Kampung Masa Lalu (Sinar Harapan, 16 Februari 2013)





Ketika kau bersorak sorai memestakan pergantian tahun, mungkin aku masih berdiri di ambang pintu, di anatara rinai gerimis awal tahun yang tak seperti tak ada redanya. Di luar sana, mungkin kau tengah meniup terompet dan menyalakan kembang api, sedangkan aku hanya tercenung memerhatikan bagimana tahun demi tahun itu berlalu, angka demi angka berganti hingga membentuk digit yang baru. Bertahun-tahun kau pergi merantau dan tak pernah tahu apa saja yang sudah terjadi di tanah lahir kita dari tahun ke tahun.
Mungkin aku adalah satu-satunya bocah yang masih tersisa di kampung ini—yang tidak percaya pada janji-janji tanah rantau, dan mungkin kau akan menganggapku sebagai bocah kolot yang tak pernah beranjak dari ambang pintu, namun, aku tidaklah sekolot itu. Aku merekam semuanya. Setiap kejadian yang kulihat. Setiap suara yang kudengar. Dan setiap apa yang mungkin menyelinap diam-diam ke dalam kepalaku. Dan aku adalah bocah—satu-satunya bocah, dari masa silam yang masih peduli pada apa-apa yang seharusnya diingat namun telah dilupakan, yakni masa silam itu sendiri, kenangan itu sendiri. Mungkin kau akan terus berlalu melampauiku, hingga kau menyadari sesuatu, bahwa kenangan adalah satu-satunya hal yang paling berharga dari batok kepalamu.
Suatu ketika, mungkin, ketika kau mudik atau menjenguk kampung masa lalumu, kau akan kaget dan bertanya-tanya, “Ada apa dengan kampung kita? Mengapa semuanya berubah? Apa yang terjadi dengan kampung kita?” Dan  aku pun akan mulai menjabarkan setiap apa yang kau tanyakan dari masa silam, dari kenangan.
***
“Sekarang ceritakan padaku, bagaimana kini keadaan masjid tempat kita dulu mengaji saban bakda magrib?”
Masjid itu, masjid itu kini telah jauh berubah, oh mungkin bukan masjidnya yang berubah tapi orang-orang yang ada di kampung kita. Dulu, saat tiba waktu shalat, jama’ah selalu penuh. Kini, kini akan kujelentrehkan, bahwa di kampung kita mungkin sudah tak ada anak-anak ataupun orang-orang dewasa yang hapal dengan kalimah adzan. Setiap kali tiba waktu shalat, yang mengumandangkan adzan hanya seorang saja, seorang yang sama, seorang kakek-kakek yang suaranya serak dan terputus-putus. Shalat shubuh jama’ahnya hanya lima orang, Pak Kyai dan putranya, sang muadzin ditambah dua orang, Ni Salamah dan Ni Milah.  Shalat dhuhur dan ashar hanya dua orang, muadzin dan imam. Shalat magrib cukup banyak, terkadang sampai dua shaf, namun ketika isya’ keadaan akan kembali seperti subuh, hanya lima orang.
Adapun pengajian turutan juz 30, sehabis maghrib, kini sudah tidak ada lagi. Semenjak ada tivi, anak-anak kecil lebih suka nonton spongebob, para remaja dan orang tua lebih suka memelototi sinetron yang ceritanya selalu sama, tidak keruan.  Atau kalau tidak, anak-anak lebih suka nongkrong di rental PS atau warnet sampai pukul sembilan malam.
Albarzanji? Maulid diba’? Anak sekarang sudah tidak tahu apa itu albarzanji, maulid diba’. Hikayat tentang Kanjeng Nabi bukanlah sesuatu yang penting untuk mereka pelajari, tapi anehnya, mereka hapal semua lagu-lagu band sampai gaya rambut dan cara berpakaian. Tidak aneh, setiap hari mereka memang memelototi layar tivi yang segala apa ada di dalamnya.
Jadi? Ya, begitulah. Masjid kita sekarang sudah benar-benar sepi. Benar-benar ditinggal pergi. Sepi. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.
***
“Sekarang ceritakan padaku, apa kabarnya sungai jernih di sisi kampung, yang dulu kita kerap mandi dan bermain di sana?”
Sungai itu. Lupakan sungai itu. Sungai itu kini sudah tak terjamah tangan manusia lagi. Sungai itu kini telah berubah fungsi menjadi tempat sampah. Dulu kau ingat, kita kerap memancing dan menjaring ikan di tiap lubuk yang berkedung di sungai itu. Kini, kini di sungai itu sudah tidak ada ikan lagi. Sama sekali. Ikan-ikan telah mati secara perlahan, diracun, disetrum, dicemari limbah… Sungai itu kini airnya berwarna cokelat muda, seperti susu cokelat encer, baunya busuk dan menyengat. Sampah-sampah plastik dan pempres bekas mengambang di mana-mana. Menyedihkan. 
Semenjak gadis-gadis di kampung kita berangkat kerja ke luar negeri, rumah-rumah semakin menjulang, diubin, dikeramik, diporselen, ditingkat… Sekarang takkan lagi kau temui rumah berlantai tanah seperti rumah kita dulu. Kini, setiap rumah sudah menjadi cling. Setiap rumah sudah punya sumur sendiri-sendiri, sudah punya kamar mandi sendiri-sendiri, sudah punya toilet sendiri-sendiri, sehingga mereka tak perlu bersusah payah menuruni jalan berbatu untuk sampai ke sungai. Sungai itu kini tak berguna apa-apa lagi kecuali sebagai tempat untuk melempar sampah dan pempres bekas.
Begitulah kenyataanya. Itulah sungai kita dulu, sungai tempat kita berkecipak dan bermain sepanjang hari. Kini sungai jernih itu telah mati. Telah berubah menyedihkan. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.
***
“Sekarang ceritakan padaku, mengenai pasar yang dulu kita sering beli dawat di sana, apakah masih sama?”
Oh, pasar itu. Pasar satu-satunya yang ada di kampung kita. Sampai kini, pasar itu masih berdiri, tapi yang berjualan di sana bisa dihitung jari. Mak Yam masih berjualan di sana, dan sampai sekarang Mak Yam masih saja menjual dawat lezatnya itu dengan harga murah. Dulu, zaman kita semangkuk hanya seratus perak. Kini, sudah lima ratus perak, naik empat ratus perak. Dawatnya masih sama lezat seperti dulu, hanya saja, warung dawatnya sudah tidak terlalu laku. Dan Mak Yam, sekarang jalannya sudah tidak tegap lagi, ia terkena stroke.
Selain Mak Yam, masih ada juga Pak Arun, barang-barang yang ia jual juga masih sama: sabit, pisau, pengasah pisau, ani-ani, cangkul, terompah, sandal karet, tambang, rokok kelobot, tembakau, dan sekarang Pak Arun sudah sangat tua. Ia kerap ditemani cucunya saat berjualan. Selain Mak Yam dan Pak Arun, masih ada juga Warung Sate Pak Mul yang sekarang sudah diwariskan ke anak cucunya. Selain mereka, masih ada juga Mbak Tin, Bulik Kom, dan Mas Suhar.
Semenjak bermunculan supermarket dan minimarket, pasar-pasar menjadi semakin sepi. Para pedagang kecil banyak yang mengeluh dan akhirnya memilih untuk menyerah. Di belakang masjid sekarang sudah ada minimarket, juga di dekat lapangan bola di samping puskesmas. Di jalan besar menuju kantor kecamatan, sekarang malah sudah ditanami ruko berderet. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah. Jauh berubah.
***
“Sekarang ceritakan padaku, tentang pohon jamblang besar yang menjulang di tengah persawahan warga, yang dulu kerap kita panjat dan kita petiki buah-buahnya, apakah masih ada?”
Pohon Jamblang di tengah sawah? Ya Tuhan, pohon itu sudah lama sekali ditumbangkan, sangking lamanya bahkan aku tak ingat kapan pohon itu mulai tiada. Sawah-sawah tempat kita bermain layang-layang dan mencari belalang dulu, kini sudah diratakan dan dibangun perumahan. Pohon-pohon asam yang berderet sepanjang jalan di tepi kanal juga sudah ditumbangkan. Sekarang tempat itu menjadi sangat panas dan berdebu di musim kemarau. Semua jalan telah diaspal. Truk dan mobil-mobil mewah sekarang sudah biasa keluar masuk kampung kita.
Dan di jalanan tempat kita dulu berlarian di pagi hari, atau bermain bola di musim hujan, tak ada lagi anak-anak berani bermain di sana. Kini, di sepanjang jalan itu kerap terjadi kecelakan, tabrakan. Truk menbrak mobil. Mobil menabrak motor. Motor menabrak orang jalan. Itu semua biasa. Bahkan, pohon, pagar, dan tiang listrik pun juga ikut ditabrak. 
Jadi, kesimpulannya, pohon jamblang besar di tengah sawah itu, kini telah tamat riwayatnya beserta sawah-sawahnya. Yang ada hanya perumahan. Perumahan yang sepi dan sendiri-sendiri. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.
***
Menjelang pergantian tahun, setiap orang akan bersorak sorai. Setiap orang akan menggelar pesta terompet dan kembang api. Setiap orang bergembira. Mereka tak sadar bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga seiring tutupnya tahun demi tahun. Ya, sekarang semuanya memang sudah berubah.***
Malang,  akhir 2012

0 komentar: