Danau, Sinyo, dan Seorang Bocah bertopi Gatsby, Suara Merdeka, Minggu, 14 Juni 2015







Tak lama setelah Sinyo duduk, mengaitkan umpan di kail, dan melemparkannya ke dalam air, bocah lelaki bertopi gatsby itu datang. Ia tersenyum pada Sinyo. Tapi Sinyo tak membalasnya. Ia tak pernah menyukai anak kecil. Bahkan seandainya itu dirinya sendiri sewaktu kecil. Sinyo melirik bocah itu, seolah mendoakan supaya bocah itu terporok ke ceruk danau dan tamat. Tapi bocah itu malah duduk tepat di sebelahnya, sekitar dua meter dari tempat Sinyo duduk. Bocah itu melakukan persis yang dilakukan Sinyo: mengait umpan di kail, lalu melemparkan kail ke dalam air.
Tiba-tiba Sinyo merasa, bocah itu sengaja meniru gerak-geriknya. Sinyo mendengus, dasar makhluk peniru.
“Sudah dapat berapa ikan, Pak Tua?” teriak bocah itu tiba-tiba, membuat Sinyo terkejut.
Kurang ajar, batinnya. Pasti orang tua bocah itu tak pernah memberinya pelajaran sopan santun di rumah. Dapat ilham dari mana sampai-sampai bocah itu memanggilnya Pak Tua. Rambut Sinyo memang mulai botak dan beruban, dan kerutan halus barangkali juga sudah mulai menggurit garis-garis di sudut mata. Tapi ia merasa masih terlalu muda untuk dipanggil Pak Tua.
Sinyo tidak menjawab dan balas memelototi bocah tak tahu sopan santun itu. Merasa dirinya dipelototi, bocah itu segera menunduk, pura-pura menekuni senar kail yang bergeming oleh petikan angin.
Suasana hening, dan Sinyo menyukainya. Angin berhembus dengan santun. Daun-daun mahoni di tepian danau seperti bersorak lirih. Suara tonggeret di kejauhan mengingatkan Sinyo pada kampung halamannya yang hilang disedot lumpur agung yang muncrat dari lambung bumi. Sinyo memejamkan mata, aroma lumut yang dibawa angin dari tengah danau memenuhi rongganya. Akan tetapi Sinyo lekas terhenyak ketika bocah di sebelahnya itu mendadak melakukan gerakan ribut. Tampaknya, seekor ikan menarik umpan bocah itu. Dengan tangan mungilnya, bocah itu menarik senar kail, hingga dari dalam air seekor ikan gabus menggelepar. Membuat percikan-percikan kecil dengan suara sayup di permukaan air.
“Yeaah!” Teriak bocah itu seakan ingin memamerkan ikan tangkapannya pada Sinyo. Sinyo melirik bocah itu dengan tingkat kesebalan bertambah satu lapis.
Melihat lirikan Sinyo yang menyeramkan, bocah itu segera mengendalikan diri. Ia memasukkan ikan gabus itu ke dalam ember kecil yang ia siapkan. Jelas sekali. Raut wajah bocah itu menampakkan kebahagiaan yang luar biasa. Barangkali puncak kebahagiaan. Dan lagi-lagi, Sinyo membenci itu.
“Bocah sial ini benar-benar merusak suasana,” kata Sinyo, dalam hati, “seseorang harus mengusirnya.”
“Hei bocah,” pekik Sinyo, “berapa usiamu?” tanyanya kemudian.
Mendengar suara Sinyo yang berat, bocah itu celingukan, seolah meyakinkan dirinya bahwa memang Sinyo—lelaki tambun, setengah botak, dan hampir tua itu, yang sedang mengajaknya bicara.
“Oh, saya sepuluh tahun kurang dua bulan, Pak Tua,” jawab bocah itu.
Mendengar kata ‘Pak Tua’, Sinyo kembali melotot.
“Mmm, saya sepuluh tahun kurang dua bulan, Pak,” ralat bocah itu, seakan paham bahwa lelaki hampir tua itu tidak menyukai dirinya disebut Pak Tua.
“Dengan siapa kau datang kemari? Mana orang tuamu?”
“Saya sendirian saja, Pak.”
“Apa kau tak takut?”
Bocah itu memicingkan mata, seperti mencurigai Sinyo.
“Sebaiknya kau lekas pulang,” kata Sinyo tanpa ragu-ragu.
“Mengapa saya harus pulang?” kini bocah itu mengernyit.
“Tempat ini tak bagus buat anak-anak. Apa kau belum pernah dengar, di dasar danau ini ada seekor ular raksasa yang suka sekali memakan anak-anak?”
Bocah itu tak menggubris, karena senar kailnya kembali pontang-panting dipermainkan ikan. Dengan wajah berseri dan mulut setengah terbuka, bocah itu menarik senar kailnya, yang kemudian melayangkan seekor wader sebesar telapak tangan orang dewasa.
Demi melihat adegan itu, kepala Sinyo terasa mendidih sampai jidatnya yang botak  ikut berkeringat. Dalam waktu beberapa menit saja kail bocah ini sudah mendaratkan dua ikan di embernya. Sementara kail Sinyo hanya diliputi sunyi sepi yang sepertinya takkan beranjak.
“Dua ikan, Pak, dua ikan,” ujar bocah itu riang, “bagaimana denganmu?”
Mendengar ujaran bocah itu, Sinyo seperti mendengar ledekan yang telak. Sinyo mencengkeram tongkat pancingnya kuat-kuat dan berusaha tak menghiraukan ocehan bocah itu.
“Oh, kau tadi cerita apa?” Tanya bocah itu kemudian.
Sinyo menghela napas sebentar, lalu berkata, “Ular raksasa. Di dasar danau ini ada seekor ular raksasa yang suka memakan anak-anak.”
“Apa cerita itu sungguhan?” bocah itu mengaitkan umpan di kail dan melemparnya ke dalam air.
“Tentu saja cerita itu sungguhan.” Sinyo mencoba menarik senar kailnya, dan umpannya masih utuh menempel di sana dengan keadaan menyedihkan. Seperti dirinya.
“Aku tak pernah percaya pada cerita seperti itu?” ujar bocah itu seperti menantang.
“Apa kau mau jadi santapan ular raksasa?”
Bocah itu menggeleng dengan pasti.
“Kalau begitu cepatlah pulang, nonton film kartun atau meneteklah ke ibumu sana,” ucap Sinyo tanpa bisa menyembunyikan kejengkelannya.
“Aku tak akan pulang sebelum emberku penuh ikan,” balas bocah itu santai, seolah Sinyo hanya seonggok batu sarannya yang tak perlu didengar.
Bersamaan dengan itu, kail bocah itu kembali ditarik-tarik oleh makhuk dari bawah air.
“Sepertinya hari ini hari keberuntunganku,” pekik bocah itu sambil mengangkat kailnya. Seekor gabus yang ukurannya hampir sama dengan gabus yang pertama segera berpindah ke ember bocah itu. Melihatnya, kejengkelan Sinyo pada bocah itu bertambah langsung beberapa lapis. Anak ini pasti sudah sangat menjengkelkan, bahkan sebelum ia dilahirkan, runtuk Sinyo.
“Sudah kubilang, hari ini hari keberuntunganku,” ulang bocah itu lagi, seolah ingin Sinyo mendengarnya dengan baik.
“Dan hari kesialanku,” gumam Sinyo.
Sinyo bisa merasakan, kesialan—atau apapun itu namanya, yang menimpanya hari itu akan berjalan seiring dengan tingkat kejengkelannya pada bocah itu. Akhir pekan yang buruk, pikir Sinyo. Sementara Sinyo mendengus sebal. Mengutuk apa saja. Kail bocah itu terus-menerus mengalirkan berbagai jenis ikan ke dalam ember. Menit-menit berlalu seperti timah panas yang mengetuk-ngetuk kepala Sinyo. Kepala botak yang basah. Dan mungkin, sebentar lagi beruap.
“Hai, Pak, kalau boleh tahu, apa umpanmu? Aku tak melihat seekor ikanpun tertarik pada kailmu? Apa kau mau mencoba umpanku?” bocah itu mencoba ramah.
“Tutup mulutmu, bocah sialan. Urus saja hidupmu sendiri!” bentak Sinyo yang langsung membuat bocah itu menutup mulut rapat-rapat. Barangkali bocah itu sedang berpikir, apakah kata-katanya ada yang salah.
Menit-menit berikutnya berlalu dengan hening. Dalam keheningan itu, Sinyo memerhatikan senar kailnya bergerak-gerak. Dengan gerakan cepat ia menarik senar kailnya. Senyumnya mencuat ketika dirasainya kail itu sedikit berat. Namun senyum itu segera lenyap, ketika Sinyo menyadari bahwa seekor ikan yang memakan umpannya hanya seekor ikan kecil, yang bahkan sulit diidentifiksi jenisnya—sangking kecilnya.
Bocah itu tertawa samar melihat ikan kecil yang menempel di kail sinyo seperti seonggok sampah kecil yang tak berguna. Sinyo mengehentakkan kaki tambunnya. Ia yakin, bocah curut itu sedang menertawainya. Kurangajar sekali. Bagaimanapun Sinyo tetap melemparkan ikan kecil itu ke dalam embernya yang melompong. Sambil menggerutukan umpatan-umpatan yang tak jelas.
Dunia telah berbuat curang padaku, pikiran itu memenuhi batok kepala Sinyo. Bagaimana mungkin bocah kecil itu diberi ikan hampir seember penuh, sedangkan dirinya yang yang hampir tua dan butuh banyak makanan hanya diberi seekor ikan teri yang lebih mirip seranting duri.
Sambil terus menggerutu dalam hati, Sinyo merasa bocah itu terus menatapnya sambil tertawa-tawa kecil. Menertawakan dirinya.
“Apa yang kau tertawakan?” hardik Sinyo lagi.
Bocah itu menggeleng. Tapi, dalam pandangan Sinyo, sudut bibir bocah itu mengambarkan sisa-sisa tawa yang melecehkan. Kejengkelan itu sudah bertumpuk-tumpuk dan rasanya sudah sampai di ubun-ubun Sinyo. Sinyo melirik ke sekeliling. Sepi meliputi. Dan sebuah bisikan tiba-tiba mampir ke telinga Sinyo. Bisikan yang liar dan berulang-ulang: dorong saja bocah itu ke danau, dorong saja. Seandainya ia bisa berenang, tebing ini tetap lumayan curam untuk anak-anak. Dorong saja bocah itu. Takkan ada yang tahu. Tempat ini terpencil. Dorong saja. Atau senyum itu akan terus mengejekmu. Dorong saja.
Sinyo melirik bocah itu, sisa-sisa senyum melecehkan itu masih utuh di sana. Mendadak Sinyo bangkit dari duduknya, kepalanya terasa sedikit berat dan berkunang- kunang. Tapi kejengkelan yang serupa batu di dadanya itu kian menyesak.
“Hei bocah, aku akan mencoba umpanmu,” ujarn Sinyo.
Bocah itu menatap Sinyo dengan senyum kemenangan, akhirnya kau datang juga, Pak Tua.
Ketika tubuh Sinyo yang tambun itu hampir mendekatinya, bocah itu bangkit. Dengan kekuatan penuh seorang bocah, ia menyeruduk tubuh Sinyo yang berjalan goyah di garis tanggul tepian danau. Tubuh tambun yang rapuh itu pun meluncur ke tebing dan berakhir di kedalaman air dengan suara ribut. Tangan Sinyo yang besar menggapai-gapai permukaan air. Dengan sisa-sisa tenaganya, Sinyo bisa melihat bocah itu menyunggingkan senyum dingin ke arahnya. Sangat dingin. Seperti dingin danau yang segera memeluk tubuh tambunnya.***
Surabaya, 2015

0 komentar: