Sebuah Novel dan Secarik Puisi Romantis
Puisi itu ditulis
tangan, di atas selembar kertas berwarna ungu muda bergambar semu
bunga-bunga. Puisi itu disampaikan pada Loya dengan diselipkan dalam
sebuah novel—yang diberikan pada Loya sebagai hadiah ulang tahun.
“Terima kasih. Novelnya bagus sekali. Aku sudah khatam membacanya,” ungkap Loya saat bertemu kembali dengan lelaki itu.
“Bagaimana dengan…”
“Puisinya aku juga sudah baca, dan akan kusimpan sebagai harta karunku.”
“Kau menyukainya?” mata lelaki itu berbinar.
“Lebih dari sekadar menyukai.” Tegas Loya.
“Artinya….”
“Artinya aku bodoh sekali jika aku tidak...”
Lelaki itu langsung paham maksud Loya. Ia meloncat kegirangan sebelum
merangkul Loya dan menciumnya penuh hasrat. Loya tak bisa berkata-kata.
Sudah lama ia tergila-gila pada lelaki itu. Hanya saja, ia seorang
perempuan, perempuan yang hanya bisa menunggu. Dan perasaanya selama ini
memang tidak salah. Lelaki itu juga menyimpan perasaan padanya. Itulah
yang disebut sebagai: pucuk dicinta ulam tiba.
Setiap malam, sebelum memejamkan mata. Loya selalu membuka kembali puisi
itu. Membacanya sambil tersenyum. Kemudian melipatnya kembali dan
menyimpanya di bawah bantal, hingga senyum manis lelaki itu terbawa
sampai tidurnya.
Sebatang Lipstick Ungu
Seusai nonton bioskop, lelaki itu mengajak Loya ke toko kosmetik.
“Aku ingin kau terlihat cantik, meski kau memang sudah cantik,” kata lelaki itu.
Lelaki itu meminta Loya untuk memilih sendiri merek bedak dan perawatan
wajah yang ia kehendaki. Tapi, dalam hal lipstick, lelaki itu sendiri
yang memilihkannya.
“Ah, kau ini. Menikah pun belum, sudah kau pilihkan aku warna janda,” kata Loya, tak terima.
“Memangnya ungu itu warna janda?”
“Ha? Bahkan kau tak tahu itu?”
“Aku baru tahu kalau ungu itu warna janda.”
“Tak mau, ah! Mendingan yang pink.”
“Yang ini bagus. Cocok dengan warna bibirmu.”
“Yang pink aja.”
“Pink itu sudah terlalu biasa. Aku mau kau tampil beda. Percaya padaku. Ungu akan membuatmu semakin cantik.”
“Gombaaal!”
“Sudahlah. Ini cocok dengan warna bibirmu,” ulang lelaki itu.
“Aduuuh… kok ungu sih?”
“Ungu bagus. Aku suka sekali warna ungu. Tak bisa kubayangkan jika itu bibirmu.” Lelaki itu mengeluarkan rayuanya.
Loya mulai goyah, “Coba sini lihat!” Loya memperhatikan sebatang lipstick yang dari tadi diacung-acungkan oleh kekasihnya.
“Ini tak seburuk yang kukira. Ini lembut sekali. Boleh juga,” kata loya kemudian.
“Makanya…” Lelaki itu melenggangkan senyum kemenangan.
Sampai di rumah kost. Lelaki itu sendiri yang mengoleskan lipstick ungu
itu ke bibir Loya. Loya tersipu-sipu. Hingga lelaki itu membasahi
bibirnya dengan warna ungu yang tersaput di bibir Loya. Mereka tenggelam
dalam warna ungu yang menggetarkan. Warna ungu yang penuh muslihat.
Seutas Syal Panjang Berwarna Hijau Muda Bergambar Bintang
Malam melarut dalam dingin. Loya membenamkan kepalanya ke pundak lelaki
itu. Mereka duduk di sebuah bangku panjang di tengah taman kota.
Menunggu pergantian tahun. Segepok kembang api sudah dalam genggaman
Loya. Nanti, tepat pukul 00.00 mereka akan menyalakannya bersama-sama.
“Lihat bintang-bintang itu!” tatapan Loya terlempar ke langit lepas.
“Kenapa?”
“Indah sekali. Aku ingin menjadi bintang,” ungkap loya seperti orang yang tengah melamun.
“Jangan!!” sontak lelaki itu.
“Kenapa?”
“Bintang itu selalu sendiri. Kedinginan. Kesepian. Aku tak mau kau begitu…”
Loya mengalihkan paku pandangnya. Ia menatap mata jernih lelaki itu dan
tersenyum. Lelaki itu balas menatapnya. Tulus. Loya semakin merapatkan
kepalanya. Ia bisa mencium parfum yang dipakai di leher kekasihnya.
“Kau kedinginan. Sebentar. Tunggu di sini, ya!” Lelaki itu beranjak meninggalkan Loya.
Beberapa menit kemudian, lelaki itu datang dengan sebuah syal panjang
berwarna hijau muda bergambar bintang. Lelaki itu memakaikan syal itu di
leher Loya.
“Yang warna ungu habis. Jadi kupilihkan yang hijau muda saja,” tukas lelaki itu.
“Kau beli di mana?” tanya Loya, sambil merapikan syal di lehernya.
“Ada deh!”
“Kau tidak suka bintang. Tapi kenapa kau belikan aku syal bergambar bintang?”
“Aku tak bilang aku tak suka bintang. Aku hanya tak mau kau menjadi
bintang. Karena, kalau kau menjadi bintang. Kau akan pergi
meninggalkanku, ya, kan?”
“Kalau begitu aku jadi rembulan saja. Dan kau bisa jadi matahari.”
“Jangan! Nanti kita takkan pernah bertemu.”
“Kalau begitu… aku jadi apa?”
“Kau jadi Loya saja. Itu lebih dari cukup.”
“Hei, sebentar lagi pukul 00.00. Ayo kita siapakan kembang apinya.”
Lelaki itu terus mengawasi Loya yang sibuk dengan kembang api di tangannya.
“Aku takut kehilanganmu!” tiba-tiba lelaki itu mendekap tubuh Loya.
Sebuah Rumah Kecil dengan Dua Kamar
“Kita belum menikah. Jadi mana bisa kita tinggal bersama.”
“Ini kota besar, Loy. Siapa yang peduli kita sudah menikah atau belum.”
“Tapi…”
“Aku sengaja membeli rumah ini, supaya kita bisa tinggal bersama, Loy.
Selepas ini kita menikah dan rumah inilah yang akan menjadi surga kita.”
“Iya. Tapi…”
“Sudah. Sekarang saatnya memindahkan barang-barangmu ke rumah ini. Rumah
kostmu itu terlalu sempit dan butut. Aku tak mau kau tinggal di sana
lagi.”
Faktanya, kekasih Loya adalah putra seorang pejabat. Uang tak pernah
jadi masalah. Kalau mau, sebenarnya Loya bisa meminta apa saja. Tapi
Loya hanya membutuhkan cinta, dan ia sudah mendapatkannya dengan
sempurna. Sebenarnya ia senang sekali. Tinggal di rumah baru, berdua
dengan lelaki yang sangat ia cintai. Tapi tetap saja, ada yang
mengganjal di dadanya. Sampai detik itu orang tua lelaki itu, pun orang
tua Loya di kampung, masih belum tahu hubungan mereka. Entah atas dasar
apa, mereka seperti telah sepakat dengan dunianya tanpa khawatir oleh
biba-bibu orang tua mereka.
Rumah itu kecil namun sangat elegan. Dengan dua kamar ukuran 4x5, dengan
dua taman kecil di depan dan belakang. Dengan satu dapur dan kamar
mandi. Pertama menempati rumah itu, Loya tak bisa berhenti tersenyum. Ia
membayangkan, setiap pagi ia akan membangunkan kekasihnya dengan
secangkir kopi yang masih mengepul. Ia juga akan memasakkan masakan apa
saja yang diinginkan kekasihnya.
Malam pertama menempati rumah itu, Loya dan lelaki itu tak dapat menahan
dirinya. Dalam sebuah kamar yang lampunya dimatikan. Lelaki itu
merengkuh tubuh Loya seolah tak mau kehilangan. Loya pun menyambutnya.
Mereka melebur menjadi satu. Mereka larut dan saling memagut. Malam itu,
dunia adalah milik mereka.
Sepasang Gaun Pengantin
Lelaki itu mengajak Loya ke butik. Di sana, lelaki itu memesan
sepasang gaun pengantin. Untuknya dan Loya. Loya tak begitu pandai
memilih kain dan motiv-motivnya. Maka, Loya memutuskan untuk menyerahkan
semua pada kekasihnya. Beberapa minggu kemudian, gaun itu telah di
antar ke rumah mereka. Mereka sempat foto-foto berdua mengenakan gaun
itu.
“Sebentar lagi kita akan menikah,” ungkap lelaki itu.
“Dan kita akan merawat anak kita bersama-sama,” balas Loya sambil mengelus perutnya.
“Tiga bulan, ya?”
Lelaki itu mengecup perut Loya yang mulai membuncit.
“Bagaimana orang tuamu?” tanya Loya kemudian.
Lelaki itu diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Mereka akan merestui pernikahan kita. Bagaimana orang tuamu?”
“Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini pada mereka,” Loya mulai menangis.
Lelaki itu menenangkan Loya dalam pelukannya.
Selembar Foto Ukuran 10R
Foto itu di pajang di dalam kamar. Mereka berdua duduk di atas ranjang sambil memandangi foto itu.
“Kita memang serasi,” ucap lelaki itu. Loya hanya tersenyum.
“Bulan depan. Di sebelahnya akan ada dua foto lagi.”
“Foto apa?”
“Foto kita wisuda. Kau di sebelah kiri dan aku di sebelah kanan.”
Loya hanya mengangguk. Mendengar kata wisuda, tiba-tiba hatinya jadi
tidak enak. Entah sebab apa. Loya sangat khawatir. Dan kekhawatiran
seorang wanita tak pernah salah. Episode tawa akan lewat, saatnya
episode air mata…
Menjelang wisuda, lelaki itu pamit kepada Loya untuk pulang ke kotanya
dan berkabar perihal mereka ke orang tuanya. Begitu pun Loya. Dengan
gemetar ia menceritakan semua pada orang tuanya. Ia meminta restu kedua
orang tuanya untuk menikah. Di sini Loya tidak menjelaskan kalau ia
tengah hamil. Tapi siapa yang bisa menyembunyikan bangkai. Kedua orang
tua Loya terlalu pandai untuk dikelabuhi. Mereka mencium permohonan loya
yang tiba-tiba, tubuh loya yang semakin mekar, juga gelagat loya yang
tak bisa menyimpan kebohongan. Maka detik itu pula, orang tua Loya
mengusir Loya halus-halus.
“Kau ikut calon suamimu saja. Bapak tak akan menggelar pesta pernikahan
kecuali pesta pernikahan yang baik-baik saja.” kata bapak Loya dingin.
Sementara ibunya, kembali opname setelah mendengar kebenaran kabar anaknya.
Maka, Loya kembali ke rumah kecil itu dengan perasaan hancur. Harapannya
hanya satu: lelaki itu datang dengan kabar gembira. Namun selang
beberapa minggu, bulan, lelaki itu tidak juga kembali. Sebentar lagi
wisuda kelulusan akan digelar. Dan lelaki itu tak ada kabar. Perut Loya
semakin membuncit. Ia tak mungkin mengikuti pesta pengukuhan gelar itu
dalam keadaan demikian. Namun, di pesta wisuda kelulusan itu, Loya
melihat lelaki itu bersama keluarganya di sebuah sedan mengkilap. Lelaki
itu seperti tak mengenal Loya. Di sini, Loya mengindahkan prasangkanya.
Barangkali orang tua lelaki itu tak mersetui hubungan anaknya. Tapi
Loya sangat yakin, kalau lelaki yang ia cintai itu juga sangat
mencintainya, jadi tak mungkin ia meinggalkannya begitu saja.
Benar bukan? Sinar mata Loya kembali berbinar ketika seorang teman
mengantarkan sebuah surat yang ditipkan lelaki itu untuknya. Dalam
bayangan Loya, lelaki itu akan datang dan meminta maaf, setelah itu
membawanya lari ke tempat yang jauh. Jauh dari jangkauan orang-orang tua
yang sulit untuk dimintai pengertian. Dalam hal minta maaf, Loya tidak
salah. Dalam suratnya, lelaki itu mengucapkan maaf beberapa kali. Dalam
hal pergi jauh, Loya juga tidak salah, yang salah hanya… lelaki itu
hanya pergi seorang diri, tanpa mengajak Loya.
Lelaki itu mengaku, setelah menjelaskan semua pada orang tuanya, orang
tua lelaki itu mengirim lelaki itu ke Australia. Dengan begitu, ia bisa
meredamkan rasa malu, katanya. Lelaki itu, mengakhiri suratnya tanpa
sesuatu yang bisa diharapkan Loya, kecuali sebuah rumah yang telah
dipasrahkan untuknya. Maka, sampai di situ, Loya sudah tahu bagaimana
cerita cintanya akan berakhir.
Seorang Bayi
Loya merasa bersyukur. Lelaki itu masih meninggalkan sebuah rumah
untuknya tinggal. Loya tidak membenci lelaki itu atas apa yang ia
lakukan. Karena di suratnya yang terakhir, lelaki itu masih mengatakan,
bahwa ia masih sangat mencintai Loya. Beberapa bulan kemudian, bayi yang
dikandung Loya lahir. Tanpa ayah. Loya membesarkan bayinya seorang
diri. Ia juga mulai mencari kerja kesana-kemari untuk menghidupi dirinya
dan bayinya, hingga ia diterima bekerja di sebuah pabrik garment, yang
tak jauh dari tempat tinggalnya. Ia menyewa seorang gadis belia untuk
merawat bayinya sementara ia bekerja.
Selembar Undangan
Ketika bayinya menginjak usia ketiga. Katastrofa kembali menderanya.
Seorang teman lama tiba-tiba datang dengan kabar buruk. Ia datang
dengan selembar undangan. Undangan itu memang bukan untuk Loya. Teman
lama itu datang untuk sekedar berkabar. Dalam undangan itu, Loya
jelas-jelas membaca nama lelaki itu. Lelaki yang banyak menitipkan
kenangan untuknya, termasuk seorang bayi. Foto lelaki itu juga terpajang
di sana, tengah memeluk seorang gadis—mempelai putri. Loya tak bisa
bernapas.
Saat teman lamanya itu memohon diri. Loya masih tercengang dengan tangis
tanpa suara. Sesekali ia melirik balitanya yang tengah asyik bermain.
Loya tak bisa mengungkapkan perasaanya. Tangisan pun rasanya tak pernah
cukup.
Seutas Kenangan yang Melilit Leher Loya
Malam itu Loya gelisah. Di ruang tengah, ia mengumpulkan satu demi
satu kenangan yang telah ditinggalkan lelaki itu untuknya. Sebuah novel
dan lipstick berwarna unggu ia geletakkan di atas meja. Secarik puisi
dan selembar foto ukuran 10 R ia tempelkan di dinding ruang tengah,
dengan perekat plastik. Sepasang gaun pengantin ia jabar di atas sofa.
Bayinya ia dudukkan di sofa yang lain. Selembar undangan berwarna ungu
masih ia genggam erat-erat di tanganya. Seperti menggenggam dendam.
Lantas Loya mulai mengenakan syal panjang berwarna hijau muda bergambar
bintang di lehernya. Dengan syal itu ia membentuk tali laso di lehernya.
Kemudian dengan menaiki kursi, ia mengaitkan ujung lain syal itu pada
tangkai kipas angin, kuat-kuat. Setelah yakin, Loya pun menendang kursi
itu. Selembar undangan berwarna ungu terlepas dari genggamannya dan
jatuh ke lantai. Loya meronta, matanya mendelik dan berair, lidahnya
menjulur. Balitanya yang duduk di sofa hanya tertawa-tawa. Ia mengira,
ibunya tengah mengajaknya bermain. n
Malang, Desember 2010
– PEMENTASAN “TANGIS” TEATER GANDRIK
9 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar