“Apakah kalian tahu, sebagian orang bertahan hidup karena
mengenang sesuatu. Dan sebagian yang lain, bertahan hidup karena melupakan
sesuatu. Itu hanya sebuah pilihan. Dan aku… aku memilih untuk masuk dalam
hitungan orang yang pertama.”
Bocah-bocah tetangga itu mengitarinya bagai kenduri,
sedangkan ia sendiri terduduk khusyuk di balai-balai dengan bantal geripis yang
ia jadikan sebagai alas pantat. Terkadang matanya terpejam-pejam bagai meraba
sesuatu. Mungkin ingatan.
“Kebahagiaan manusia adalah ketika ia dikenang,
namun, sejatinya kita hidup bukan cuma untuk dikenang tapi juga mengenang.”
Bocah-bocah tetangga itu ternganga menyimaknya.
Mereka adalah pendengar yang baik sekaligus penikmat kenangan yang baik.
Sedangkan ia—yang bercerita, ia adalah pemelihara kenangan yang baik.
Jadi, ia hanya seorang perempuan tua yang sendiri, yang
tinggal di sebuah gubuk yang lebih layak disebut dengan gubuk kesendirian.
Untuk bertahan hidup, ia hanya mengandalkan sebuah ingatan yang mulai rentan termakan
usia. Ia hidup dengan merawat sebuah ladang bernama ingatan—yang di dalamnya
tumbuh beberapa kenangan yang ia tanam sewaktu muda. Ia bagai seorang petani
yang terbungkuk-bungkuk di ladangnya sepanjang hari, merawat kenangan-kenangan
yang masih tersisa—yang kini hampir mati oleh usia. Ia menyiraminya, memupuknya
sedemikian rupa, dan memanennya sesekali untuk ia santap ketika ia disantap kesepian.
Perempuan tua itu sadar, di usianya yang sekarang
ini, ia tak mungkin menanam kenangan baru. Hidupnya sudah terlampau ringkih
untuk sekadar merawat kenangan-kenangan yang sudah ada. Menanam kenangan adalah
perkara mudah, namun untuk merawatnya dengan baik adalah perkara yang lain. Kepada
bocah-bocah tetangga, ia mengatakan: akan selalu kau temukan hama ataupun gulma
yang mengacaukan kenanganmu. Dan yang harus kau tahu, kenangan tak pernah bisa ditanam seorang diri,
kau membutuhkan orang lain untuk menanamnya. Seperti bulir padi yang membutuhkan
air dan matahari sebelum ia menggeliat jadi kecambah.
Karena perempuan itu sudah terlampau renta dan
sendiri dan tidak punya banyak hal—selain kenangannya, maka para tetangga
merasa kasihan meski perempuan tua itu tak pernah merasa dikasihani. Melihat
perempuan tua itu selalu berkutat dengan kesendirianya, selalu berjibaku dengan
ingatan tuanya yang tak pernah menghasilkan apa-apa, beberapa tetangga menyuruh
bocah-bocah mereka untuk berkunjung, atau sekadar berbagi keramaian. Ada yang datang
dengan membawa sekantung beras, ada yang membawa serantang sayur, ada yang
membawa setandan pisang, dan ada yang datang dengan hanya membawa diri.
Perempuan tua itu begitu mencintai setiap bocah yang
datang, mengingat hidupnya yang begitu ganjil selama ini, tanpa seorang bocah.
Perempuan itu pasrah, meski mungkin, rahimnya tak pernah subur untuk menanam
seorang bocah, namun ingatannya cukup subur untuk menanam berbagai macam kenangan.
Manakala bocah-bocah tetangga itu datang, perempuan
tua itu akan menyambut mereka dengan bingar. Dipersilahkannya bocah-bocah
tetangga itu duduk di teras gubuknya, lantas ia pun ikut duduk di atas balai-balai
dan berkata, “akan kujamu kalian dengan kenangan yang paling merah dan matang,
kenangan yang kutanam, kurawat dan kupetik sendiri dari ladang ingatan. Kalian
akan mengunyahnya, dan jangan lupa, bawalah pulang biji-bijinya untuk kalian
tanam dalam ingatan kalian.”
Lantas, perempuan tua itu mulai mengupas
kenangannnya yang paling berharga dengan seorang lelaki yang selanjutnya ia
sebut sebagai ‘kakek kalian’.
“Aku dan kakek kalian pernah hidup di zaman pemberontakan,
zaman huru-hara, di mana nyawa manusia tak lebih berharga dari seekor kecoak. Dan
pada masa itu, telah tumbuh dua butir kenangan, yang satu sangat manis, yang
kami tanam sendiri, dan yang satu amat sangat
pahit, yang ditanam oleh nasib. Aku akan membagikan yang manis terlebih dahulu…
“Dan kenangan manisnya adalah, ketika aku dan kakek kalian
dipertemukan. Kami dipertemukan di sebuah perkumpulan, perkumpulan muda-mudi
yang menyebut dirinya sebagai manusia yang peduli pada sesama, pada kehidupan
rakyat kecil. Kami sama-sama berjuang ketika itu, kami turun ke jalan, membahas
dan menelisik kebijakan pemerintah… Tapi bukan itu yang penting. Yang penting
adalah kenangan manis yang kemudian kami tanam. Singkatnya aku dan kakek kalian
jatuh cinta dan kemudian kami menikah….
“Setelah menikah, aku dan kakek kalian mulai melepaskan
kehidupan lama kami. Kami hidup menjadi rakyat biasa. Kami tak pernah lagi
turun ke jalan, kami tak pernah lagi memedulikan apa yang dilakukan pemerintah,
karena ada yang lebih pantas untuk kami prioritaskan: kehidupan kami sendiri. Setelah
menikah selama bertahun-tahun dan tidak dikaruniai seorang bocah pun, kami
tetap hidup rukun dan saling mencintai. Lihatlah rumah ini! Kami membangun
rumah ini dengan keringat dan darah kami sendiri. Kami bercocok tanam dan
memanen talas, kami menggali sumur di belakang rumah dan memelihara itik.
Sesekali, kami membagikan panen kami ke tetangga—yang juga barangkali kakek nenek
kalian, jika tetangga butuh telur itik untuk dijadikan obat, mereka tak perlu
membelinya. Pun ketika sumur mereka kering, dengan senang hati kami akan memanggil
mereka untuk menimba di sumur kami. Bagi kami, kebahagiaan adalah berbagi. Namun…
“Namun semua itu muspra dan tidak berlaku ketika pucak
huru-hara dan kekacauan meledak. Dan di sinilah, kenangan yang sangat pahit itu
mulai tumbuh di ladang ingatan kami, di ladang ingtanku. Ketika itu kami tak bisa lagi keluar rumah
dengan rasa aman, karena di setiap tempat, senapan bisa saja terongkang dan
meletus, badik bisa saja terayun dan terhunus.
“Kami tak lagi memanen talas, para tetangga tak lagi
mencari telur itik untuk obat, para tetangga juga berhenti menimba air di sumur
kami. Karena, satu persatu, orang-orang—barangkali juga kakek-nenek kalian,
diambil oleh orang berseragam dan digelandang ke pabrik tua peninggalan Belanda
yang ada di ujung desa, orang-orang yang diambil jarang ada yang kembali, mereka
akan ditanya ini-itu, kalau mereka tak bisa menjawab pertanyaan dengan tepat,
mereka akan dibedil. Kalaupun mereka
bisa menjawab, mereka akan dituduh berbohong dan akhirnya juga dibedil…
“Dan kakek kalian, kakek kalian adalah salah satu
orang di antara ratusan orang yang telah diambil oleh orang-orang berseragam
itu. Kakek kalian diseret dengan paksa oleh orang-orang berseragam itu jelang tengah
malam, ketika kami sudah tertidur lelap. Jadi, semua terjadi begitu saja, seperti
mimpi buruk yang tergesa-gesa dan tak bisa dicerna oleh akal lumrah, aku
menjerit, menarik lengan kakek kalian, tapi pelipisku dihantam dengan gagang
senapan hingga berdarah. ‘Tunggu saja giliranmu,’ kata salah seorang berseragam
itu sambil menendang tubuhku. Dan begitulah… sejak diambil oleh orang-orang
berseragam itu, kakek kalian tak pernah kembali. Dan kakek kalian tak
meninggalkan suatu apapun kecuali kenangan manis yang hanya sejenak itu…”
Bocah-bocah tetangga itu terbengong-bengong, dan
entah mengapa, mereka seperti semakin menyayangi tetangga mereka yang renta dan
sendiri itu. Bocah-bocah tetangga yang telah datang dan turut menelan kenangan
milik perempuan tua itu, mereka akan datang lagi dan lagi, mereka ingin menelan
kenangan yang lain dan yang lain. Namun begitulah, rupanya perempuan tua itu
tak punya banyak kenangan yang bisa ia bagikan, kecuali sedikit kenangan manis
dan beberapa kenangan mencekam yang mau tidak mau harus ia pelihara.
Manakala bocah-bocah tetangga itu berlalu dari
rumahnya, dan rumahnya kembali diliputi kesepian, perempuan tua itu akan
menutup pintu dan jendela. Kemudian ia akan mulai merawat kenangan yang baru—yang
baru saja ia tanam bersama bocah-bocah tetangga itu. Lantas, ia akan memupuknya
dengan ingatan, menyiraminya dengan sisa-sisa waktu yang ada, dan memanennya
kembali jika umur masih mengizinkan.
Jadi, jika bocah-bocah tetangga itu bertanya, ‘apa
kau tidak punya kenangan yang lain?’ perempuan tua itu akan menjawab, ‘kalian
lah kenangan yang lain itu’.
Seperti yang sudah-sudah, perempuan tua itu tak
pernah menyesali apapun dalam hidupnya—selama ia masih memiliki ingatan.
Bahkan, jika suatu saat nanti, ingatan dan kenangan-kenangan miliknya mengering
dan mati, ia tetap akan berbesar hati. Karena, bocah-bocah tetangga itu telah sudi
menanam kenangan tentang dirinya dalam ingatan mereka. Kenangan tentang seorang
perempuan renta yang bertahan hidup karena mengenang sesuatu. Mungkin jika
mereka sudah dewasa dan menjadi ibu atau bapak dari beberapa anak, mereka akan
kembali mengisahkan kisah sejarah itu pada anak-anak mereka.
“Nak, maukah kalian mendengar kisah tentang seorang
perempuan renta yang begitu salih merawat setiap kenangannya?”***
Malang,
2014-2015
0 komentar:
Posting Komentar