SETIAP pagi, di depan gerbang sekolah,
Hardi selalu menyaksikan adegan peluk-memeluk yang begitu menggetarkan. Pagi-pagi,
sebelum masuk ke dalam kelas, Hardi selalu berdiri berlama-lama di depan
gerbang sekolah, demi menghitung adegan peluk-memeluk yang ia saksikan—yang begitu
indah dan ia idam-idamkan. Mata Hardi menyipit dan hampir tak berkedip
mengawasi Siska dipeluk dan dicium mamanya sebelum masuk kelas. Sepulang
sekolah, ia juga selalu memerhatikan bagaimana Bram meloncat-loncat setelah
dipeluk kakeknya, sebelum masuk ke dalam mobil jemputan. Ia juga selalu melirik
Bu Guru yang sangat suka memeluk erat-erat anaknya yang masih TK, dengan bonus
kecupan di kening.
Banyak sekali adegan peluk-memeluk
yang ia saksikan sepanjang hidupnya, dan ia hanya bisa menggigit jari. Membayangkan
tubuhnya yang kecil dapat memeluk atau dipeluk seseorang. Hardi merasa,
hidupnya sangat menderita. Selama tinggal di panti asuhan, ia tak pernah
memeluk atau dipeluk siapapun. Bahkan, dalam mimpi sekali pun, Hardi tak pernah
memeluk atau dipeluk siapa-siapa. Menyedihkan sekali, bukan?
Di
panti asuhan yang ia huni, untuk mendapatkan sebuah pelukan, beberapa balita
harus menangis terlebih dahulu, hingga ibu pengasuh datang dan kemudian mendiamkannya
dengan pelukan. Tapi Hardi sudah masuk SD, dan hampir kelas dua, ia merasa malu
jikalau harus menangis. Ia terngiang kata Bu Guru di TK, setelah masuk SD
seorang anak—apalagi anak laki-laki—tidak boleh menangis. Lagi pula, menangis
bukan perkara mudah. Pernah sekali ia mencoba mencubit pahanya sendiri sampai merah,
tapi ia tetap tidak bisa menangis. Sejak itu, Hardi bertekad, ia ingin mendapatkan
pelukan dengan cara yang lain.
***
Bila
malam mulai larut, dan Hardi sudah naik ke ranjang susunnya, Hardi akan memeluk
guling pesingnya berlama-lama sampai ia tertidur. Memeluk guling sebelum tidur
rasanya sangat nikmat. Seperti memeluk seseorang yang sedia menemaninya
sepanjang malam, ketika lampu dimatikan dan kamar menjadi gelap. Hmm, memeluk
guling saja sudah begitu hangat dan nyaman, apalagi memeluk seseorang. Pasti
jauh lebih hangat dan nyaman, pikirnya.
***
Pagi hari, sampai di
sekolah, Hardi kembali menyaksikan adegan peluk-memeluk: Siska dan ibunya, Bram
dan kakeknya, Bu Guru dan anaknya, dan masih banyak lagi. Hardi melongo.
Keinginannya untuk memeluk dan dipeluk seseorang kian merajadi-jadi. Hingga
ketika jam istrahat tiba, Hardi memutuskan untuk memeluk seseorang. Hardi akan
mencari seseorang yang cukup berpengalaman untuk ia peluk. Dan Hardi sudah
memutuskan, ia akan memeluk Siska atau Bram, dan kalau boleh, Bu Guru juga.
Namun, rupanya
kenyataan tak semanis yang bayangkan. Ketika ia mencoba untuk memeluk Siska,
Siska malah mendorongnya hingga ia terjerembab. Ketika ia mencoba memeluk Bram,
Bram malah menjotosnya dan mengatainya homo. Hardi benar-benar bingung. Memeluk
seseorang ternyata bukan pekerjaan yang mudah.
Tak selesai sampai di
situ, setelah mendorongnya hingga jatuh, rupanya Siska masih belum puas dan
melaporkan kejadian itu pada Bu Guru. Hingga Bu Guru memarahinya dan menyuruhnya
berdiri di muka pintu—sambil memeluk daun pintu—selama satu jam pelajaran penuh.
Teman-teman sekelas Hardi tertawa tak karuan. Hardi kian sedih, mengapa tak ada
seorangpun yang sudi memahaminya.
Sambil memeluk daun
pintu, Hardi terus bertanya-tanya, apakah memeluk seseorang tanpa izin termasuk
perbuatan tak pantas, hingga ia dihukum sedemikian rupa—memeluk daun pintu satu
jam pelajaran lamanya. Ketika jam pelajaran selesai, Bu Guru baru
mempersilahkannya duduk. Kaki dan tangan Hardi terasa pegal-pegal semua setelah
memeluk daun pintu yang keras, gepeng, dan hanya diam tak berperasaan, selama
satu jam pelajaran penuh.
Sesampainya di rumah
panti, Hardi berjanji dalam hati, akan lebih berhati-hati. Ia tak akan memeluk
orang sembarangan lagi. Ia juga akan menahan sekuat mungkin perasaan ingin
memeluk atau dipeluk seseorang. Sampai malam tiba, seperti malam-malam
sebelumnya, Hardi akan kembali mengobati keinginannya untuk dipeluk dengan
memeluk guling pesingnya. Ya, memeluk guling memang lebih aman. Bu Guling tak
akan mungkin memarahinya, apalagi menyuruhnya memeluk daun pintu.
***
Esok harinya, Hardi
tidak ingin lagi memerhatikan adegan peluk-memeluk di depan gerbang sekolah. Karena
itu bisa membuat keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seeorang bertambah
parah. Ia akan berjalan sedikit menunduk sampai pintu depan kelas. Hardi tak
mau keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seseorang kembali menjadi malapetaka.
Hardi tak berniat memeluk siapapun. Hardi tak ingin Bu Guru menyuruhnya memeluk
daun pintu lagi.
***
Bel jam pelajaran
pertama sudah berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia.
“Anak-anak, hari ini
kita akan belajar tentang perkenalan,” Bu Guru melenggang. Tiba-tiba Hardi
memerhatikan lengan Bu Guru yang jenjang, juga dadanya yang lebar. Pasti mujur
sekali menjadi anak Bu Guru, pikirnya. Setiap hari mendapatkan pelukan yang
nyaman.
“Sekarang, mari kita
menuliskan identitas kita masing-masing, mulai dari nama, alamat, tanggal
lahir, hobi, dan cita-cita. Nanti akan kita bacakan satu persatu, di depan,” Bu
Guru masih terus mengoceh di depan, sementara Hardi masih terbengong-bengong,
membayangkan dipeluk Bu Guru.
“Hardi!” bentak Bu Guru
membuyarkan khayalannya. Ia menghayalkan dipeluk Bu Guru, tapi Bu Guru malah
membentaknya dan membuatnya kaget. Benar-benar tidak setimpal.
“Perhatikan!” tegas Bu
Guru lagi.
Hardi mengangguk,
merunduk-runduk.
“Baiklah,” Bu Guru kembali
melenggang di depan kelas, “sekarang tuliskan identitas kalian, Bu Guru kasih
waktu sepuluh menit.”
Serentak anak-anak
mulai sibuk dengan pensil dan buku tulis masing-masing, termasuk Hardi.
“Yang sudah selesai
boleh dikumpulkan di depan,” ujar Bu Guru setelah beberapa menit berlalu.
Di antara tiga puluh
anak, Hardi selesai paling pertama. Beberapa anak mulai menyusul. Satu persatu,
Bu Guru meneliti tulisan anak-anak. Bu Guru berhenti agak lama ketika membaca
buku tulis milik Hardi.
“Hardi,” seru Bu Guru.
Hardi kaget. Apakah ia mendapatkan
giliran pertama untuk membaca di depan kelas?
“Coba bacakan ini, hobi
dan cita-cita kamu, di depan, yang keras.”
Hardi maju ke depan
kelas dan mulai mengeja tulisannya sendiri. Terbata-bata.
“Nama Hardian, alamat…”
“Stop, stop, baca hobi
dan cita-citanya saja,” pekik Bu Guru.
“Hobi saya…,” berhenti
sejenak, “memeluk.”
Tawa-tawa anak sekelas
meledak. Serentak.
“Siapa yang tertawa?” Bu
Guru menggebrak meja, “ayo lanjutkan!” Bu Guru memelototi Hardi.
Dengan suara terlunta,
Hardi melanjutkan bacaanya, “cita-cita saya… ingin dipeluk.”
Alunan tawa kembali
menggelegar. Gempar.
“Diam!” Bu Guru kembali
menggebrak meja, sebelum kembali memeloti Hardi, “Apa ini maksudnya, hobi kok aneh, memeluk, cita-citamu malah
lebih aneh, dipeluk. Apa ini maksudnya? Mau melucu? Mau cari perhatian?”
Hardi mengkerut. Tak
tahu di mana letak kesalahannya, sehingga Bu Guru kembali marah-marah dan
memelototinya.
“Memalukan! Kecil-kecil
otaknya sudah nggak jelas. Sekarang kamu Bu Guru hukum memeluk tiang di teras
depan, supaya kamu tidak ngawur. Hobi sama cita-cita kok sama-sama nggak jelas.
Besok harus kamu perbaiki. Harus lebih jelas. Ingat. Je-las.”
Sepulang sekolah kepala
Hardi berdenyut-denyut memikirkan kata-kata Bu Guru. Ia tak paham, ‘harus lebih
jelas’ yang dimaksudkan Bu Guru itu seperti apa. Sepanjang malam Hardi berpikir
bagaimana memperjelas hobi dan cita-citanya. Setelah menggigit pensil sampai
hampir patah barulah Hardi mengangguk-angguk. Matanya berbinar, ia akan menulis
begini: hobi saya memeluk Bu Guru, dan cita-cita saya ingin dipeluk Bu Guru.
Sangat jelas.
Hardi yakin, Bu Guru akan
puas.
***
Keesokan
harinya, jam pelajaran Bahasa Indonesia ada di jam terakhir. Hardi tak sabar
menunggu komentar Bu Guru tentang hobi dan cita-citanya yang sudah sangat
jelas. Ia berkhayal lagi, setelah membaca hobi dan cita-citanya, barangkali Bu
Guru akan terharu dan kemudian benar-benar memeluknya.
Namun,
seperti sebelum-sebelumnya, kenyataan memang tak pernah berpihak pada Hardi.
Tak seperti yang ia bayangkan, setelah membaca hobi dan cita-citanya yang baru,
Bu Guru malah semakin marah dan kembali menghukumnya. Kali ini Bu Guru menyuruhnya
memeluk pohon mangga yang ada di depan ruang guru. Kata Bu Guru, sambil
marah-marah, hobi itu paling tidak harus menggambar, memancing, berkebun,
nonton tivi, atau sejelek-jeleknya bermain game. Sedangkan cita-cita lebih
banyak lagi pilihanya, bisa menjadi pilot, polisi, abri, dokter, pelukis, atau
petani juga boleh.
Hardi
benar-benar kesal dengan Bu Guru yang tak pernah mau memahaminya. Lepas dari
itu, Bu Guru juga sudah melakukan pemaksaan terhadap dirinya. Sungguh, dalam hati
kecilnya, Hardi tak pernah suka menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, apalagi
bermain game. Hobinya memang memeluk. Hanya satu. Memeluk. Meski hobi itu tak
pernah terlaksana dengan baik, kecuali memeluk guling, daun pintu, tiang, dan
pohon mangga di depan ruang guru.
Terlebih tentang
cita-cita yang ditawarkan bu guru, sama sekali tak ada yang menggiurkan. Keinginanya cuma satu,
cita-citanya cuma satu; dipeluk. Lebih jelasnya dipeluk Bu Guru. Tapi, setelah
kejadian menjengkelkan itu, serta-merta cita-citanya berubah: ia ingin dipeluk
siapapun yang penting bukan Bu Guru. Ia sudah terlanjur membenci Bu Guru.
***
Sampai
di rumah panti, kejengkelan Hardi terhadap Bu Guru masih belum padam. Hardi
jadi berpikir, jangan-jangan, di dunia ini memang tak ada seorang pun yang
benar-benar ikhlas untuk memeluk atau dipeluk orang lain, kecuali keluarganya.
Buktinya, ia tak pernah melihat Siska dipeluk orang lain, kecuali mamanya atau
terkadang papanya. Ia juga tak pernah menyaksikan Bram memeluk orang lain selain
kakeknya. Begitu juga dengan Bu Guru, yang hanya sudi memeluk anaknya.
Pikiran
Hardi semakin ke mana-mana. Bukankah ia tinggal di panti asuhan? Tanpa ibu,
tanpa ayah, tanpa keluarga yang sebenarnya. Dan itu artinya, takkan pernah ada
orang yang mau untuk ia peluk atau memeluknya. Menyadari hal itu, Hardi semakin
sedih. Masa iya, aku harus memeluk tubuhku sendiri, batinnya. Hatta berulang
kali Hardi mencoba menyilangkan kedua tangan untuk memeluk tubuhnya sendiri,
namun tetap saja, kedua tangannya tak cukup panjang untuk tubuhnya. Bagaimanapun, seseorang memang tak pernah bisa
memeluk tubuhnya sendiri, ia tetap butuh orang lain. Sampai matanya terlelap,
Hardi masih bertanya-tanya, adakah seseorang yang sudi memeluknya?***
Malang,
26 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar