Perempuan Bergaun Ungu Motif Bunga-Bunga dan Lelaki Berbaju Kotak-Kotak Warna Biru, KORAN TEMPO, Minggu 3 Mei 2015






Dalam cerita ini, tokoh perempuan kita tak memiliki nama. Untuk mengenalnya, kita cukup menyebutnya dengan perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga. Dan si tokoh lelaki, ia juga tak bernama, dalam cerita ini, ia kita kenal sebagai lelaki berbaju kotak-kotak warna biru. Kisah mereka nantinya memang menjadi kisah yang teramat picisan. Mereka yang tidak saling mengenal, dirancang bertemu di sebuah jejaring sosial. Mereka chating selama berjam-jam, lalu bertukar nomor telepon, dan seterusnya, dan seterusnya… kau bisa menebaknya.
Kini, perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga itu sedang menunggu lelaki berbaju kotak-kotak warna biru, di sebuah kafe. Ya, kafe. Apa boleh buat, ini memang berjuta-juta kali picisan. Sangat picisan. Sebenarnya bisa saja perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga itu menunggu si lelaki di depan kuburan atau di tepi sungai, tapi itu sedikit naif dan memaksakan. Dan di kafe, meski tempat itu berjuta-juta kali picisan, tetap lebih masuk akal dan lebih mudah dibayangkan seorang pembaca ketimbang sebuah pertemuan di area kuburan atau di tepian sungai.
Maka, perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga itu datang ke kafe yang telah mereka sepakati, pukul tujuh malam. Di kafe itu, ia memesan susu soda dalam gelas besar. Ya, susu soda. Sebenarnya, perempuan itu sudah ingin memesan capucino, tapi capucino, itu juga picisan. Untuk menghindari begitu banyak hal picisan, akhirnya ia memesan susu soda dalam gelas besar. Dengan busa meruah seperti bir.
“Kita ke sana pukul tujuh tepat. Maksudku, pukul tujuh tepat kita sudah harus berada di sana,” kata laki-laki berbaju kotak-kotak warna biru di telepon, tadi pagi.
“Pukul tujuh malam, kan?” balas si perempuan.
“Tentu saja pukul tujuh malam. Sekarang sudah pukul tujuh pagi lebih.”
“Iya.” Si perempuan sedikit canggung.
“Iya apa?”
“Mmm… Jam tujuh malam.”
“Ya, jam tujuh malam.”
“Di Kafe Bunga, yang ada di Jalan Kotak-kotak, kan?”
“Ya, kita akan bertemu di sana. Di Kafe Bunga di Jalan Kotak-kotak.”
“Rumahku sepertinya lebih dekat dengan kafe itu. Jadi ada kemungkinan aku sampai duluan.”
“Tak masalah. Aku akan mengenalimu. Kau bergaun ungu motif bunga-bunga, kan?”
“Ya. Ungu motif bunga-bunga. Dan kau pakai baju kotak-kotak warna biru, kan?”
“Ya. Kotak-kotak warna biru. Itu baju terbaikku.”
“Baiklah. Sudah jelas. Nanti kita akan bertemu.”
“Ya, sudah jelas. Tak ada lagi pertanyaan. Sebelum kita akhiri percakapan ini, akan kusimpulkan dulu inti percakapan kita kali ini: kita akan bertemu di Kafe Bunga di Jalan Kotak-kotak, pukul tujuh tepat. Kau mengenakan gaun ungu bermotif bunga-bunga, dan aku mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru.”
“Oke.”
“Oke.”
Dan perempuan itu menutup teleponnya lalu menerawang ke udara sambil tersenyum-senyum sendiri. Lelaki itu juga tersenyum, senyum yang pendek tanpa dramatisasi.
Sepanjang hari, sebelum jarum jam merangkak menggapai angka tujuh, perempuan itu menyetrika gaun ungu motif bunga-bunga miliknya dan menyemprotnya dengan parfum tak kurang dari sepuluh semprotan. Pukul lima sore, perempuan itu sudah memotong kuku, mandi, memakaikan dempul tipis di wajah agar bekas jerawat yang melubangi pipinya terlihat samar. Ia menyisir rambutnya—yang masih beraroma shampo, dan membiarkannya tergerai. Ia mematut di cermin berkali-kali. Aku memang tak seperti bintang iklan, tapi aku tidak jelek. Seseorang di luar sana boleh-boleh saja mengagumiku, ujarnya pada seseorang yang mengenakan gaun ungu bermotif bunga-bunga di dalam cermin. Ia tersenyum. Hatinya mekar.
Perempuan itu menunggu sampai pukul setengah tujuh tanpa melakukan apapun. Hanya terdiam di kamarnya sambil membaca majalah wanita edisi bertahun-tahun lewat. Sesekali ia kembali ke depan cermin, memastikan tampilannya masih baik-baik saja. Ia tak ingin berkeringat sebelum pukul tujuh. Dalam tas, ia sudah menyiapkan dompet dan telepon genggam. Dua benda yang tak boleh ketinggalan. Jaket rajut berwarna putih gading ia sampirkan di pundak.
Ia memelototi jarum jam di kamarnya, seakan tengah menunggu sebuah ledakan. Maka, ketika jarum jam tipis berwarna merah di kamarnya berbunyi ‘tik’ tepat pukul tujuh, ia bergegas keluar kamar sambil mengenakan jaket rajut putih gading. Sepatu hak tingginya berbunyi seperti mesin ketik tua yang tersendat-sendat. Ia melenggang, mengempaskan pantat di jok belakang taksi yang sudah menunggu dengan argo menyala. Biasanya, kemana-mana ia naik angkot atau ojek. Tapi malam ini berbeda. Angkot atau ojek akan membuatnya berkeringat dan mengacaukan dandanannya.
Begitulah, kronologi singkat si perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga, hingga ia sampai di kafe itu dan memesan susu soda yang berbusa-busa. Ia memang sampai duluan, dan di kafe itu ia tidak melihat satu laki-laki pun mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru. Perempuan itu sudah merencanakannya, sebelum ia melihat lelaki berbaju kotak-kotak warna biru datang, ia tak akan membuka identitasnya. Ia akan menyembunyikan gaun ungu motif bunga-bunga itu dibalik jaket rajut warna putih gading.
Sementara lelaki itu. Ya, lelaki berbaju kotak-kotak berwarna biru. Ia seperti lelaki kebanyakan yang tak begitu peduli dengan parfum dan memandang santai pada banyak hal. Ia baru mandi pukul setengah tujuh. Mencukur kumis sebentar. Mengenakan deodorant. Menyisir rambut ke belakang. Dan berangkat dengan sepeda motor kesayangannya. Ia tahu akan sedikit terlambat. Tapi ia memang sengaja. Ia ingin perempuan itu menunggunya dengan cemas. Hingga ketika ia datang, sebuah kejutan akan menyambut mereka bagai sebuah ledakan yang lain.
Supaya cerita ini menjadi adil, maka si lelaki berbaju kotak-kotak warna biru ini juga merencanakan hal yang sama. Ia mengenakan jaket kulit cokelat muda untuk menutupi baju kotak-kotak warna biru yang ia pakai. Begitu turun dari motor. Ia tak melepaskan jaketnya. Ia tak berniat melepas jaketnya sebelum bertemu dengan perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga.
Dan inilah yang terjadi...
Ketika lelaki itu masuk, ia tak melihat perempuan itu. Dan perempuan itu pun tak mengenali lelaki itu. Mereka terus duduk di kursi masing-masing tanpa curiga bahwa salah satu dari mereka adalah seseorang yang mereka tunggu. Seharusnya jantung mereka berdegup. Tapi tidak. Mereka malah cemas dan takut jadi pecundang. Mereka pun terus bertingkah bodoh dengan membiarkan detik dan menit meleleh menjadi basi. Perempuan bergaun ungu motif  bunga-bunga menjelma patung perempuan berjaket rajut putih gading. Dan lelaki berbaju kotak-kotak warna biru menjelma arca lelaki berjaket kulit cokelat muda.
“Sudah satu jam lebih, lelaki itu takkan datang. Seharusnya aku tak percaya begitu saja pada lelaki yang hanya kukenal di jejaring sosial. Mungkin sebaiknya aku pulang saja. Aku sudah kalah,” gumam perempuan itu sambil menoleh ke sekeliling.
“Sialan. Mana perempuan itu? Mana si gaun ungu motif bunga-bunga. Jangan-jangan perempuan itu mempecundangiku. Ya, mana mungkin ia adatang,” bisik si lelaki pada dirinya sendiri.
Dua sejoli tak jadi itu pun sebenarnya ingin mencoba menelpon satu sama lain, memastikan mereka datang atau tidak. Tapi dua-duanya sudah terlanjur dimakan gengsi. Saling malu mengemis-ngemis. Saling takut dipecundangi. Maka yang mereka lakukan hanya menunggu dan menunggu. Seperti dua manekin bodoh di tengah keromantisan sebuah kafe yang melantunkan lagu jazz sayup-sayup.
Setelah nyaris putus asa, ketika keduanya hendak berdiri dari duduknya, tiba-tiba seorang perempuan dan seorang laki-laki muncul dari pintu kaca depan. Mereka bergandengan tangan. Sangat mesra. Bahkan lebih mesra dari yang bisa dibayangkan siapapun. Si perempuan mengenakan gaun ungu motif bunga-bunga. Dan si lelaki, mengenakan baju kotak-kotak warna biru.
Perempuan berjaket rajut putih gading menatap sepasang sejoli itu sambil menutup mulutnya. Dia salah orang. Lelaki berbaju kotak-kotak warna biru itu salah orang. Ia terlanjur malu untuk melepas jaket rajut putih gading yang ia kenakan. Ia memastikan, jaket itu akan tetap melekat di tubuhnya sampai ia beranjak meninggalkan kafe. Segera.
Si lelaki dengan jaket cokelat muda juga ternganga. Apa dia orangnya? Kalau iya, dia pasti salah orang. Perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga itu salah orang. Ia juga terlanjur keki untuk membuka jaket cokelat mudanya. Ia berjanji, jaket itu akan terus menutupi kedoknya sampai ia berlalu dari kafe itu. Segera.
Begitu perempuan bergaun ungu motif bunga-bunga dan lelaki berbaju kotak-kotak warna biru duduk di sebuah bangku dan memanggil pelayan—mereka masih sangat mesra dan sepertinya akan terus mesra, perempuan berjaket rajut putih gading dan lelaki berjaket cokelat muda langsung bangkit dari duduknya (setelah membayar bon tentu saja). Mereka berjalan gegas menuju pintu keluar. Seperti tak peduli pada apapun. Di dekat pintu keluar, dua orang itu bertabrakan. Dan mereka hanya saling pandang. Tanpa kata maaf.
“Lelaki tolol, jalan tak pakai mata,” umpat si perempuan, selirih mungkin.
“Perempuan sialan, matanya ditaruh dengkul,” umpat si lelaki pula, lebih lirih.
Dan dua anak manusia yang sama-sama totol itu pun tak pernah saling bertemu. Tak pula saling menghubungi satu sama lain. Kisah picisan mereka berakhir. Atau tepatnya tak jadi. Dan rasanya, cerita ini pun telah salah judul. Seharusnya cerita ini berjudul ‘Perempuan Berjaket Rajut Putih Gading dan Lelaki Berjaket Cokelat Muda.***
Malang, 2015

0 komentar: