Aku masih belum siap punya anak. Tak bisa kubayangakan bagimana repotnya! Susahnya tak sebanding dengan enaknya. Sudah... pokoknya kita harus segera ke dukun Kang... tidak boleh tidak! Sekarang...!” pekik isteriku menjadi-jadi, kata ‘pokoknya’ menegaskan bahwa keputusanya tak bisa ditawar-tawar. Rupanya kata-kataku yang lembut barusan, sejenak hanya menyentuh jidadnya lalu memantul entah kemana.
“Di dunia ini tak ada satupun masalah yang tak bisa diselesaikan Sri..., dan aborsi, pembunuhan, tak pernah menjadi cara penyelesaian masalah yang bagus. Jadi tolong..! Saya tak mau kamu jadi pembunuh. Apapun akan saya lakukan buat kamu, tapi tolong, jangan bunuh bayi itu. Bayi itu tak punya dosa apa-apa. Bayi itu titipan Gusti Allah.” Rajukku, penuh harap.
“Hh... Gusti Allah!?”desis isteriku sinis.”Setelah apa yang kita lalukan, rupanya kamu masih ingat bagaimana cara menyebut nama Gusti Allah.” tandasnya.
Aku tak berkutik, skak math.
Namun perempuan batu di hadapanku mulai menunjukkan gelagat simpati. Kekentalan emosi di rautnya mulai mencair. Ia duduk sejenak di bibir dipan, matanya menerawang menyapu wajahku yang gusar. ia seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu.
“Hh....” perempua itu mendesah lagi. “Iya, baik, aku tidak akan menggugurkan bayi ini, aku akan membiarkannya sampai lahir, tapi aku minta kamu mau berjanji satu hal padaku.” Lanjutnya.
“Iya. Berjanji apa?” balasku lega.
“Setelah bayi itu lahir, kamu harus membawanya pergi, jauh-jauh dari aku.” Katanya mengalir tanpa beban. aku terperangah.
“Membuangnya?” pertanyaanku lebih seperti nada tak terima. Kelegaanku amblas. “Aku tak habis pikir Sri... bagaimana kamu tega mencampakkan anak kamu sendiri, darah daging kamu, anak kita. Kenapa kamu memberikan saya pilihan yang sulit begini?” Protesku.
“Ya terserah Kakang lah...! Mau aku menggugurkan kandungan ini atau membiarkan bayinya tetap hidup.” Tandasnya kesal sambil beringsut meninggalkanku, menyudahi pembicaraan yang terasa jauh ujungnya. Tinggalah aku tercenung seorang diri, dadaku kelewat sesak untuk mengejar perempuan miring itu.
“Sanak tak perlu melamun. Sekarang apa yang bisa Mak lalukan buat sanak?” suara serak Mak Darsi mengagetkanku. Aku tersadar dari pemainan pikiran.
“Semula aku hendak meminta Mak merawat bayi ini, tapi setelah mendengar penjelasan Mak pikiran saya berubah. Saya bertekad, saya akan mengurus dan membesarkan bayi ini, dengan tangan saya sendiri.”
“Lalu isterimu bagaimana?”
“Sekali lagi saya akan mengingatkan dia Mak. Kalau dia masih bersikeras dengan pendirianya, maka aku siap menantang ancamannya, apapun itu.” Ucapku yakin.
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” Mak Darsi memastikan.
Ada sesuatu yang berat yang menggumpal di dadaku, menyembul menjelma Merapi. “Aku yakin Mak.” Tegasku.
“Kau mengambil keputusan yang benar Nak. Sekarang cepat-cepatlah kau bawa kembali bayimu itu. Saya tahu betul, dia lapar dan kehausan, dia butuh air susu ibunya. Semoga isterimu tergerak hatinya untuk menuyusui bayi ini.”
“Mak?” ucapku pelan.
“Apa lagi Nak?”
“Saya ucapkan terima kasih banyak kepada Mak.”
“Sanak tak perlu berterima kasih. Mak tak melakukan apapun untuk sanak. Sudahlah yang penting kamu harus segera membawa bayi itu ke dada ibunya.” Kata Mak, kemudian wajahnya menerawang langit yang tembus dari bagian belakang gubuknya yang tak beratap. “Sepertinya langit hanya istirahat. Kau harus sampai rumah sebelum susulan hujan kedua.” Lanjut Mak Darsi.
Maka setelah mengucapkan salam dan mengecup tangan perempuan tua itu aku berlalu kembali menembus malam dan pulang. Aku kembali menilik bayi pucat dalam rangkulanku. Aku kembali menekuri wajah-wajah malam setelah diputus hujan. Malam telah memasuki sepertiga akhir.
Saat alunan tarhim menyilet telingaku, aku sudah berdiri di muka rumahku. Aku masih ragu dan takut untuk mengetuk pintu itu. Setelah kuteguhkan hati barulah ruas-ruas jariku terangkat mengetuk daun pintu rapuh rumah itu. Was-was mempermainkanku. Aku agak mengkerut, membayangkan bagaimana reaksi isteriku saat membuka pintu nanti. Tak lama, aku mendengar langkah tergesa isteriku dari dalam. Hatiku semakin was-was.
Kreett...
Pintu terbuka। Seorang perempuan dengan rambut acak-acakan dan daster kebesaran melotot menatapku. Tangannya yang ceking buru-buru menyeretku masuk........................



Maaf ya fren..... sebenarnya cerpen ini masih belum ending..... eh, kata sang juri yang paling menarik di cerpen ini justru endingnya loh..... (Baca aja proses penjurian di flprantingum.multiply.com)....

kabarnya sih.... cerpen ini bakal dimuat di majalah GIRLYZONE-nya Mbak Afifah Afra..... yah, kita tunggu aja yah..... silahkan menikmati rasa penasaranya (Kalo penasaran dengan endingnya), boleh kok, menebak-nebak endingnya kayak apa... tafadhol.....!

Kaef...... memang baru belajar.... mohon masukan kritik saranya ya.... thanks.....

0 komentar: