POHON RIWAYAT (Kedaulatan Rakyat, Minggu 17 Maret 2013)



Belantara itu termazkur belantara kehidupan. Banyak pepohonan bercokol, tumbuh dan hidup di dalamnya. Mulai dari pohon yang hidup dalam hitungan hari sampai pohon yang umurnya ratusan tahun. Mulai dari pohon yang ukurannya kecil sampai pohon yang menjulang hendak menerobos langit. Mulai dari pohon yang berbau bangkai sampai pohon yang aromanya membuai. Mulai dari pohon yang buruk bentuknya sampai pohon yang elok rupanya. Mulai dari pohon yang berkhasiat sampai pohon yang menetaskan bisa. Semua pohon tumbuh dan hidup di sana. Di belantara kehidupan.
Mula-mula, Sang Hayat menumbuhkan sebuah pohon dengan kehendaknya. Pohon yang tak bisa berbuah. Pohon yang sendiri diliputi sepi. Pohon lelaki. Lantas pohon itu merajuk. Ia meminta kepada Sang Hayat supaya menumbuhkan satu pohon lagi. Supaya ada pohon lain yang bisa mendengar kemeisik daunnya. Supaya ada pohon lain yang bisa ia ajak berbagi udara. Lantas, Sang Hayat mengabulkan permohonan itu. Sang Hayat mematahkan sebuah ranting dari pohon lelaki itu lantas menumbuhkannya di tanah yang sama. Ranting kecil itu tumbuh atas iradah Sang Hayat, hingga menjulang menunaskan daun yang anggun dan menguncupkan bungga pertama yang amat jelita.
Termazkurlah pohon perempuan di belantara kehidupan untuk pertama kalinya. Pohon yang sanggup menetaskan buah. Pohon yang cintanya melimpah ruah.
Dua pohon itu terus bertumbuh. Dengan kasih cahaya yang paripurna. Dengan kasih tanah yang melimpah. Dengan kasih air yang berbulir-bulir. Dengan kasih udara yang tak terhisab jumlahnya.
Kepada cahaya, dua pohon itu berutara, “Terima kasih cahaya, kepadamulah tunas-tunas kami menari mencondongkan diri.”
Kepada tanah, dua pohon itu mendesah, “Terima kasih tanah, dari sari-patimulah kami bermula, hingga kini, kami dapat hidup dengan sempurna.”
Kepada air, dua pohon itu mendesir, “Terima kasih, air, tanpamu hidup kami akan kerontang dan dahaga dan tak berarti dan merana dan mati.”
Kepada udara, dua pohon itu berkata, “Terima kasih, udara, kami hidup dalam semesta, kami berbisik dalam semesta, dan desaumu adalah kehidupan semesta.”
Dua pohon itu terus tumbuh. Pohon perempuan terus menyerap sari pati tanah, terus menghisap air-air tanah, hingga dedaunnya kian subur menghijau, hingga bunga-bunganya mekar berseri. Dari bunga-bunga itulah menggumpal janin putik. Janin yang lambat laun membesar dan menjadi buah. Buah yang kadangkala manis rasanya. Buah yang kadangkala tak bisa matang. Buah yang kadangkala terserang hama dan membusuk.
Namun seperti apapun buah dari pohon itu, ia tetaplah buah yang memiliki biji. Biji yang mungkin akan menumbuhkan pohon-pohon baru. Dalam garis waktu, Sang Hayat telah menerakan bahwa pohon ayah dan pohon ibu tetaplah makhluk biasa yang jauh dari sempurna. Makhluk biasa yang tak akan pernah mampu melawan garis waktu. Makhluk biasa yang akan tua, mengering, dan kemudian mati dengan sendirinya. Itulah mengapa Sang Hayat menitipkan benih-benih pada pohon ibu. Benih-benih yang akan meneruskan cerita para pohon di masa mendatang.
Garis waktu telah dimulai dari titik pertama, dan akan terus berjalan, lurus menuju titik henti yang penuh teka-teki. Semenjak pohon ibu berbuah untuk pertama kalinya, kehidupan telah menjadi lebar. Dari satu benih yang terlempar ke tanah, kemudian dirawat oleh tanah hingga tumbuh menjadi kecambah, membesar, menjadi pohon dewasa, berbunga dan kemudian berbuah. Dari satu benih menjadi satu pohon. Dari satu pohon menjadi beberapa buah yang mengandung beberapa benih. Dari beberapa benih menjadi ratusan benih. Dari ratusan benih, menjadi ribuan benih. Dari ribuan benih, menjadi jutaan benih. Demikianlah riwayat pohon-pohon terus berkembang dan hidup di belantara kehidupan.
Taman kehidupan menawarkan banyak kisah dari tiap petak tanah yang berbeda. Mungkin, suatu ketika, dalam sepetak tanah yang jauh, akan kau temui pohon lelaki yang sendiri. Ia tak bisa berbunga dan tak bisa berbuah. Ia menyerap sari pati tanah seorang diri, meminum air tanah seorang diri, ia ditampar musim yang berganti-ganti, dan ia tetap hidup. Hingga garis waktu memenggal usinya, ia akan mengering, daun-daunnya berguguran, lantas ia mati. Tilas kayunya menjadi jasad yang aus dimakan rayap, atau kalau tidak ia akan ditebang dan menjadi tiang penyangga rumah, atau kalau tidak lagi, mungkin beberapa petani akan mengapaknya untuk dijadikan kayu bakar. Semerana apa pun, jika ia tahu, sebenarnya hidup pohon itu tak pernah sia-sia.
Di sebuah tempat yang lain, mungkin akan kau temukan sebuah pohon yang selalu berbunga namun tak pernah melahirkan buah. Pohon itu telah menerima apa-apa yang digariskan untuknya. Ia rela hidupnya menjadi riasan alam. Menjadi lepau, tempat persinggahan kumbang-kumbang. Mungkin sepanjang hidupnya, ia selalu menghitung musim yang berganti. Pun jika ia boleh berharap, ia akan berharap bahwa sepanjang musim menjadi musim semi. Supaya ia tetap cantik, supaya ia tak menjadi botak, supaya ia tak kesepian. Namun begitulah, alam telah menitahkan dengan sempurna, bahwa hidup memang harus ada ceritanya.
Di belantara kehidupan yang lain, mungkin akan kau temui juga sebuah pohon yang tumbuh menjulang, barangkali juga indah, namun ia tidak berbunga atau pun berbuah, ia juga bukan pohon laki-laki. Dan ia adalah pohon yang bersedih sepanjang hidupnya. Ia bersedih seperti bersedihnya seorang ibu yang tak mampu melahirkan anak-anak dari rahimnya. Maka sudi tak sudi hidupnya akan berakhir seperti pohon lelaki. Dan setelah hidupnya tumbang itulah, mungkin ia baru menyadari bahwa hidupnya tak semenyedihkan itu.
 Jauh di daratan yang lain, di atas sepetak tanah yang subur, mungkin akan temukan juga kisah sebatang pohon yang menjulang dengan buahnya yang lebat selebat-lebatnya. Ialah pohon paling ibu. Ia merawat dirinya sedemikian rupa. Ia mengatur saripati tanah yang ia makan, ia mengadar jumlah air yang ia serap. Ia bahagia sepanjang musim. Ia bahagia menunggu ribuan bunga yang menyembul dari tubuhnya. Ia menghalau setiap hama yang memasadkan. Ia mempersilakan datang setiap kumbang yang pamit mereguk madunya. Hingga ketika tiba masanya, semua bunga-bunga itu menggeliat perlahan-lahan, menjadi buah yang ranum, yang bergelantungan di setiap tangkai. Seperti ratusan bocah yang menggelendot di tangan ibunya.
“Sudah kukatkan, sedari kalian menjadi bunga. Terkadang, angin suka mempermainkan kita, erat-eratlah kalian berpegang pada tangkai ibu, agar kalian tak terlempar ke tanah sebelum masanya,” bisik pohon ibu.
Namun buah tetaplah buah seperti bocah-bocah yang telinganya berlubang di kiri-kanan. Siapa pula yang mampu menghalau angin. Jika bunga waktunya gugur, ia akan gugur. Jika buah waktunya rontok, ia akan rontok. Seperti juga dedaunan. Pun jika tiba masa panen, buah-buah itu akan di unduh oleh pemiliknya. Itulah yang kemudian disebut sebagai: merantau. Setelah matang, setiap buah akan berpisah dari pohon ibunya, dari saudara-saudaranya, dari tanah asalnya. Dan perpisahan itu adalah sebuah garis batas, bahwa cerita baru akan dimulai. Cerita yang sendiri-sendiri.
Sebiji buah akan terbawa oleh tangan atau paruh burung ke daratan jauh. Lantas ia terlempar ke tanah yang baru. Ia akan tumbuh di situ, hidup di situ, dan mungkin, berakhir di situ. Ia telah melintasi garis waktu, dan selama perjalanan ia telah belajar banyak tentang arti rindu, tentang cara mengenang, dan tentang bagaimana menghadapi kesendirian.
Bukankah setiap cerita memang akan berakhir pada kesendirian? ***
Malang, 2013

0 komentar: