Cerpen
Mashdar Zainal
Sang pelawak
kita ini bukanlah pelawak sembarangan, ia adalah pelawak yang menapaki kesuksean
benar-benar dari titik nol, yang kemudian karena bakatnya, berangsur-angsur kehidupannya membaik, bahkan nyaris
sempurna. Dulunya ia memang
seorang jelata yang tak punya apa-apa, yang hidupnya
dililit utang dan pengangguran. Namun, karena bakatnya—yang pandai membuat orang tertawa, seorang teman mengusulkannya untuk jadi pelawak saja.
Maka, iseng-iseng
sang pelawak kita ini mengikuti audisi pelawak yang diselenggarakan tivi-tivi
yang ratingnya mulai turun itu. Tak dinyana, ia pun lolos, jadi jawara. Orang
bilang, lawakan-lawakannya segar, spontan, dan alami. Sejak itu, ia mulai
diundang mengisi acara hiburan di sana-sini. Konon, setiap orang yang
menyaksikan lawakan-lawakannya bakal tertawa lepas. Lupa pada utang dan tetek
bengek permasalahan hidup. Konon pula, lelucon-lelucon yang diusung sang
pelawak kita ini bisa jadi obat stres yang ampuh.
Mengingat
keadaan manusia zaman sekarang, yang kesana-kemari selalu membawa masalah dan
mudah sekali ditemploki stres, tampilan sang pelawak kita ini pun jadi semacam
klinik alternatif buat mereka. Tak ayal, kian waktu lawakan sang pelawak kita
ini pun semakin laris, semakin manis. Beberapa stasiun tivi mengontraknya
dengan honor yang katanya lebih dari cukup untuk beli merci.
Tak cuma itu,
sang pelawak kita ini pun sudah mulai ditawari untuk membintangi sejumlah iklan
dan layar lebar. Ia juga merambahi dunia host,
meski tata bicaranya masih saja tak tertata, seperti ketika ia sedang melawak. Namanya
juga pelawak. Di luar itu, karena suara sang pelawak kita ini memang cukup
merdu untuk ukuran pelawak, maka tak mau ketinggalan, ia pun mulai menerjuni
dunia rekaman. Membuat album, yang sebenarnya tak laku-laku amat. Dan terakhir,
yang membanggakan, sekonyong koder ia mendapatkan penghargaan sebagai komedian
terbaik, sekaligus host terbaik. Betapa hebat sang pelawak kita ini, bukan?
Bisa dibilang
sang pelawak kita ini sudah menjadi insan garda depan di Indonesia. Bagaimana
tidak, setiap hari nongol di tivi, bahkan mungkin setiap jam. Tak ada orang
yang tak mengenalnya. Dari pelosok kampung sampai penghuni gedung, semua
mengenalnya. Suara dan lawakannya sudah lekat di kepala siapa pun. Sosoknya
yang tak terlalu tampan pun sudah mulai diidam-idamkan orang. Gaya rambut dan
pakaiannya ngtrend di pasaran. Mati-matian
orang ingin bertemu dengannya, untuk sekedar berjabat, foto-foto, cipika-cikipi,
atau meminta tanda tangan.
Menyebrang
bulan dan tahun, karir sang pelawak kita ini pun semakin meroket. Hingga
mendadak, ia suka bagi-bagi uang buat orang-orang miskin, orang-orang cacat,
dan itu semua ditayangkan di layar kaca, menjadi program reality show unggulan yang laris. Ouh, selain pandai melawak,
rupanya sang pelawak kita ini juga rajin beramal.
Kendati sudah
jadi artis papan atas, sang pelawak kita ini tak lantas jadi sombong—meski sekarang
ia tak pernah sudi lagi makan di warteg. Ketika diwawancarai, sang pelawak kita
ini pun kerap mengingatkan pemirsa, bahwa manusia itu memang tak layak sombong.
Semua yang ia dapat dari nol itu, ketenaran, kesuksesan, harta berlimpah,
semuanya merupakan titipan Tuhan belaka, yang harus ia jaga dengan baik. Karena
itulah, sang pelawak kita ini tak pernah mau sombong. Ouh, rupanya sang pelawak
kita ini juga berhati santri.
Begitulah,
kehidupan sang pelawak kita ini rupanya benar-benar bersahaja. Lingkar hidupnya
benar-benar sempurna. Bangun pagi, sarapan, berangkat shuting, sesekali liburan
ke luar negeri. Rumahnya nyaman, kasur empuk, kolam renang, makanan melimpah,
sesekali kalau ingin melihat sesuatu yang berbeda ia mengunjungi panti-panti
asuhan atau panti-panti jompo, bagi-bagi angpau. Seolah kehidupannya menapak di
jenjang surga. Hingga suatu ketika, seorang anonim menyerapahinya lewat dunia
maya, yang dibaca jutaan orang.
Sang anonim
itu mengatakan, bahwa lawakan-lawakan yang ditampilkan sang pelawak kita ini adalah
lawakan murahan yang tidak bermutu. Sang anonim itu juga menceramahinya,
katanya setiap lawakannya yang murahan dan berbau mesum itu akan dimintai
pertanggung jawaban di hadapan Tuhan.
Pada mulanya,
sang pelawak kita ini menanggapi serapah itu dengan santai. Ketika diwawancarai
di infotainment, sang pelawak kita ini mengatakan, begitulah resiko jadi publik
figur. Ada yang suka, ada yang tak suka. Ada yang mendukung, ada yang menelikung.
Ada yang memuja, ada yang menghujat. Itu bukanlah hal baru lagi di dunia
selebritas. Jadi tak perlu diambil pusing.
Namun,
setelah sang pelawak kita ini pulang ke rumah dan masuk ke kamarnya, ia mulai
duduk termenung di bibir ranjang. Entah mengapa, kata-kata sang anonim itu
begitu jleb menusuk ulu batinnya.
Ingin rasanya, sang pelawak kita ini tak menggubris, seperti komitmennya ketika
diwawancari di infotanment, namun entah mengapa, kata-kata itu sangat sulit
untuk ia lupakan. Rasa-rasanya kata-kata itu seperti sebuah mantra, sebuah
kutukan yang tak mungkin hilang dalam sekejap. Berhari-hari sang pelawak kita
ini down, ia mulai menolak tawaran-tawaran
shuting, bahkan beberapa kontrak yang telah ia acc terpaksa ia batalkan.
Maka, seperti
api menjumpa minyak, media infotainmet yang seperti monster itu segera
mengendus kabar terbaru mengenai sang pelawak kita ini, hingga tersebarlah
berita di media-media, bahwa sang pelawak kita ini tengah mengalami teror
psikis dikarenakan kasus ‘sang anonim’ itu. Namun, ketika sang pelawak kita ini
mendengar berita yang kurang terhormat itu, ia tak terima, kepada media, ia
mengaku bahwa akhir-akhir ini keadaan fisiknya sedang drop sehingga ia harus banyak beristirahat.
Begitulah, seperti sebuah penyakit yang sudah
terlanjur menjalar, mewabah. Sang pelawak kita ini akhirnya menyerah, memilih
mengurung diri di dalam kamar. Ia menutup rapat-rapat gerbang dan pintu rumah. Kata-kata
sang anonim itu masih saja mengiang di telinganya, mendekam di kepalanya. Berhari-hari,
berminggu-minggu, sang pelawak kita ini memenjarakan dirinya. Lupa sudah ia pada dunia luar, pada shuting,
ketenaran, honor bejibun, semua seperti tak ada artinya. Hanya hiburan selintas
yang tak memiliki makna jelas.
Terus menerus
sang pelawak kita ini memutar otak, mencari cara agar hatinya bisa lega,
terlepas dari terror dan kata-kata sang anonim yang begitu mandraguna. Terus
menerus ia mumutar ulang kata-kata itu dalam kepalanya. Sampai ia benar-benar
hapal di luar kepala. Ingin rasanya ia memastikan kebenaran kata-kata sang
anonim itu, namun ia bingung harus memulai dari mana. Hingga terpikirlah dalam
benaknya untuk memutar ulang kaset CD yang merekam lawakan-lawakannya sendiri itu.
Bergegaslah
ia menyalakan player, memutar lawakan-lawakan
yang selama ini diagung-agungkan banyak orang, lawakan-lawakan yang katanya
bisa menjadi pengobat stress. Dalam sekejap, terduduklah ia di atas sofa empuk
dalam kamarnya. Matanya mendelik, menatap layar kaca di hadapannya, yang
menayangkan lawakan khas yang ia bintangi sendiri.
Dalam
tayangan itu, terpampanglah segala polah dan lelucon yang menyembur baur dari
mulutnya. Saling berpantun, saling merendahkan satu sama lain, saling
melecehkan, saling menjelekkan, anehnya, tawa-tawa penonton terdengar begitu
riuh, membahana. Dan untuk pertama kalinya sang pelawak kita ini bertanya-tanya:
lawakan-lawakan itu, di mana letak kelucuannya?
Selanjutnya—masih
dalam tayangan itu—datanglah seorang bintang tamu, wanita bahenol yang
mengenakan rok di atas lutut, sudah… jadilah ia sasaran empuk lelucon
selanjutnya. Mengalirlah kata-kata cabul yang diselentingkan di sana-sini.
Menguaplah tutur-tutur jorok yang dipleset-plesetkan ke sana ke mari. Dan sekali
lagi, sang pelawak kita ini mencari-cari, letak kelucuannya di mana. Dan ia tak
pernah menemukannya, sama sekali. Dan entah mengapa, tetap saja, para penonton itu
tertawa riuh, menggelegar, menjerit-jerit.
Mata sang
pelawak kita ini masih saja mendelik. Tidak tertawa sedikit pun. Malah air
matanya yang meleleh tiba-tiba. Seperti tak terbendung. Ia sendiri bingung,
nuansa apa yang sebenarnya tengah ia rasakan. Menonton lawak tapi tidak
tertawa, malah menangis. Serta-merta, seperti sumbu tersulut api, sang pelawak
kita ini tiba-tiba begitu geram terhadap dirinya sendiri. Dilemparnya remote player yang ia pegang sampai rekah
berantakan. Ingin rasanya ia merantai tangan dan kakinya sendiri. Ingin rasanya
ia menjahit mulutnya sendiri. Supaya lawakan-lawakan konyol dan cabul itu tidak
terucap lagi.
Demikianlah,
tanpa kehadiran sang pelawak kita ini pun dunia masih berjalan dengan baik.
Tivi-tivi masih tetap menayangkan lawakan-lawakan serupa dengan wajah-wajah
baru yang lebih lucu. Infotainment dan media-media pun tak pernah kehabisan
berita. Meski sang pelawak kita ini sudah tak terdengar lagi gaungnya. Hingga
suatu ketika, media mengabarkan bahwa sang pelawak kita ini ditemukan sudah
membusuk di dalam kamarnya, dengan mulut berdarah-darah penuh luka jahitan.***
Malang, 6 September 2012
0 komentar:
Posting Komentar