Belantara itu termazkur belantara
kehidupan. Banyak pepohonan bercokol, tumbuh dan hidup di dalamnya. Mulai dari
pohon yang hidup dalam hitungan hari sampai pohon yang umurnya ratusan tahun.
Mulai dari pohon yang ukurannya kecil sampai pohon yang menjulang hendak
menerobos langit. Mulai dari pohon yang berbau bangkai sampai pohon yang
aromanya membuai. Mulai dari pohon yang buruk bentuknya sampai pohon yang elok
rupanya. Mulai dari pohon yang berkhasiat sampai pohon yang menetaskan bisa.
Semua pohon tumbuh dan hidup di sana. Di belantara kehidupan.
Mula-mula, Sang Hayat
menumbuhkan sebuah pohon dengan kehendaknya. Pohon yang tak bisa berbuah. Pohon
yang sendiri diliputi sepi. Pohon lelaki. Lantas pohon itu merajuk. Ia meminta
kepada Sang Hayat supaya menumbuhkan satu pohon lagi. Supaya ada pohon lain
yang bisa mendengar kemeisik daunnya. Supaya ada pohon lain yang bisa ia ajak
berbagi udara. Lantas, Sang Hayat mengabulkan permohonan itu. Sang Hayat
mematahkan sebuah ranting dari pohon lelaki itu lantas menumbuhkannya di tanah
yang sama. Ranting kecil itu tumbuh atas iradah Sang Hayat, hingga menjulang
menunaskan daun yang anggun dan menguncupkan bungga pertama yang amat jelita.
Termazkurlah pohon
perempuan di belantara kehidupan untuk pertama kalinya. Pohon yang sanggup
menetaskan buah. Pohon yang cintanya melimpah ruah.
Dua pohon itu terus
bertumbuh. Dengan kasih cahaya yang paripurna. Dengan kasih tanah yang
melimpah. Dengan kasih air yang berbulir-bulir. Dengan kasih udara yang tak terhisab
jumlahnya.
Kepada cahaya, dua pohon
itu berutara, “Terima kasih cahaya, kepadamulah tunas-tunas kami menari mencondongkan
diri.”
Kepada tanah, dua pohon
itu mendesah, “Terima kasih tanah, dari sari-patimulah kami bermula, hingga
kini, kami dapat hidup dengan sempurna.”
Kepada air, dua pohon itu
mendesir, “Terima kasih, air, tanpamu hidup kami akan kerontang dan dahaga dan tak
berarti dan merana dan mati.”
Kepada udara, dua pohon
itu berkata, “Terima kasih, udara, kami hidup dalam semesta, kami berbisik
dalam semesta, dan desaumu adalah kehidupan semesta.”
Dua pohon itu terus
tumbuh. Pohon perempuan terus menyerap sari pati tanah, terus menghisap air-air
tanah, hingga dedaunnya kian subur menghijau, hingga bunga-bunganya mekar
berseri. Dari bunga-bunga itulah menggumpal janin putik. Janin yang lambat laun
membesar dan menjadi buah. Buah yang kadangkala manis rasanya. Buah yang
kadangkala tak bisa matang. Buah yang kadangkala terserang hama dan membusuk.
Namun seperti apapun buah
dari pohon itu, ia tetaplah buah yang memiliki biji. Biji yang mungkin akan
menumbuhkan pohon-pohon baru. Dalam garis waktu, Sang Hayat telah menerakan
bahwa pohon ayah dan pohon ibu tetaplah makhluk biasa yang jauh dari sempurna.
Makhluk biasa yang tak akan pernah mampu melawan garis waktu. Makhluk biasa
yang akan tua, mengering, dan kemudian mati dengan sendirinya. Itulah mengapa
Sang Hayat menitipkan benih-benih pada pohon ibu. Benih-benih yang akan
meneruskan cerita para pohon di masa mendatang.
Garis waktu telah dimulai
dari titik pertama, dan akan terus berjalan, lurus menuju titik henti yang
penuh teka-teki. Semenjak pohon ibu berbuah untuk pertama kalinya, kehidupan
telah menjadi lebar. Dari satu benih yang terlempar ke tanah, kemudian dirawat
oleh tanah hingga tumbuh menjadi kecambah, membesar, menjadi pohon dewasa,
berbunga dan kemudian berbuah. Dari satu benih menjadi satu pohon. Dari satu
pohon menjadi beberapa buah yang mengandung beberapa benih. Dari beberapa benih
menjadi ratusan benih. Dari ratusan benih, menjadi ribuan benih. Dari ribuan
benih, menjadi jutaan benih. Demikianlah riwayat pohon-pohon terus berkembang
dan hidup di belantara kehidupan.
Taman kehidupan
menawarkan banyak kisah dari tiap petak tanah yang berbeda. Mungkin, suatu
ketika, dalam sepetak tanah yang jauh, akan kau temui pohon lelaki yang
sendiri. Ia tak bisa berbunga dan tak bisa berbuah. Ia menyerap sari pati tanah
seorang diri, meminum air tanah seorang diri, ia ditampar musim yang
berganti-ganti, dan ia tetap hidup. Hingga garis waktu memenggal usinya, ia
akan mengering, daun-daunnya berguguran, lantas ia mati. Tilas kayunya menjadi
jasad yang aus dimakan rayap, atau kalau tidak ia akan ditebang dan menjadi
tiang penyangga rumah, atau kalau tidak lagi, mungkin beberapa petani akan mengapaknya
untuk dijadikan kayu bakar. Semerana apa pun, jika ia tahu, sebenarnya hidup
pohon itu tak pernah sia-sia.
Di sebuah tempat yang
lain, mungkin akan kau temukan sebuah pohon yang selalu berbunga namun tak
pernah melahirkan buah. Pohon itu telah menerima apa-apa yang digariskan
untuknya. Ia rela hidupnya menjadi riasan alam. Menjadi lepau, tempat
persinggahan kumbang-kumbang. Mungkin sepanjang hidupnya, ia selalu menghitung
musim yang berganti. Pun jika ia boleh berharap, ia akan berharap bahwa
sepanjang musim menjadi musim semi. Supaya ia tetap cantik, supaya ia tak
menjadi botak, supaya ia tak kesepian. Namun begitulah, alam telah menitahkan
dengan sempurna, bahwa hidup memang harus ada ceritanya.
Di belantara kehidupan
yang lain, mungkin akan kau temui juga sebuah pohon yang tumbuh menjulang,
barangkali juga indah, namun ia tidak berbunga atau pun berbuah, ia juga bukan
pohon laki-laki. Dan ia adalah pohon yang bersedih sepanjang hidupnya. Ia
bersedih seperti bersedihnya seorang ibu yang tak mampu melahirkan anak-anak
dari rahimnya. Maka sudi tak sudi hidupnya akan berakhir seperti pohon lelaki.
Dan setelah hidupnya tumbang itulah, mungkin ia baru menyadari bahwa hidupnya
tak semenyedihkan itu.
Jauh di daratan yang lain, di atas sepetak
tanah yang subur, mungkin akan temukan juga kisah sebatang pohon yang menjulang
dengan buahnya yang lebat selebat-lebatnya. Ialah pohon paling ibu. Ia merawat
dirinya sedemikian rupa. Ia mengatur saripati tanah yang ia makan, ia mengadar
jumlah air yang ia serap. Ia bahagia sepanjang musim. Ia bahagia menunggu
ribuan bunga yang menyembul dari tubuhnya. Ia menghalau setiap hama yang memasadkan.
Ia mempersilakan datang setiap kumbang yang pamit mereguk madunya. Hingga
ketika tiba masanya, semua bunga-bunga itu menggeliat perlahan-lahan, menjadi
buah yang ranum, yang bergelantungan di setiap tangkai. Seperti ratusan bocah
yang menggelendot di tangan ibunya.
“Sudah kukatkan, sedari
kalian menjadi bunga. Terkadang, angin suka mempermainkan kita, erat-eratlah
kalian berpegang pada tangkai ibu, agar kalian tak terlempar ke tanah sebelum
masanya,” bisik pohon ibu.
Namun buah tetaplah buah
seperti bocah-bocah yang telinganya berlubang di kiri-kanan. Siapa pula yang
mampu menghalau angin. Jika bunga waktunya gugur, ia akan gugur. Jika buah
waktunya rontok, ia akan rontok. Seperti juga dedaunan. Pun jika tiba masa panen,
buah-buah itu akan di unduh oleh pemiliknya. Itulah yang kemudian disebut
sebagai: merantau. Setelah matang, setiap buah akan berpisah dari pohon ibunya,
dari saudara-saudaranya, dari tanah asalnya. Dan perpisahan itu adalah sebuah garis
batas, bahwa cerita baru akan dimulai. Cerita yang sendiri-sendiri.
Sebiji buah akan terbawa
oleh tangan atau paruh burung ke daratan jauh. Lantas ia terlempar ke tanah
yang baru. Ia akan tumbuh di situ, hidup di situ, dan mungkin, berakhir di
situ. Ia telah melintasi garis waktu, dan selama perjalanan ia telah belajar
banyak tentang arti rindu, tentang cara mengenang, dan tentang bagaimana
menghadapi kesendirian.
Bukankah setiap cerita
memang akan berakhir pada kesendirian? ***
Malang, 2013