Rumah kami adalah rumah yang terhimpit
jalan raya, selokan kecil, dan rel kereta api. Tidak lebar. Tidak bertingkat.
Dan tidak bersertifikat. Dindingnya adalah potongan-potongan papan, seng,
kardus, dan plafon rusak yang ditempel sembarangan. Terikat kawat di sana-sini.
Tiangnya bambu gelondongan yang sudah totol-totol dimakan kutu. Lantainya masih
tanah—yang akan berdebu di musim kemarau dan akan becek di musim hujan. Atapnya,
masih sejenis dengan dinding, potongan-potongan seng dan plafon rusak yang
disampirkan sekenanya.
Rumah
kami adalah rumah yang berdesak-desak. Bersebelahan dengan tempat sampah. Tak
ada sofa. Tak ada meja. Tapi ada lemari alakadarnya. Tak ada kipas. Tak ada
kulkas. Tapi ada tivi yang tombolnya sudah mengelupas. Tak ada taman. Tak ada kamar.
Tapi ada kakus yang harumnya na’udzubillah.
Tempat duduknya adalah lincak, bekas papan yang dipaku sana-sini dan diberi
empat kaki. Ranjangnya ranjang soak, gratisan dari pasar loak. Tapi kasurnya
beli, meski sekarang sudah menggumpal dan harus dijemur seminggu sekali.
Itulah
rumah kami. Rumah yang menyempal-nyempal macam rumah rayap. Rumah yang
berselengkatan macam kapal pecah. Tak elok dipandang mata. Tak sedap diraba
rasa. Tapi, meski bagaimanapun, rumah itu adalah rumah kami. Rumah yang layak
kami cintai. Rumah yang layak kami pertahankan, dari apa saja dan siapa saja
yang hendak merobohkannya, termasuk dari serbuan binatang kecil bernama rayap.
***
Mengingat rumah kami
bersebelahan dengan tempat sampah dan masih beralas tanah, sasejujurnya, rumah
kami memang tak cukup aman dari aneka macam binatang, khususnya rayap tanah. Kupikir
hanya satpol PP saja yang berminat meruntuhkan rumah kami. Tapi tidak. Rumah
kami yang sudah reot itu rupanya diminati juga oleh rayap tanah. Dan rayap-rayap
tanah itu benar-benar keras kepala. Menyerbu tak pandang musim. Musim kemarau
beranak pinak. Musim hujan kian merebak.
Rayap-rayap itu
menyembul dari lubang-lubang tanah yang tak penah kami perhatikan keberadaanya.
Berbondong-bondong. Rayap-rayap itu membangun rumah di mana-mana, di kaki
ranjang, di kosen pintu, di punggung lemari, di papan dinding, di balik
tumpukan kardus, bahkan di atap rumah.
Kami sudah bosan
mengusir rayap-rayap itu. Kami pernah membakarnya dengan oncor. Tapi ia tetap
saja kembali dan membuat rumah yang baru. Kami juga pernah meracuninya dengan
minyak tanah yang sekarang sudah langka itu. Tapi tetap saja, tak mempan. Kapur
semut, kapur barus, semprotan anti serangga, daun pandan, semua sudah kami
coba, tapi rayap-rayap itu selalu muncul lagi dan lagi.
Lambat laun, rayap-rayap
itu sudah seperti serdadu yang menyeramkan. Setiap hari tinggal dan tidur satu atap
dengan kami. Menggerogoti tiang, kaki ranjang, lincak, kardus, bahkan koran-koran
bekas yang susah payah kami kumpulkan dari jalan ke jalan dan hendak kami jual
kembali.
Rayap-rayap
itu benar-benar keterlaluan. Tapi, sebagai pemilik rumah, sebagai tuan, kami
akan selalu menang melawan rayap. Meski pada akhirnya, semua akan berlakon
seperti komidi putar. Di mana pun rayap-rayap itu membangun rumah, kami tak mau
kalah. Kami akan terus menggempurnya. Menghancurkannya. Mereka membangun lagi.
Kami menggempurnya lagi. Mereka membangun lagi. Kami menggempur lagi.
Begitulah. Berputar-putar. Seperti komidi putar.
Kami tak tahu apakah
rayap punya jiwa pantang menyerah, yang jelas kami dibuatnya terengah-engah.
Kian kami basmi, rayap-rayap itu kian merajalela. Bahkan secara terang-terangan,
mereka berani membangun rumah di atas tanah, di depan mata kepala kami, di tempat
kami berwira-wiri. Serbuk tanah itu dibuatnya menggumpal, berdiri condong
kesana-kemari, bercabang-cabang seperti ornamen ranting pohon. Tak bosan-bosan
kami menendangnya. Membuatnya remuk. Membuatnya hancur. Tapi, malam hari,
ketika kami tinggal tidur, paginya, rumah rayap itu kembali bermunculan,
seperti kecambah di musim hujan.
Pada akhirnya, sadar
atau tidak sadar, kami telah menyerah. Mungkin ada sesuatu yang harus kami tiru
dari tabiat rayap: pantang menyerah.
Dan selanjutnya, yang
terjadi, rumah-rumah rayap itu akan terus menyempal di rumah kami. Di atas
tanah yang kami huni. Tapi, kami tak sudi lagi merusak rumah-rumah mungil itu, kami
sudah lelah, kecuali, jika rayap-rayap itu sudah benar-benar mengancam
keberadaan rumah kami.
***
Cerita yang sejujurnya
adalah, rayap-rayap raksasa itulah yang lebih kami cemaskan keberadaannya. Rumah
ini pernah rebah tujuh kali oleh penggusuran. Katanya, untuk pelebaran jalan
raya, demi kenyamanan pengguna jalan. Katanya juga, kami—para penduduk yang
menghuni tanah sempit selama puluhan tahun ini, tak memiliki sertifikat yang
sah. Jadi, tanah yang mungkin sudah dibabat dan dirawat nenek moyang kami ini
adalah tanah milik pemerintah. Entahlah. Kami memang tak pernah makan bangku
sekolah. Dan orang yang tak pernah makan bangku sekolah memang berpotensi untuk
dijajah.
Sudah
puluhan kali kami berdemo, membawa spanduk dengan kata-kata yang kami sendiri
terkadang tak paham artinya. Dan yang terjadi adalah sama, seperti komidi
putar. Rumah kami kembali dibuldoser tanpa ampun. Hancur. Rata dengan tanah.
Tapi, tak perlu menunggu waktu. Dalam hitungan minggu kami sudah membuat rumah
itu kembali berdiri. Meski compang-camping, menggunduk di sana-sini, seperti
kemah.
Lambat
laun pemerintah akan lupa, atau mungkin lelah dan sengaja membiarkan. Maka,
rumah kami berdiri lagi. Menyempal-nyempal lagi. Dan kami kembali hidup seperti
sedia kala. Membuka tambal ban di pinggir jalan. Membuka warteg murahan. Berjualan
cilok dan tempura. Menjadi buruh cuci. Mengasong. Memulung. Mengemis… hingga
kabar pelebaran jalan itu kembali menjewer telinga kami.
Penyakit pelebaran
jalan itu kambuh lagi. Kami harus berdemo lagi. Menenteng-nenteng spanduk dan
tutup panci lagi. Satpol PP datang berbondong-bondong lagi. Buldoser mengerami
rumah kami lagi. Rumah kami hancur lagi. Kami menangis lagi. Kami bangkit lagi.
Mengais-ngais lagi. Membangun rumah dari kardus lagi. Memulai dari awal lagi. Begitulah.
Berputar-putar. Seperti komidi putar. Dan kami selalu memerankan tokoh yang
memar.
***
Bagaimanapun, rayap tetaplah
rayap. Dan sebagaimana layaknya rayap, kami tak pernah peduli pada ulah manusia
yang selalu menghancurkan rumah-rumah kami. Jumlah kami puluhan, ratusan atau
bahkan ribuan. Setelah rumah kami hancur, kami akan berbondong-bondong lagi untuk
mendirikan rumah yang baru lagi. ***
Malang,
2013