Keluarga Kiwir, Radar Surabaya, Minggu, 21 Februari 2016



Cerita sinting dan tak masuk akal ini bermula dari sebuah rumah sempit yang dihuni lima kepala: seorang ayah bernama Kiwir, seorang ibu bernama Sini, dan tiga orang anaknya—satu  laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama, laki-laki, namanya Dikin, anak kedua perempuan, namanya Srinthil, dan anak ketiga yang paling bontot, juga perempuan, namanya Minthil.
Kiwir dan Sini sudah lama sekali mendambakan cucu, maka ketika tiga anaknya beranjak dewasa, Kiwir sudah mulai merancang dan mencarikan jodoh buat anak-anaknya. Dikin, anak pertamanya, membuka lapak kecil tambal ban di dekat pasar. Selain menambal ban, Dikin juga menjual bensin eceran dan stiker. Jika orderan sedang sepi, malam-malam, dengan sembunyi-sembunyi, Dikin suka melempar puluhan paku payung di sepanjang jalan yang membentang sampai depan kiosnya. Dikin membuka lapaknya mulai jam tujuh pagi dan tutup jam lima sore. Kalau malam Dikin suka kelayapan ke tempat biliyard, atau ke pos ronda di pojok pasar—yang kalau malam sering digunakan para begundal untuk nongkrong, bermain gitar, kartu, atau sekadar minum-minum.
Sebenarnya Kiwir sudah menjodohkan Dikin dengan Lilik, anak gadis Mak Iyah yang berjualan nasi pecel di depan pasar, tapi Dikin menolak mentah-mentah, katanya Lilik terlalu gembrot dan item. Sebenarnya Dikin sendiri sudah lama menaruh hati pada Sari, tapi apa boleh buat, sekarang Sari sudah dipersunting oleh seorang guru madrasah yang konon lulusan pesantren. Diam-diam, Dikin patah hati dan kemudian melampiaskannya dengan cara nongkrong dan minum-minum. Kini usia Dikin sudah hampir tiga puluh delapan, dan ia masih tetap jadi begundal yang tidak bisa diatur. Kiwir sudah bosan membujuk anak laki-lakinya, Kiwir pasrah, terserah Dikin mau berbuat apa yang penting kalau siang ia masih sudi membuka lapaknya dan sesekali membelikan bapaknya rokok.
Pupus sudah harapan Kiwir dan Sini untuk mendapatkan cucu dari Dikin. Tapi tidak masalah, kenyataannya anak laki-laki memang lebih susah diatur ketimbang anak perempuan. Maka harapan untuk mendapatkan cucu yang berikutnya jatuh kepada Srinthil. Srinthil adalah anak gadis yang penurut meski tampangnya memang mendekam di bawah garis rata-rata. Srinthil juga pinter masak dan bersih-bersih rumah. Paling tidak, Srinthil sudah punya bekal lumayan untuk menjadi seorang istri atau ibu.
“Apa kabar anak laki-lakimu? Apa ia sudah menikah?” Begitulah Kiwir bertanya pada setiap rekannya sesama pengayuh becak. Kalau rekannya menjawab sudah, maka Kiwir akan berkata lagi, “Aku punya anak gadis yang rajin dan penurut, kalau kau punya teman yang punya anak bujang, coba tolong tanyakan, siapa tahu jodohnya Srinthil.”
Sudah lima kali Kiwir mempertemukan anak gadisnya dengan keluarga para bujang, namun begitulah, semuanya gagal, yang dua orang terang-terangan mengatakan tidak, yang seorang mengatakan belum siap, dan yang dua orang lagi, dengan tutur yang gamang menjawab: kami akan memikirkannya lagi. Dan semua itu terjadi setelah para bujang itu melihat paras Srinthil yang dipenuhi jerawat batu yang membuat pipinya lebih mirip makadam.
Harapan Kiwir dan Sini untuk mendapatkan cucu dari Srinthil nyaris putus, hingga datanglah rekannya—yang sesama tukang becak—ke rumah Kiwir dengan seorang pemuda berpakaian satpam lengkap. Pemuda itu mengaku bernama Gatot, bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik kertas. Melihat paras Gatot yang biasa-biasa dan bahkan jauh dari kata tampan, Kiwir tersenyum lega, “yang ini tampaknya cocok.”
Tak perlu menunggu waktu, dua keluarga pun dipertemukan, setelah berembung kesana-kemari, pada akhirnya, dua keluarga mengucapkan kalimah sepakat, yang artinya, Gatot dan Srinthil akan segera dinikahkan. Kiwir dan Sini menumpahkan kebahagiaanya dengan mengundang orkes dangdut koplo semalam suntuk, di pesta pernikahan anaknya. Semua berjalan lancar dan meriah. Namun, rupanya, Kiwir tetap tak bisa berbuat apa-apa, setelah berkalang bulan menikah Srinthil tidak juga hamil.
Segala macam cara sudah dilakukan Kiwir, mulai dari mencarikan obat kuat untuk Gatot dan Srinthil, supaya mereka terus berjuang tanpa putus asa. Kiwir juga sudah mendatangi dukun sampai berkunjung ke tempat-tempat keramat. Namun tetap saja, nihil. Srinthil tak juga hamil. Waktu berlalu begitu saja, tak terasa pernikahan Srinthil sudah menginjak tahun ke lima, dan perut Srinthil tak kunjung melendung. Kiwir pasarah.
Harapan untuk mendapatkan cucu dari Srinthil tampaknya akan muspra juga, seperti harapannya pada Dikin. Melihat keluarganya begitu sepi tanpa kehadiran anak kecil, Sini, sang istri, malah jatuh sakit. Setelah diperiksakan ternyata terserang stroke. Kiwir semakin pusing. Ia merasa bahwa Tuhan sengaja mempermainkan hidupnya. Meski demikian, harapan Kiwir dan Sini untuk mendapatkan cucu tetap menyala meski sedikit redup. Dan begitulah, sesuatu yang tak terduga bisa datang kapan saja dalam kehidupan siapa saja. Setelah harapan mereka untuk mendapatkan cucu nyaris padam, pada suatu malam, Minthil—anak perempuan mereka yang paling bontot, mendatangi bapak ibunya sambil sesenggukan dan berkata, “Pak, Mak, aku hamil.”
Kiwir dan Sini tak tahu, apakah itu kabar gembira atau malapetaka. Anak perempuan yang menikah baik-baik dan memiliki suami baik-baik tak kunjung hamil meski ditunggu bertahun-tahun, nah ini, anak perempuan yang baru lulus SMP tiba-tiba lapor bahwa ia tengah hamil. Celakanya lagi, Minthil tak pernah mau mengatakan, siapa lelaki yang menghamilinya. Mengingat paras Minthil lebih jernih ketimbang kakaknya, sangat patut kalau ada laki-laki berminat pada Minthil. Tapi siapa lelaki itu? Tidak bisakah ia meminta Minthil dengan cara baik-baik?
Menerima kenyataan bahwa anak perempuanya telah hamil tanpa suami, penyakit Sini kian menjadi-jadi, setelah stroke, kini Sini mengidap stress. Sini belum siap untuk menerima gunjingan dari warga sekitar. Kiwir juga sudah berusaha kesana kemari, bahkan ia nekat meminjam uang di pegadaian untuk membayar orang supaya mau bersandiwara untuk dinikahkan dengan Minthil. Tapi usaha Kiwir nol, tak ada satu lelaki pun yang sudi menikah dengan perempuan yang sudah hamil duluan, bahkan meski ia dibayar.
Semakin bulan, perut Minthil semakin melendung, satu-satunya cara untuk memperkecil rasa malu mereka adalah mengurung Minthil di dalam rumah, setidaknya sampai anaknya lahir, atau sampai keajaiban lain datang.
Hari-hari memang berlalu sangat cepat, kandungan Minthil sudah mengijak bulan ke sembilan. Dan bayi yang dikandung Minthil lahir tepat sembilan bulan kurang tiga belas hari. Karena muka Kiwir dan keluarganya masih saja dihantui rasa malu, Kiwir lebih memilih untuk mendatangkan dukun bayi ketimbang membawa Minthil ke rumah sakit. Setidaknya, ia bisa membayar dukun bayi itu untuk mengarang cerita jika ada orang bertanya siapa sebenarnya ayah dari anak Minthil.
Sampai bayi laki-laki Minthil melek dan merengek-rengek, Minthil sendiri masih setia membungkam mulutya. Dikin, Srinthil, Sini, semuanya terus-terusan mendesak Minthil untuk mengatakan siapa ayah dari bayinya. Hampir setiap hari, selama sembilan bulan, mereka terus melemparkan pertanyaan basi itu. Satu-satunya orang yang tak pernah memaksakan kehendak pada Minthil adalah Kiwir, sebagai kepala keluarga, Kiwir merasa bahwa ia harus mengemukakan pendapat yang paling bijak dengan selalu mengatakan, “Sudahlah, kalau ia tak mau mengatakannya jangan dipaksa, mungkin ia masih trauma karena diperkosa, ibarat nasi kini, sudah menjadi bubur, jadi kita harus terima… lagi pula sudah lama bukan kita mendambakan cucu?”
Minthil selalu menelan ludahnya yang sepat setiap kali mendengar bapaknya berbicara seperti itu. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bingung, tak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada anaknya jika kelak anaknya sudah besar. Minthil menghela napas berat, membayangkan ia harus berlari seumur hidup, berlari dari sebuah kenyataan bahwa ayah dan kakek dari anaknya adalah orang yang sama.***
Malang, 2013

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mas kalau mau tahu dimuat radar surabaya bagaimana? beli koran atau lihat e paper? kalau e paper alamatnya apa? terima kasih.