Dan Burung-Burung pun Pulang ke Sarangnya (Lampung Post, Minggu, 8 September 2013)

SEBELUM kau menembakkan matamu ke arah langit yang hampir matang di sebelah barat, sekawanan burung telah terlebih dahulu terbang melintas dan menghilang di kejauhan. Langit begitu tenang, hingga kita mengira bahwa pada saat-saat tertentu langit pun dapat mengheningkan cipta untuk kesedihan yang mengendap di bumi. Dan warna jingga—senja itu, mungkin mengingatkan kita pada langit-langit di atas perkampungan kita beberapa malam lalu.

Kita semua tahu, senja begini, burung-burung pun pulang ke sarang mereka. Jika di waktu yang sama manusia tak bisa pulang ke rumah mereka, apakah berarti burung-burung yang tak pernah kita lihat senyumnya itu lebih bahagia? Sepertinya, iya, burung-burung itu tak pernah merasa punya beban meski bisa saja tiba-tiba sebuah senapan telah terbidik dan sebuah peluru siap bersarang di kepalanya.

Ketika baru saja kita membayangkan kebahagiaan burung-burung, lekas-lekas kau berkata, “Aku ingin terbang ke langit seperti mereka.”

Sementara langit semakin merah, dan kita mulai bertanya-tanya, apakah sekarang sudah masuk waktu maghrib? Jika melihat ke arah matahari yang terbenam, mungkin sebentar lagi akan magrib. Dan mulai beberapa hari lalu, kita telah menandai waktu sembahyang hanya lewat tinggi matahari, karena beberapa malam silam, masjid-masjid beserta musala di kampung kita telah hangus oleh api orang-orang suci. Rumah-rumah dan fasilitas umum juga ditanami api yang menari-nari.

Beberapa orang, jika mereka tak berhasil melarikan diri, mungkin juga akan hangus seperti dikremasi.

“Burung-burung terbang hanya dengan kawanan mereka, seperti juga ikan-ikan yang berenang hanya dengan jenis mereka sendiri. Apakah manusia juga begitu?” kau seperti bertanya pada langit. Dan suatu saat—yang tak akan kita ketahui, mungkin langit akan menjawab dengan caranya sendiri.

“Manusia tentu tidak sama dengan binatang, mereka punya akal dan punya hati,” kata-kata itu terdengar seperti ceramah agama, dan aku tahu, beberapa malam lalu—ketika orang-orang suci itu menanam api di perkampungan kita, ceramah itu tidak berlaku.

“Tapi beberapa malam lalu, kita melihat, orang-orang suci itu seperti kawanan harimau yang menyerang kawanan rusa, dan seolah-olah mereka melakukannya karena telah mendapat restu paling kudus.”

Matamu masih tertembak ke arah langit yang telah matang di sebelah barat. Kerudungmu yang hitam berkibar-kibar, seakan-akan kau akan berbela sungkawa untuk selamanya, seumur hidupmu.

“Kehilangan tempat tinggal dan keluarga mungkin adalah sesuatu yang sulit, tapi seharusnya kita masih bersyukur karena kita tidak kehilangan moral kita sebagai manusia. Katakan, manusia macam apakah yang tega menyeret nenek-nenek lumpuh keluar dari rumah mereka sendiri, atau melempar anak-anak kecil dari pangkuan ibunya. Benarkan Tuhan merestui mereka, seperti sembohyan yang mereka dengung-dengungkan, bahwa darah kita telah menjadi halal lantaran kita berdoa dengan cara yang mereka anggap salah.”

Suaramu masih saja berlompatan seperti rancauan bayi tak tak pernah tahu cara terbaik untuk tidak menyukai sesuatu. Kita kehilangan tempat tinggal. Dan kau kehilangan keluargamu. Setelah beberapa malam lalu, kampung kita tinggalah puing-puing yang mengepulkan asap. Beberapa dari kita terpisah dengan sanak saudara. Kita begitu panik dan tak sempat memikirkan apapun selain nyawa kita yang sudah seperti danging cincang yang tercerai berai dan siap ditusuk dan dibakar matang seperti satai. Barangkali keluargamu terdampar di pengungsian entah, seperti kita yang juga terdampar di pengungsian entah. Dan kita mendengar, bahwa para aparat yang orang-orang yang peduli itu telah berjanji akan mengembalikan kita kepada keluarga kita masing-masing.

“Mengapa mobil jemputannya belum datang?” langit sudah mulai gelap, hingga pandanganmu ke ketinggian terhalang oleh warna hitam.

Mungkin saja mobil-mobil yang akan menjeput kita dan membawa kita ke tempat pengungsian yang baru juga telah dibakar di tengah jalan. Bukankah mereka juga telah memblokir mobil sukarelawan yang membawa bahan makanan untuk kita?

“Sepertinya sudah magrib, sebaiknya kita sembahyang, dan mungkin mobil itu akan datang usai kita sembahyang.”

Langit sudah sempurna gelap. Kau tak perlu memandangnya berlama-lama. Karena, tanpa memandangnya pun kegelapan akan kita temui di mana-mana. Lepas sudah. Di tempat pengungsian ini, kita sembahyang tanpa sajadah. Orang-orang sembahyang tanpa sajadah. Dan malam yang dingin pun segera turun setelah isya menggeliatkan tubuh-tubuh yang kepayahan.

“Mobil jemputan itu tak akan datang, dan kita semua akan membeku di ruangan tanpa dinding ini,” mukena putih yang kau kenakan kau lipat kembali. Seperti melipat kedamaian yang hanya sejenak dan mengembalikannya pada kerudung hitam yang abadi.

Kukatakan padamu, bahwa ruangan tanpa dinding ini bisa saja menjadi lebih buruk, jika kita tak bisa mengendalikan pikiran-pikiran buruk yang terus membayang setelah kejadian mengerikan beberapa malam lalu itu. Dan kau pun terdiam, memilih merebahkan tubuh di atas lantai-lantai yang tiba-tiba menjelma menjadi balok es paling dingin.

Malam belum lagi sampai puncaknya. Dan kemah pengungsian ini telah menjadi sepi. Akan senantiasa sepi. Selepas sembahyang isya, orang-orang lebih memilih berzikir dalam tidur mereka yang berimpit-impit seperti mayat yang dijajarkan karena kematian massal. Mereka, kita, memang sudah serupa mayat yang tak terurus, bergelimpangan dan tenggelam dalam pikiran kita masing-masing.

Dan ketika malam berjalan dengan sangat lambat, seperti gelapnya, seperti juga dinginnya, aku melihatmu bangkit di antara puluhan mayat yang lelap itu. Kau pergi menuju pancuran air dan sembahyang tengah malam dengan tubuh gemetar, dengan pundak berguncang. Mungkin karena dingin. Selepas itu lampu penerangan yang redup di barak pengungsian tiba-tiba mati. Di langit yang serba kelam itu aku seperti melihat tubuhmu melayang-layang, gamis dan kerudung hitammu berkibar-kibar, mengecil di ketinggian, serupa kawanan burung yang terlambat pulang ke sarangnya. n

Malang, 2013

0 komentar: