Kabut Kebun Teh (JURNAL NASIONAL, Minggu 27 Januari 2013)


Ibu masih pulas dalam pucatnya. Kubenarkan letak selimutnya. Di sebelah dipan, tersandar meja kotak kecil. Di atasnya, segelas teh panas masih mengepulkan asap, sepiring bubur mengaurkan aroma lezat yang membuat perutku berkeriap, aneka kapsul dan tablet bergeletakkan dalam toples kecil.
Di luar, kabut masih amat tebal. Kusingkap sedikit daun jendela. Lindap. Hawa dingin menyergap. Ibu terbatuk-batuk ringan dan terjaga dari tidurnya.
“Dingin. Tutup saja jendelanya,” tutur ibu dengan batuk tertahan.
Kembali kututup daun jendela. Kubantu ibu bangun dari rebahnya. Kuambilkan segelas teh hangat yang masih mengepul di meja. Pelan-pelan diseruputnya. Selepas itu, aku menyuapinya bubur, beberapa sendok, dan meminumkannya obat.
“Apa kau mau mendengarkan sesuatu, sebuah cerita?” kata ibu sekonyong-konyong.
Semenjak sakit tuanya merajalela, ibu memang kerap berkata dan bertingkah yang aneh-aneh, termasuk, memintaku mendengarkan cerita-ceritanya yang terkadang juga terdengar aneh. Aku mengangguk saja. Menunggunya bercerita.
***
Sebelum Tuan Cokro menyepikan detak jantungnya dengan paripurna, ia sempat menulis sebuah wasiat untuk ibu. Dalam wasiat itu, ia mengatakan, bahwa seluruh kebun teh termasuk vila yang dibangun megah di atasnya akan menjadi milik ibu secara syah, setelah ibu menanda tangani surat tanah dan hak milik yang telah diurus Tuan Cokro secara diam-diam.
Di tengah perkebunan teh seluas sepuluh hektar itu, Tuan Cokro membangun sebuah vila megah yang hampir semua perabotnya terbuat dari jati istimewa: tiang-tiang, dinding, lantai, bahkan atap. Kata ibu—yang sudah bertahun-tahun jadi pembantu Tuan Cokro dan sudah dianggap seperti keluarga, vila yang dibangun dua lantai itu menghabiskan biaya sekitar hamper satu miliyar.
Di vila itulah, kemudian, Tuan cokro menghabiskan sisa usianya. Vila itu dibangun seminggu setelah dokter memvonis positif, bahwa Tuan Cokro mengidap komplikasi jantung yang akut. Tak sampai dua bulan, vila itu sudah cling dan siap untuk dihuni. Dari rumahnya yang seperti istana di bilangan Kalibata, Tuan Cokro memutuskan untuk boyong, memindahkan seluruh barang milik pribadinya ke vila itu, termasuk ibu, pembantu setianya.
Sudah puluhan tahun Tuan Cokro menduda, tak jelas statusnya. Konon, istrinya berselingkuh dengan bule asal Jerman, rekan bisnis Tuan Cokro sendiri. Setelah Tuan Cokro berhasil membongkar perselingkuhan itu, istrinya malah kabur ke Jerman dengan selingkuhannya. Kabar istrinya pun retak tak terlacak. Tuan Cokro hanya bisa menangisinya. Istrinya memang wanita jalang yang keras kepala. Ketika itu, aku dan Mas Bagus, putra sebiji wayang Tuan Cokro, sama-sama masih kencur. Hanya, yang kuingat, Tuan Cokro memang sering sekali adu mulut dengan istrinya yang juga sangat mahir memarahi ibu dan mencela semua pekerjaanya.
Setelah kepergian istrinya yang durhaka itu, Tuan Cokro tak hendak menikah lagi, ia ingin fokus pada karir dan masa depan anaknya yang piatu tanpa ibu. Aku dan Mas Bagus dibesarkan berdua, sama-sama, seperti saudara. Mas Bagus disekolahkan, aku pun sama. Mas Bagus dibelikan sepeda, aku juga. Mas Bagus dikuliahkan, aku pun tak beda. Hanya saja, Mas Bagus memanggil Tuan Cokro dengan sebutan ‘Ayah’, dan aku memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan’, sama seperti ibu.
Ketika usia mengantarkan kami (Aku dan Mas Bagus) menuju kedewasaan, kami pun mulai merancang jalan kami sendiri-sendiri. Mas Bagus melanjutkan kuliahnya ke Belanda, dan pulang sebulan sekali. Aku, yang tak ingin jauh-jauh dari ibu, tetap melanjutkan kuliah di tempat kami tinggal. Sempurnalah rumah besar itu menjadi kastil yang sepi, hanya ada Tuan Cokro, aku, ibu, beserta dua satpam yang lebih betah menghabiskan waktu di gerbang depan. Sesekali Tuan Cokro menyewa tukang kebun panggilan untuk memotong rumput dan membersihkan kolam renang di taman belakang.
Beberapa tahun setelah studinya di Belanda, Mas Bagus pulang membawa calon istri, sama-sama mahasiswa Indonesia yang juga kuliah di sana. Semenjak menikah, Mas Bagus mulai jarang menengok rumah, paling-paling menelpon. Bahkan, pada detik ketika Tuan Cokro tiba-tiba ambruk di kamar mandi dan dilarikan ke rumah sakit, Mas Bagus tidak bisa pulang karena tugas akhir kuliahnya. Dalam telepon, Mas Bagus cuma mengatakan, “titip bapak, ya. Saya belum bisa balik. Tolong, titip bapak.”
Aku tak bisa berkata apa-apa.
Ketika akhirnya Tuan Cokro memutuskan untuk membangun vila di tengah perkebunan teh itu, dan boyong ke sana, aku menelpon Mas Bagus dan menceritakan semua. Bahwa bapak sudah lepas tangan dari bisnis dan pekerjaannya, semua akan dilimpahkan kepada Mas Bagus setelah Mas Bagus menyelesaikan studinya yang tidak lama lagi. Bapak sudah lelah dan ingin pensiun abadi, bapak ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang. Di tempat yang tenang. Dengan hati yang tenang.
Di vila dingin itulah, Tuan Cokro menginsyafi seluruh kerentaanya. Kian waktu kondisi kesehatan Tuan Cokro kian musykil, ia hanya bisa terjaga di atas kursi roda. Bicaranya pun sudah mulai kidal-kidal. Seperti kembali menjadi bayi. Ibu merawat Tuan Cokro seperti merawat balitanya sendiri: menyuapi, mengelap tubuhnya dengan air hangat, bahkan dengan sangat telaten ibu mengganti popok Tuan Cokro. Aku sendiri tak heran jika pada akhirnya Tuan Cokro menyerahkan separuh kekayaannya untuk ibu.
Pada detik-detik penghabisan, ketika Tuan Cokro menyerahkan surat wasiat itu, aku ada di sana. Saat itu Mas Bagus masih di Belanda. Berkali-kali aku menelponnya untuk segera pulang, bapak butuh dia, tapi Mas Bagus bilang ada masalah dengan keberangkatan pesawatnya. Aku tak bisa memaksanya lebih. Maka, saat itu aku sendiri yang menuntun Tuan Cokro mengucapkan kalimah-kalimah thayibah, membisikkan kalimat talqin ke telinganya yang tampak beku.  Detik itu,  mata Tuan Cokro menatapku, runcing, mendelik, mulutnya bergetar, seperti ada sesuatu yang ingin diucapkannya namun tak pernah sampai. Hingga akhirnya Tuan Cokro menghembuskan napas terakhirnya dengan mata terbuka. Innalillah, tanganku sendiri yang kemudian mengatupkannya.
Mas Bagus sampai di rumah sehari selepas jenazah Tuan Cokro disemayamkan. Ia menangis tak bersudah sambil memelukku. Ia menamatkan penyesalannya dengan air mata. Hari yang membara. Hari yang penuh air mata. Bahkan, ibu, yang sebelumnya jarang kulihat menitikkan air mata, matanya turut lebam karena tangis.
Selepas kuceritakan perihal wasiat itu kepada Mas Bagus, Mas Bagus kembali memelukku lebih erat, ia juga memeluk ibu. Kata Mas Bagus, kami memang pantas untuk itu. Tujuh hari setelah kepergian Tuan Cokro, Mas Bagus dan istrinya kembali ke Belanda. Pada selamatan empat puluh hari, Mas Bagus pulang seorang diri dan berkabar bahwa istrinya tengah hamil muda dan tak bisa ikut. Untuk sementara waktu ia akan tinggal di Belanda. Mas Bagus juga menawariku untuk mengelola bisnis peninggalan bapaknya, tapi aku menolak, hingga Mas Bagus berpikir untuk menjual saham bisnisnya.
Rumah besar di bilangan Kalibata yang dulu kami huni, kini jadi rumah tua yang ditumbuhi belukar kesunyian yang tak terukur lebatnya. Sebelum lepas landas, Mas Bagus juga berpesan padaku supaya mengunjungi rumah itu sesekali waktu. Karena, bagaimana pun, rumah itu pernah menjadi rumah kami, rumah masa kecil kami, rumah masa lalu yang penuh kenangan. Aku sempat mengusulkan supaya rumah itu dijual atau dikontrakkan saja, namun Mas Bagus menyanggah, katanya, rumah itu akan hilang jiwanya jika sampai jatuh ke tangan orang lain. Entah kapan, suatu saat nanti aku pasti akan kembali menempati rumah itu, begitu ungkapnya.
Itulah terakhir kali aku bertemu dengan Mas Bagus.
***
Hari menjelang dhuha, tapi kabut masih mengepul seperti pukul tiga pagi. Hawa dingin menyeruak dari sela-sela pintu dan jendela yang tampak beku. Teh di atas meja sudah dingin. Sisa bubur yang masih separuh lebih juga sudah dingin. Aku membeku menunggu ibu bersuara. Tapi mulut ibu masih rapat. Tubuhnya gemetar di balik selimut.
Aku tercenung, melemparkan paku pandang ke kabut tebal di luar jendela. Tiba-tiba, aku membayangkan kabut-kabut itu hidup dan melata. Mendatangi kami, melewati celah-celah pintu dan jendela. Lalu melilit tubuh kami sedemikian rupa hingga kami turut beku di dalamnya.
Ibu terbatuk-batuk ringan lagi. Dari mulutnya, asap tipis memecah di udara. Atis.
“Bukankah ibu mau bercerita? Tak jadi?” Lirihku ke sekian kalinya.
Ibu menatapku lagi, lekat. Pandanganya menegang. Seolah dapat kutilik kepulan kabut tebal berarak di matanya. Mata ibu tak ubahnya jendela kaca yang memisahkan kami dari rahasia kabut tebal yang mencekam di luar sana. Atau barangkali, kabut tebal yang mengepul di luar sana bermula dari mata ibu?
“Bapakmu,” suara ibu seperti bisikkan. Kabut di matanya memecah.
Serta merta kisah basi itu menggedor kepalaku. Sewaktu aku kecil, ketika aku bertanya tentang bapak,  ibu acap berdalih bahwa kisah bapak bukanlah kisah baik yang patut didengar. Kata ibu, bapak menghilang ditelan bumi setelah menitipkan aku ke rahimnya. Ibu merasa dipecundangi, tak ada cinta di sana, karena ibu hanya tempat penitipan barang  yang mudah dilupakan. Maka, ibu melenyapkan kata ‘bapak’ secara sadis dari masa kecilku. Hingga aku tak pernah ingin mendengar lebih.
“Ambilah cermin!” pinta ibu tiba-tiba. Aku pun mengambilnya, mengingat ibu memang acap berkata dan bertingkah aneh akhir-akhir ini.
“Bercerminlah!” pinta ibu lagi. Aku menurutinya.
“Tidakkah kau lihat wajah bapakmu di sana?” bisiknya.
Aku menjauhkan cermin itu dari wajahku, “ibu, ada-ada saja…”
“Coba kau tatap lekat-lekat wajah dalam cermin itu, siapa yang kau lihat di sana?”
Kupikir ibu tengah mengajakku bercanda. Aku memilih mengalah, menuruti kata-katanya.
“Coba kau lihat betul-betul!” pintanya lagi.
Perlahan aku menekuni wajah dalam cermin itu. Gurat dan garit wajah yang tak pernah kuakrabi sebelumnya. Perlahan aku menekuni wajah itu, mata, alis, hidung, bibir, garis senyum… Baru kusadari, bahwa wajahku memang benar-benar mirip dengan wajah seseorang. Wajah Tuan Cokro sewaktu muda. Aku tak percaya. Tapi, kemudian ibu menyela, “itulah sebabnya, ibu sudi merawat Tuan Cokro sedemikian rupa, itulah sebabnya, ia mewariskan separuh hartanya pada kita, itulah sebabnya...”
Aku tak tahu, apa aku harus percaya, apa kesimpulanku sempurna. Tapi, mendadak, batok kepalaku terasa berdenyut-denyut. Kulempar cermin itu hingga berkeping menjadi beling. Aku berpaling meninggalkan ibu yang bergeming.
Seperti orang alpa yang tak peduli apa-apa. Aku berlalu menggebrak pintu. Menerobos kabut yang tak terkilas tebalnya. Hawa dingin menusuk tengkuk. Aku terus melangkah menjauhi tempat itu, menjauhi rumah itu, menjauhi ibu. Lamat-lamat kudengar teriakan ibu memanggil-manggil namaku. Aku tak menggubris.
Entah musabab apa, tiba-tiba mataku menjadi sangat perih. Mungkin musabab kabut tebal ini. Di Sini, kabut memang sangat tebal. Tebal sekali. Seoleh kabut itu memang bersumber dari mata ibu. Mata yang begitu pasrah dan betah menyimpan kebohongan.***
Malang, 11-11-11

0 komentar: