Tak lama setelah Sinyo duduk, mengaitkan umpan di
kail, dan melemparkannya ke dalam air, bocah lelaki bertopi gatsby itu datang.
Ia tersenyum pada Sinyo. Tapi Sinyo tak membalasnya. Ia tak pernah menyukai
anak kecil. Bahkan seandainya itu dirinya sendiri sewaktu kecil. Sinyo melirik
bocah itu, seolah mendoakan supaya bocah itu terporok ke ceruk danau dan tamat.
Tapi bocah itu malah duduk tepat di sebelahnya, sekitar dua meter dari tempat
Sinyo duduk. Bocah itu melakukan persis yang dilakukan Sinyo: mengait umpan di
kail, lalu melemparkan kail ke dalam air.
Tiba-tiba Sinyo merasa, bocah itu sengaja meniru
gerak-geriknya. Sinyo mendengus, dasar makhluk peniru.
“Sudah dapat berapa ikan, Pak Tua?” teriak bocah itu
tiba-tiba, membuat Sinyo terkejut.
Kurang ajar, batinnya. Pasti orang tua bocah itu tak
pernah memberinya pelajaran sopan santun di rumah. Dapat ilham dari mana sampai-sampai
bocah itu memanggilnya Pak Tua. Rambut Sinyo memang mulai botak dan beruban, dan
kerutan halus barangkali juga sudah mulai menggurit garis-garis di sudut mata.
Tapi ia merasa masih terlalu muda untuk dipanggil Pak Tua.
Sinyo tidak menjawab dan balas memelototi bocah tak
tahu sopan santun itu. Merasa dirinya dipelototi, bocah itu segera menunduk,
pura-pura menekuni senar kail yang bergeming oleh petikan angin.
Suasana hening, dan Sinyo menyukainya. Angin
berhembus dengan santun. Daun-daun mahoni di tepian danau seperti bersorak
lirih. Suara tonggeret di kejauhan mengingatkan Sinyo pada kampung halamannya
yang hilang disedot lumpur agung yang muncrat dari lambung bumi. Sinyo
memejamkan mata, aroma lumut yang dibawa angin dari tengah danau memenuhi
rongganya. Akan tetapi Sinyo lekas terhenyak ketika bocah di sebelahnya itu
mendadak melakukan gerakan ribut. Tampaknya, seekor ikan menarik umpan bocah
itu. Dengan tangan mungilnya, bocah itu menarik senar kail, hingga dari dalam
air seekor ikan gabus menggelepar. Membuat percikan-percikan kecil dengan suara
sayup di permukaan air.
“Yeaah!” Teriak bocah itu seakan ingin memamerkan
ikan tangkapannya pada Sinyo. Sinyo melirik bocah itu dengan tingkat kesebalan
bertambah satu lapis.
Melihat lirikan Sinyo yang menyeramkan, bocah itu
segera mengendalikan diri. Ia memasukkan ikan gabus itu ke dalam ember kecil
yang ia siapkan. Jelas sekali. Raut wajah bocah itu menampakkan kebahagiaan
yang luar biasa. Barangkali puncak kebahagiaan. Dan lagi-lagi, Sinyo membenci
itu.
“Bocah sial ini benar-benar merusak suasana,” kata
Sinyo, dalam hati, “seseorang harus mengusirnya.”
“Hei bocah,” pekik Sinyo, “berapa usiamu?” tanyanya
kemudian.
Mendengar suara Sinyo yang berat, bocah itu
celingukan, seolah meyakinkan dirinya bahwa memang Sinyo—lelaki tambun,
setengah botak, dan hampir tua itu, yang sedang mengajaknya bicara.
“Oh, saya sepuluh tahun kurang dua bulan, Pak Tua,”
jawab bocah itu.
Mendengar kata ‘Pak Tua’, Sinyo kembali melotot.
“Mmm, saya sepuluh tahun kurang dua bulan, Pak,”
ralat bocah itu, seakan paham bahwa lelaki hampir tua itu tidak menyukai
dirinya disebut Pak Tua.
“Dengan siapa kau datang kemari? Mana orang tuamu?”
“Saya sendirian saja, Pak.”
“Apa kau tak takut?”
Bocah itu memicingkan mata, seperti mencurigai
Sinyo.
“Sebaiknya kau lekas pulang,” kata Sinyo tanpa ragu-ragu.
“Mengapa saya harus pulang?” kini bocah itu
mengernyit.
“Tempat ini tak bagus buat anak-anak. Apa kau belum
pernah dengar, di dasar danau ini ada seekor ular raksasa yang suka sekali
memakan anak-anak?”
Bocah itu tak menggubris, karena senar kailnya
kembali pontang-panting dipermainkan ikan. Dengan wajah berseri dan mulut
setengah terbuka, bocah itu menarik senar kailnya, yang kemudian melayangkan
seekor wader sebesar telapak tangan orang dewasa.
Demi melihat adegan itu, kepala Sinyo terasa
mendidih sampai jidatnya yang botak ikut
berkeringat. Dalam waktu beberapa menit saja kail bocah ini sudah mendaratkan
dua ikan di embernya. Sementara kail Sinyo hanya diliputi sunyi sepi yang sepertinya
takkan beranjak.
“Dua ikan, Pak, dua ikan,” ujar bocah itu riang,
“bagaimana denganmu?”
Mendengar ujaran bocah itu, Sinyo seperti mendengar
ledekan yang telak. Sinyo mencengkeram tongkat pancingnya kuat-kuat dan
berusaha tak menghiraukan ocehan bocah itu.
“Oh, kau tadi cerita apa?” Tanya bocah itu kemudian.
Sinyo menghela napas sebentar, lalu berkata, “Ular
raksasa. Di dasar danau ini ada seekor ular raksasa yang suka memakan anak-anak.”
“Apa cerita itu sungguhan?” bocah itu mengaitkan
umpan di kail dan melemparnya ke dalam air.
“Tentu saja cerita itu sungguhan.” Sinyo mencoba
menarik senar kailnya, dan umpannya masih utuh menempel di sana dengan keadaan
menyedihkan. Seperti dirinya.
“Aku tak pernah percaya pada cerita seperti itu?”
ujar bocah itu seperti menantang.
“Apa kau mau jadi santapan ular raksasa?”
Bocah itu menggeleng dengan pasti.
“Kalau begitu cepatlah pulang, nonton film kartun
atau meneteklah ke ibumu sana,” ucap Sinyo tanpa bisa menyembunyikan
kejengkelannya.
“Aku tak akan pulang sebelum emberku penuh ikan,”
balas bocah itu santai, seolah Sinyo hanya seonggok batu sarannya yang tak
perlu didengar.
Bersamaan dengan itu, kail bocah itu kembali ditarik-tarik
oleh makhuk dari bawah air.
“Sepertinya hari ini hari keberuntunganku,” pekik
bocah itu sambil mengangkat kailnya. Seekor gabus yang ukurannya hampir sama
dengan gabus yang pertama segera berpindah ke ember bocah itu. Melihatnya, kejengkelan
Sinyo pada bocah itu bertambah langsung beberapa lapis. Anak ini pasti sudah
sangat menjengkelkan, bahkan sebelum ia dilahirkan, runtuk Sinyo.
“Sudah kubilang, hari ini hari keberuntunganku,”
ulang bocah itu lagi, seolah ingin Sinyo mendengarnya dengan baik.
“Dan hari kesialanku,” gumam Sinyo.
Sinyo bisa merasakan, kesialan—atau apapun itu
namanya, yang menimpanya hari itu akan berjalan seiring dengan tingkat kejengkelannya
pada bocah itu. Akhir pekan yang buruk, pikir Sinyo. Sementara Sinyo mendengus
sebal. Mengutuk apa saja. Kail bocah itu terus-menerus mengalirkan berbagai
jenis ikan ke dalam ember. Menit-menit berlalu seperti timah panas yang
mengetuk-ngetuk kepala Sinyo. Kepala botak yang basah. Dan mungkin, sebentar
lagi beruap.
“Hai, Pak, kalau boleh tahu, apa umpanmu? Aku tak
melihat seekor ikanpun tertarik pada kailmu? Apa kau mau mencoba umpanku?”
bocah itu mencoba ramah.
“Tutup mulutmu, bocah sialan. Urus saja hidupmu
sendiri!” bentak Sinyo yang langsung membuat bocah itu menutup mulut rapat-rapat.
Barangkali bocah itu sedang berpikir, apakah kata-katanya ada yang salah.
Menit-menit berikutnya berlalu
dengan hening. Dalam keheningan itu, Sinyo memerhatikan senar kailnya bergerak-gerak.
Dengan gerakan cepat ia menarik senar kailnya. Senyumnya mencuat ketika
dirasainya kail itu sedikit berat. Namun senyum itu segera lenyap, ketika Sinyo
menyadari bahwa seekor ikan yang memakan umpannya hanya seekor ikan kecil, yang
bahkan sulit diidentifiksi jenisnya—sangking kecilnya.
Bocah itu tertawa samar melihat
ikan kecil yang menempel di kail sinyo seperti seonggok sampah kecil yang tak
berguna. Sinyo mengehentakkan kaki tambunnya. Ia yakin, bocah curut itu sedang
menertawainya. Kurangajar sekali. Bagaimanapun Sinyo tetap melemparkan ikan
kecil itu ke dalam embernya yang melompong. Sambil menggerutukan umpatan-umpatan
yang tak jelas.
Dunia telah berbuat curang padaku,
pikiran itu memenuhi batok kepala Sinyo. Bagaimana mungkin bocah kecil itu
diberi ikan hampir seember penuh, sedangkan dirinya yang yang hampir tua dan
butuh banyak makanan hanya diberi seekor ikan teri yang lebih mirip seranting
duri.
Sambil terus menggerutu dalam hati,
Sinyo merasa bocah itu terus menatapnya sambil tertawa-tawa kecil. Menertawakan
dirinya.
“Apa yang kau tertawakan?” hardik
Sinyo lagi.
Bocah itu menggeleng. Tapi, dalam
pandangan Sinyo, sudut bibir bocah itu mengambarkan sisa-sisa tawa yang
melecehkan. Kejengkelan itu sudah bertumpuk-tumpuk dan rasanya sudah sampai di
ubun-ubun Sinyo. Sinyo melirik ke sekeliling. Sepi meliputi. Dan sebuah bisikan
tiba-tiba mampir ke telinga Sinyo. Bisikan yang liar dan berulang-ulang: dorong saja bocah itu ke danau, dorong saja.
Seandainya ia bisa berenang, tebing ini tetap lumayan curam untuk anak-anak.
Dorong saja bocah itu. Takkan ada yang
tahu. Tempat ini terpencil. Dorong saja. Atau senyum itu akan terus mengejekmu.
Dorong saja.
Sinyo melirik bocah itu, sisa-sisa
senyum melecehkan itu masih utuh di sana. Mendadak Sinyo bangkit dari duduknya,
kepalanya terasa sedikit berat dan berkunang- kunang. Tapi kejengkelan yang
serupa batu di dadanya itu kian menyesak.
“Hei bocah, aku akan mencoba
umpanmu,” ujarn Sinyo.
Bocah itu menatap Sinyo dengan
senyum kemenangan, akhirnya kau datang
juga, Pak Tua.
Ketika tubuh Sinyo yang tambun itu
hampir mendekatinya, bocah itu bangkit. Dengan kekuatan penuh seorang bocah, ia
menyeruduk tubuh Sinyo yang berjalan goyah di garis tanggul tepian danau. Tubuh
tambun yang rapuh itu pun meluncur ke tebing dan berakhir di kedalaman air
dengan suara ribut. Tangan Sinyo yang besar menggapai-gapai permukaan air.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Sinyo bisa melihat bocah itu menyunggingkan senyum
dingin ke arahnya. Sangat dingin. Seperti dingin danau yang segera memeluk
tubuh tambunnya.***
Surabaya, 2015
0 komentar:
Posting Komentar