Dalam cerita ini, tokoh
perempuan kita tak memiliki nama. Untuk mengenalnya, kita cukup menyebutnya
dengan perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga. Dan si tokoh lelaki, ia juga
tak bernama, dalam cerita ini, ia kita kenal sebagai lelaki berbaju kotak-kotak
warna biru. Kisah mereka nantinya memang menjadi kisah yang teramat picisan.
Mereka yang tidak saling mengenal, dirancang bertemu di sebuah jejaring sosial.
Mereka chating selama berjam-jam,
lalu bertukar nomor telepon, dan seterusnya, dan seterusnya… kau bisa
menebaknya.
Kini, perempuan bergaun
ungu motif bunga-bunga itu sedang menunggu lelaki berbaju kotak-kotak warna
biru, di sebuah kafe. Ya, kafe. Apa boleh buat, ini memang berjuta-juta kali
picisan. Sangat picisan. Sebenarnya bisa saja perempuan bergaun ungu motif
bunga-bunga itu menunggu si lelaki di depan kuburan atau di tepi sungai, tapi
itu sedikit naif dan memaksakan. Dan di kafe, meski tempat itu berjuta-juta
kali picisan, tetap lebih masuk akal dan lebih mudah dibayangkan seorang
pembaca ketimbang sebuah pertemuan di area kuburan atau di tepian sungai.
Maka, perempuan bergaun
ungu motif bunga-bunga itu datang ke kafe yang telah mereka sepakati, pukul
tujuh malam. Di kafe itu, ia memesan susu soda dalam gelas besar. Ya, susu
soda. Sebenarnya, perempuan itu sudah ingin memesan capucino, tapi capucino, itu
juga picisan. Untuk menghindari begitu banyak hal picisan, akhirnya ia memesan
susu soda dalam gelas besar. Dengan busa meruah seperti bir.
“Kita ke sana pukul tujuh
tepat. Maksudku, pukul tujuh tepat kita sudah harus berada di sana,” kata laki-laki
berbaju kotak-kotak warna biru di telepon, tadi pagi.
“Pukul tujuh malam, kan?”
balas si perempuan.
“Tentu saja pukul tujuh
malam. Sekarang sudah pukul tujuh pagi lebih.”
“Iya.” Si perempuan
sedikit canggung.
“Iya apa?”
“Mmm… Jam tujuh malam.”
“Ya, jam tujuh malam.”
“Di Kafe Bunga, yang ada
di Jalan Kotak-kotak, kan?”
“Ya, kita akan bertemu di
sana. Di Kafe Bunga di Jalan Kotak-kotak.”
“Rumahku sepertinya lebih
dekat dengan kafe itu. Jadi ada kemungkinan aku sampai duluan.”
“Tak masalah. Aku akan
mengenalimu. Kau bergaun ungu motif bunga-bunga, kan?”
“Ya. Ungu motif bunga-bunga.
Dan kau pakai baju kotak-kotak warna biru, kan?”
“Ya. Kotak-kotak warna
biru. Itu baju terbaikku.”
“Baiklah. Sudah jelas.
Nanti kita akan bertemu.”
“Ya, sudah jelas. Tak ada
lagi pertanyaan. Sebelum kita akhiri percakapan ini, akan kusimpulkan dulu inti
percakapan kita kali ini: kita akan bertemu di Kafe Bunga di Jalan Kotak-kotak,
pukul tujuh tepat. Kau mengenakan gaun ungu bermotif bunga-bunga, dan aku
mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru.”
“Oke.”
“Oke.”
Dan perempuan itu menutup
teleponnya lalu menerawang ke udara sambil tersenyum-senyum sendiri. Lelaki itu
juga tersenyum, senyum yang pendek tanpa dramatisasi.
Sepanjang hari, sebelum
jarum jam merangkak menggapai angka tujuh, perempuan itu menyetrika gaun ungu
motif bunga-bunga miliknya dan menyemprotnya dengan parfum tak kurang dari
sepuluh semprotan. Pukul lima sore, perempuan itu sudah memotong kuku, mandi,
memakaikan dempul tipis di wajah agar bekas jerawat yang melubangi pipinya
terlihat samar. Ia menyisir rambutnya—yang masih beraroma shampo, dan
membiarkannya tergerai. Ia mematut di cermin berkali-kali. Aku memang tak
seperti bintang iklan, tapi aku tidak jelek. Seseorang di luar sana boleh-boleh
saja mengagumiku, ujarnya pada seseorang yang mengenakan gaun ungu bermotif
bunga-bunga di dalam cermin. Ia tersenyum. Hatinya mekar.
Perempuan itu menunggu
sampai pukul setengah tujuh tanpa melakukan apapun. Hanya terdiam di kamarnya
sambil membaca majalah wanita edisi bertahun-tahun lewat. Sesekali ia kembali
ke depan cermin, memastikan tampilannya masih baik-baik saja. Ia tak ingin
berkeringat sebelum pukul tujuh. Dalam tas, ia sudah menyiapkan dompet dan
telepon genggam. Dua benda yang tak boleh ketinggalan. Jaket rajut berwarna
putih gading ia sampirkan di pundak.
Ia memelototi jarum jam
di kamarnya, seakan tengah menunggu sebuah ledakan. Maka, ketika jarum jam tipis
berwarna merah di kamarnya berbunyi ‘tik’ tepat pukul tujuh, ia bergegas keluar
kamar sambil mengenakan jaket rajut putih gading. Sepatu hak tingginya berbunyi
seperti mesin ketik tua yang tersendat-sendat. Ia melenggang, mengempaskan
pantat di jok belakang taksi yang sudah menunggu dengan argo menyala. Biasanya,
kemana-mana ia naik angkot atau ojek. Tapi malam ini berbeda. Angkot atau ojek
akan membuatnya berkeringat dan mengacaukan dandanannya.
Begitulah, kronologi
singkat si perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga, hingga ia sampai di kafe
itu dan memesan susu soda yang berbusa-busa. Ia memang sampai duluan, dan di
kafe itu ia tidak melihat satu laki-laki pun mengenakan baju kotak-kotak
berwarna biru. Perempuan itu sudah merencanakannya, sebelum ia melihat lelaki
berbaju kotak-kotak warna biru datang, ia tak akan membuka identitasnya. Ia
akan menyembunyikan gaun ungu motif bunga-bunga itu dibalik jaket rajut warna
putih gading.
Sementara lelaki itu. Ya,
lelaki berbaju kotak-kotak berwarna biru. Ia seperti lelaki kebanyakan yang tak
begitu peduli dengan parfum dan memandang santai pada banyak hal. Ia baru mandi
pukul setengah tujuh. Mencukur kumis sebentar. Mengenakan deodorant. Menyisir
rambut ke belakang. Dan berangkat dengan sepeda motor kesayangannya. Ia tahu
akan sedikit terlambat. Tapi ia memang sengaja. Ia ingin perempuan itu menunggunya
dengan cemas. Hingga ketika ia datang, sebuah kejutan akan menyambut mereka
bagai sebuah ledakan yang lain.
Supaya cerita ini menjadi
adil, maka si lelaki berbaju kotak-kotak warna biru ini juga merencanakan hal
yang sama. Ia mengenakan jaket kulit cokelat muda untuk menutupi baju kotak-kotak
warna biru yang ia pakai. Begitu turun dari motor. Ia tak melepaskan jaketnya.
Ia tak berniat melepas jaketnya sebelum bertemu dengan perempuan bergaun ungu
motif bunga-bunga.
Dan inilah yang terjadi...
Ketika lelaki itu masuk,
ia tak melihat perempuan itu. Dan perempuan itu pun tak mengenali lelaki itu.
Mereka terus duduk di kursi masing-masing tanpa curiga bahwa salah satu dari mereka
adalah seseorang yang mereka tunggu. Seharusnya jantung mereka berdegup. Tapi
tidak. Mereka malah cemas dan takut jadi pecundang. Mereka pun terus bertingkah
bodoh dengan membiarkan detik dan menit meleleh menjadi basi. Perempuan bergaun
ungu motif bunga-bunga menjelma patung
perempuan berjaket rajut putih gading. Dan lelaki berbaju kotak-kotak warna
biru menjelma arca lelaki berjaket kulit cokelat muda.
“Sudah satu jam lebih,
lelaki itu takkan datang. Seharusnya aku tak percaya begitu saja pada lelaki
yang hanya kukenal di jejaring sosial. Mungkin sebaiknya aku pulang saja. Aku
sudah kalah,” gumam perempuan itu sambil menoleh ke sekeliling.
“Sialan. Mana perempuan
itu? Mana si gaun ungu motif bunga-bunga. Jangan-jangan perempuan itu
mempecundangiku. Ya, mana mungkin ia adatang,” bisik si lelaki pada dirinya
sendiri.
Dua sejoli tak jadi itu
pun sebenarnya ingin mencoba menelpon satu sama lain, memastikan mereka datang
atau tidak. Tapi dua-duanya sudah terlanjur dimakan gengsi. Saling malu
mengemis-ngemis. Saling takut dipecundangi. Maka yang mereka lakukan hanya
menunggu dan menunggu. Seperti dua manekin bodoh di tengah keromantisan sebuah
kafe yang melantunkan lagu jazz sayup-sayup.
Setelah nyaris putus asa,
ketika keduanya hendak berdiri dari duduknya, tiba-tiba seorang perempuan dan
seorang laki-laki muncul dari pintu kaca depan. Mereka bergandengan tangan. Sangat
mesra. Bahkan lebih mesra dari yang bisa dibayangkan siapapun. Si perempuan
mengenakan gaun ungu motif bunga-bunga. Dan si lelaki, mengenakan baju kotak-kotak
warna biru.
Perempuan berjaket rajut
putih gading menatap sepasang sejoli itu sambil menutup mulutnya. Dia salah orang. Lelaki berbaju kotak-kotak
warna biru itu salah orang. Ia terlanjur malu untuk melepas jaket rajut
putih gading yang ia kenakan. Ia memastikan, jaket itu akan tetap melekat di
tubuhnya sampai ia beranjak meninggalkan kafe. Segera.
Si lelaki dengan jaket
cokelat muda juga ternganga. Apa dia
orangnya? Kalau iya, dia pasti salah orang. Perempuan bergaun ungu motif
bunga-bunga itu salah orang. Ia juga terlanjur keki untuk membuka jaket
cokelat mudanya. Ia berjanji, jaket itu akan terus menutupi kedoknya sampai ia
berlalu dari kafe itu. Segera.
Begitu perempuan bergaun
ungu motif bunga-bunga dan lelaki berbaju kotak-kotak warna biru duduk di
sebuah bangku dan memanggil pelayan—mereka masih sangat mesra dan sepertinya
akan terus mesra, perempuan berjaket rajut putih gading dan lelaki berjaket
cokelat muda langsung bangkit dari duduknya (setelah membayar bon tentu saja).
Mereka berjalan gegas menuju pintu keluar. Seperti tak peduli pada apapun. Di
dekat pintu keluar, dua orang itu bertabrakan. Dan mereka hanya saling pandang.
Tanpa kata maaf.
“Lelaki tolol, jalan tak
pakai mata,” umpat si perempuan, selirih mungkin.
“Perempuan sialan,
matanya ditaruh dengkul,” umpat si lelaki pula, lebih lirih.
Dan dua anak manusia yang
sama-sama totol itu pun tak pernah saling bertemu. Tak pula saling menghubungi
satu sama lain. Kisah picisan mereka berakhir. Atau tepatnya tak jadi. Dan
rasanya, cerita ini pun telah salah judul. Seharusnya cerita ini berjudul
‘Perempuan Berjaket Rajut Putih Gading dan Lelaki Berjaket Cokelat Muda.***
Malang, 2015
0 komentar:
Posting Komentar