Ibu masih pulas
dalam pucatnya. Kubenarkan letak selimutnya. Di sebelah dipan, tersandar meja
kotak kecil. Di atasnya, segelas teh panas masih mengepulkan asap, sepiring
bubur mengaurkan aroma lezat yang membuat perutku berkeriap, aneka kapsul dan
tablet bergeletakkan dalam toples kecil.
Di luar, kabut
masih amat tebal. Kusingkap sedikit daun jendela. Lindap. Hawa dingin
menyergap. Ibu terbatuk-batuk ringan dan terjaga dari tidurnya.
“Dingin. Tutup
saja jendelanya,” tutur ibu dengan batuk tertahan.
Kembali kututup
daun jendela. Kubantu ibu bangun dari rebahnya. Kuambilkan segelas teh hangat
yang masih mengepul di meja. Pelan-pelan diseruputnya. Selepas itu, aku menyuapinya
bubur, beberapa sendok, dan meminumkannya obat.
“Apa kau mau mendengarkan
sesuatu, sebuah cerita?” kata ibu sekonyong-konyong.
Semenjak sakit
tuanya merajalela, ibu memang kerap berkata dan bertingkah yang aneh-aneh,
termasuk, memintaku mendengarkan cerita-ceritanya yang terkadang juga terdengar
aneh. Aku mengangguk saja. Menunggunya bercerita.
***
Sebelum Tuan
Cokro menyepikan detak jantungnya dengan paripurna, ia sempat menulis sebuah
wasiat untuk ibu. Dalam wasiat itu, ia mengatakan, bahwa seluruh kebun teh
termasuk vila yang dibangun megah di atasnya akan menjadi milik ibu secara syah,
setelah ibu menanda tangani surat tanah dan hak milik yang telah diurus Tuan
Cokro secara diam-diam.
Di tengah
perkebunan teh seluas sepuluh hektar itu, Tuan Cokro membangun sebuah vila
megah yang hampir semua perabotnya terbuat dari jati istimewa: tiang-tiang,
dinding, lantai, bahkan atap. Kata ibu—yang sudah bertahun-tahun jadi pembantu Tuan
Cokro dan sudah dianggap seperti keluarga, vila yang dibangun dua lantai itu
menghabiskan biaya sekitar hamper satu miliyar.
Di vila itulah,
kemudian, Tuan cokro menghabiskan sisa usianya. Vila itu dibangun seminggu
setelah dokter memvonis positif, bahwa Tuan Cokro mengidap komplikasi jantung yang
akut. Tak sampai dua bulan, vila itu sudah cling
dan siap untuk dihuni. Dari rumahnya yang seperti istana di bilangan Kalibata,
Tuan Cokro memutuskan untuk boyong, memindahkan seluruh barang milik pribadinya
ke vila itu, termasuk ibu, pembantu setianya.
Sudah puluhan
tahun Tuan Cokro menduda, tak jelas statusnya. Konon, istrinya berselingkuh
dengan bule asal Jerman, rekan bisnis Tuan Cokro sendiri. Setelah Tuan Cokro
berhasil membongkar perselingkuhan itu, istrinya malah kabur ke Jerman dengan
selingkuhannya. Kabar istrinya pun retak tak terlacak. Tuan Cokro hanya bisa
menangisinya. Istrinya memang wanita jalang yang keras kepala. Ketika itu, aku
dan Mas Bagus, putra sebiji wayang Tuan Cokro, sama-sama masih kencur. Hanya,
yang kuingat, Tuan Cokro memang sering sekali adu mulut dengan istrinya yang
juga sangat mahir memarahi ibu dan mencela semua pekerjaanya.
Setelah
kepergian istrinya yang durhaka itu, Tuan Cokro tak hendak menikah lagi, ia
ingin fokus pada karir dan masa depan anaknya yang piatu tanpa ibu. Aku dan Mas
Bagus dibesarkan berdua, sama-sama, seperti saudara. Mas Bagus disekolahkan,
aku pun sama. Mas Bagus dibelikan sepeda, aku juga. Mas Bagus dikuliahkan, aku
pun tak beda. Hanya saja, Mas Bagus memanggil Tuan Cokro dengan sebutan ‘Ayah’,
dan aku memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan’, sama seperti ibu.
Ketika usia
mengantarkan kami (Aku dan Mas Bagus) menuju kedewasaan, kami pun mulai
merancang jalan kami sendiri-sendiri. Mas Bagus melanjutkan kuliahnya ke Belanda,
dan pulang sebulan sekali. Aku, yang tak ingin jauh-jauh dari ibu, tetap
melanjutkan kuliah di tempat kami tinggal. Sempurnalah rumah besar itu menjadi
kastil yang sepi, hanya ada Tuan Cokro, aku, ibu, beserta dua satpam yang lebih
betah menghabiskan waktu di gerbang depan. Sesekali Tuan Cokro menyewa tukang
kebun panggilan untuk memotong rumput dan membersihkan kolam renang di taman
belakang.
Beberapa tahun
setelah studinya di Belanda, Mas Bagus pulang membawa calon istri, sama-sama
mahasiswa Indonesia yang juga kuliah di sana. Semenjak menikah, Mas Bagus mulai
jarang menengok rumah, paling-paling menelpon. Bahkan, pada detik ketika Tuan
Cokro tiba-tiba ambruk di kamar mandi dan dilarikan ke rumah sakit, Mas Bagus
tidak bisa pulang karena tugas akhir kuliahnya. Dalam telepon, Mas Bagus cuma mengatakan,
“titip bapak, ya. Saya belum bisa balik. Tolong, titip bapak.”
Aku tak bisa
berkata apa-apa.
Ketika akhirnya
Tuan Cokro memutuskan untuk membangun vila di tengah perkebunan teh itu, dan
boyong ke sana, aku menelpon Mas Bagus dan menceritakan semua. Bahwa bapak
sudah lepas tangan dari bisnis dan pekerjaannya, semua akan dilimpahkan kepada
Mas Bagus setelah Mas Bagus menyelesaikan studinya yang tidak lama lagi. Bapak
sudah lelah dan ingin pensiun abadi, bapak ingin menghabiskan sisa hidupnya
dengan tenang. Di tempat yang tenang. Dengan hati yang tenang.
Di vila dingin
itulah, Tuan Cokro menginsyafi seluruh kerentaanya. Kian waktu kondisi
kesehatan Tuan Cokro kian musykil, ia hanya bisa terjaga di atas kursi roda.
Bicaranya pun sudah mulai kidal-kidal. Seperti kembali menjadi bayi. Ibu
merawat Tuan Cokro seperti merawat balitanya sendiri: menyuapi, mengelap
tubuhnya dengan air hangat, bahkan dengan sangat telaten ibu mengganti popok
Tuan Cokro. Aku sendiri tak heran jika pada akhirnya Tuan Cokro menyerahkan
separuh kekayaannya untuk ibu.
Pada detik-detik
penghabisan, ketika Tuan Cokro menyerahkan surat wasiat itu, aku ada di sana.
Saat itu Mas Bagus masih di Belanda. Berkali-kali aku menelponnya untuk segera
pulang, bapak butuh dia, tapi Mas Bagus bilang ada masalah dengan keberangkatan
pesawatnya. Aku tak bisa memaksanya lebih. Maka, saat itu aku sendiri yang
menuntun Tuan Cokro mengucapkan kalimah-kalimah
thayibah, membisikkan kalimat talqin
ke telinganya yang tampak beku. Detik
itu, mata Tuan Cokro menatapku, runcing,
mendelik, mulutnya bergetar, seperti ada sesuatu yang ingin diucapkannya namun
tak pernah sampai. Hingga akhirnya Tuan Cokro menghembuskan napas terakhirnya
dengan mata terbuka. Innalillah, tanganku
sendiri yang kemudian mengatupkannya.
Mas Bagus sampai
di rumah sehari selepas jenazah Tuan Cokro disemayamkan. Ia menangis tak
bersudah sambil memelukku. Ia menamatkan penyesalannya dengan air mata. Hari
yang membara. Hari yang penuh air mata. Bahkan, ibu, yang sebelumnya jarang
kulihat menitikkan air mata, matanya turut lebam karena tangis.
Selepas
kuceritakan perihal wasiat itu kepada Mas Bagus, Mas Bagus kembali memelukku
lebih erat, ia juga memeluk ibu. Kata Mas Bagus, kami memang pantas untuk itu.
Tujuh hari setelah kepergian Tuan Cokro, Mas Bagus dan istrinya kembali ke
Belanda. Pada selamatan empat puluh hari, Mas Bagus pulang seorang diri dan
berkabar bahwa istrinya tengah hamil muda dan tak bisa ikut. Untuk sementara
waktu ia akan tinggal di Belanda. Mas Bagus juga menawariku untuk mengelola
bisnis peninggalan bapaknya, tapi aku menolak, hingga Mas Bagus berpikir untuk
menjual saham bisnisnya.
Rumah besar di
bilangan Kalibata yang dulu kami huni, kini jadi rumah tua yang ditumbuhi
belukar kesunyian yang tak terukur lebatnya. Sebelum lepas landas, Mas Bagus
juga berpesan padaku supaya mengunjungi rumah itu sesekali waktu. Karena,
bagaimana pun, rumah itu pernah menjadi rumah kami, rumah masa kecil kami,
rumah masa lalu yang penuh kenangan. Aku sempat mengusulkan supaya rumah itu
dijual atau dikontrakkan saja, namun Mas Bagus menyanggah, katanya, rumah itu
akan hilang jiwanya jika sampai jatuh ke tangan orang lain. Entah kapan, suatu
saat nanti aku pasti akan kembali menempati rumah itu, begitu ungkapnya.
Itulah terakhir
kali aku bertemu dengan Mas Bagus.
***
Hari menjelang
dhuha, tapi kabut masih mengepul seperti pukul tiga pagi. Hawa dingin menyeruak
dari sela-sela pintu dan jendela yang tampak beku. Teh di atas meja sudah
dingin. Sisa bubur yang masih separuh lebih juga sudah dingin. Aku membeku
menunggu ibu bersuara. Tapi mulut ibu masih rapat. Tubuhnya gemetar di balik
selimut.
Aku tercenung,
melemparkan paku pandang ke kabut tebal di luar jendela. Tiba-tiba, aku
membayangkan kabut-kabut itu hidup dan melata. Mendatangi kami, melewati celah-celah
pintu dan jendela. Lalu melilit tubuh kami sedemikian rupa hingga kami turut beku
di dalamnya.
Ibu terbatuk-batuk
ringan lagi. Dari mulutnya, asap tipis memecah di udara. Atis.
“Bukankah ibu
mau bercerita? Tak jadi?” Lirihku ke sekian kalinya.
Ibu menatapku lagi,
lekat. Pandanganya menegang. Seolah dapat kutilik kepulan kabut tebal berarak
di matanya. Mata ibu tak ubahnya jendela kaca yang memisahkan kami dari rahasia
kabut tebal yang mencekam di luar sana. Atau barangkali, kabut tebal yang
mengepul di luar sana bermula dari mata ibu?
“Bapakmu,” suara
ibu seperti bisikkan. Kabut di matanya memecah.
Serta merta
kisah basi itu menggedor kepalaku. Sewaktu aku kecil, ketika aku bertanya
tentang bapak, ibu acap berdalih bahwa
kisah bapak bukanlah kisah baik yang patut didengar. Kata ibu, bapak menghilang
ditelan bumi setelah menitipkan aku ke rahimnya. Ibu merasa dipecundangi, tak
ada cinta di sana, karena ibu hanya tempat penitipan barang yang mudah dilupakan. Maka, ibu melenyapkan
kata ‘bapak’ secara sadis dari masa kecilku. Hingga aku tak pernah ingin
mendengar lebih.
“Ambilah cermin!”
pinta ibu tiba-tiba. Aku pun mengambilnya, mengingat ibu memang acap berkata
dan bertingkah aneh akhir-akhir ini.
“Bercerminlah!”
pinta ibu lagi. Aku menurutinya.
“Tidakkah kau
lihat wajah bapakmu di sana?” bisiknya.
Aku menjauhkan
cermin itu dari wajahku, “ibu, ada-ada saja…”
“Coba kau tatap
lekat-lekat wajah dalam cermin itu, siapa yang kau lihat di sana?”
Kupikir ibu
tengah mengajakku bercanda. Aku memilih mengalah, menuruti kata-katanya.
“Coba kau lihat
betul-betul!” pintanya lagi.
Perlahan aku
menekuni wajah dalam cermin itu. Gurat dan garit wajah yang tak pernah kuakrabi
sebelumnya. Perlahan aku menekuni wajah itu, mata, alis, hidung, bibir, garis
senyum… Baru kusadari, bahwa wajahku memang benar-benar mirip dengan wajah seseorang.
Wajah Tuan Cokro sewaktu muda. Aku tak percaya. Tapi, kemudian ibu menyela, “itulah
sebabnya, ibu sudi merawat Tuan Cokro sedemikian rupa, itulah sebabnya, ia
mewariskan separuh hartanya pada kita, itulah sebabnya...”
Aku tak tahu,
apa aku harus percaya, apa kesimpulanku sempurna. Tapi, mendadak, batok
kepalaku terasa berdenyut-denyut. Kulempar cermin itu hingga berkeping menjadi beling.
Aku berpaling meninggalkan ibu yang bergeming.
Seperti orang alpa
yang tak peduli apa-apa. Aku berlalu menggebrak pintu. Menerobos kabut yang tak
terkilas tebalnya. Hawa dingin menusuk tengkuk. Aku terus melangkah menjauhi
tempat itu, menjauhi rumah itu, menjauhi ibu. Lamat-lamat kudengar teriakan ibu
memanggil-manggil namaku. Aku tak menggubris.
Entah musabab
apa, tiba-tiba mataku menjadi sangat perih. Mungkin musabab kabut tebal ini. Di
Sini, kabut memang sangat tebal. Tebal sekali. Seoleh kabut itu memang
bersumber dari mata ibu. Mata yang begitu pasrah dan betah menyimpan
kebohongan.***
Malang, 11-11-11
0 komentar:
Posting Komentar