JALAN selebar tiga setengah meter itu memiliki nama:
Jalan Rawa. Penduduk setempat menyebutnya Gang Rawa. Jalan itu memiliki sebuah
ujung berupa tembok tinggi yang memisahkan sebuah perumahan elit dan kampung
Gang Rawa itu sendiri. Gang rawa memiliki lima anak gang, masing-masing memiliki nama: Rawa Ular, Rawa Katak, Rawa
Kadal, Rawa Bajul, dan Rawa Bunglon. Nah, seorang kawan yang saya kunjungi tinggal
di anak gang paling ujung, Gang Rawa Bunglon atau Jalan Rawa Bunglon. Di sana ia
menyewa sebuah kamar yang menyempil di loteng rumah induk.
“Di sini memang agak sepi
dan berantakan, tapi sewanya murah, itu yang penting,” ujar kawan saya bangga, seolah-olah
beroleh sewa kamar dengan harga murah akan segera
menjadikannya seorang jutawan.
Sebuah kamar di atas
loteng itu berhadapan langsung dengan teras sempit yang tak beratap, yang
tampaknya digunakan untuk menjemur pakaian, pakaian si Bapak Kost, juga pakaian
kawan saya, si penyewa kamar. Di sana ada empat kawat jemuran yang silang
menyilang seperti rambatan pohon markisa. Sarung, celana, dan baju kumal tersampir
seperti gembel yang digantung. Sebuah celana dalam kering dan buruk tergeletak tak
berdaya di lantai yang juga buruk. Saya beranggapan bahwa pemandangan di
sekitar kamar dan jemuran itu akan membuat seseorang cepat mati.
Kamar di loteng itu cukup
sempit, hanya cukup untuk meletakkan dipan kecil serta sebuah lemari dan rak
buku. Di belakang pintu, pakaian menggelantung dan menjadi sarang nyamuk. Di depan
kamar, di samping pintu, sebuah tempat sampah terguling oleh tingkah kucing
kelaparan, tulang ikan dan tulang ayam berceceran di antara kertas minyak lecek
bekas bungkus nasi. Secinta apa pun seseorang pada kebersihan, ia akan
mengalami dilema besar kalau tinggal di kamar sempit dan rumit seperti kamar
yang disewa kawan saya itu. Bagaimanapun, murah memang lebih dekat dengan
murahan.
Menurut cerita dari kawan
saya, Bapak Kostnya adalah seorang duda, ia bercerai dengan istrinya dan
anaknya yang cuma semata wayang ikut dengan istrinya. Bapak Kostnya itu tak
punya pekerjaan yang jelas. Tapi, setiap pagi, ia pergi ke warung padang atau
sesekali ke warung lalapan atau lain kali ke warung gudeg yang berbaris di
ujung Gang Rawa, dekat jalan raya. Setiap pagi Bapak Kostnya itu membungkus
nasi tiga porsi sekaligus untuk jatah makan sehari-semalam. Ia jarang keluar rumah dan ia tak pernah memasak
karena di rumahnya yang kecil itu memang tak ada kompor.
Kawan saya tahu bahwa Bapak
Kostnya tak punya kompor karena untuk naik ke kamarnya di atas loteng itu,
kawan saya harus melewati dapur rumah itu dan menaiki tangga curam yang ada di
sana. Di dapur itu tak ada apapun kecuali meja tua yang teronggok, yang di
atasnya berselengkatan wadah-wadah bumbu yang berdebu serta dua
buah ember untuk mencuci baju. Di sebelah meja itu ada sebuah
kamar mandi yang pintunya selalu terbuka seperti mulut yang memble. Sebuah
panci dan sebuah wajan tergantung di dinding dan tak pernah berubah posisi,
sepanjang hari, selama kawan saya menyewa kamar di loteng rumah itu.
“Kecuali kalau Bapak
Kostku yang ajaib itu meletakkan kompornya di ruang tamu atau di dalam kamar
tidur,” celetuk kawan saya sambil terkikik.
“Jangan berkata
sembarangan, nanti Bapak Kostmu dengar,” saya mengingatkan. Dan ia malah menyahut,
bahwa Bapak Kostnya sedikit tuli, hampir setiap petang kawan saya memutar musik
dangdut koplo keras-keras, dan Bapak Kostnya tak pernah
menegur.
“Bapak Kostku memang tak
pernah naik ke loteng kecuali saat menjemur pakaian dan mengangkat jemurannya,
itu pun seminggu sekali,” imbuhnya pula.
Dan kawan saya pun terus
mengoceh, bahwa sebenarnya ia menelponku supaya datang ke kamar lotengnya bukan
untuk membicarakan lelaki tuli yang tak punya kompor di rumahnya, melainkan menunjukkan
sebuah cincin batu akik berwarna hijau tua. Konon, cincin itu adalah benda
berharga peninggalan kakeknya. Dalam batu berwarna hijau itu itu konon ada
jimat yang bisa mendatangkan rejeki dan keberuntungan. Dari cara kawan saya
memaparkan dan tersenyum pada saya, saya tahu ke mana pembicaraan itu dibawanya.
“Nah, ceritanya saya
sedang butuh duit, butuh sekali, mendesak, makanya saya mau minta tolong sama
kamu, pinjami saya duit, tak banyak, lima juta saja, cincin itu yang jadi
jaminannya,” ujarnya malu-malu. Dan tebakan saya tidak meleset, setengah persen pun.
Saya tak tahu harus menjawab apa, saldo dalam
rekening saya mungkin tak sampai lima juta. Dua koran yang memuat tulisan saya
sebulan terakhir ini, belum mentransfer honor yang menjadi hak saya. Karena
saya bukan tipe-tipe orang yang tegaan,
akhirnya saya bilang, “Wah bagaimana, ya. Kalau lima juta saya tidak ada.”
Kawan saya memicingkan matanya sebagai ungkapan tak
percaya, atau mungkin untuk mengelabuhi rasa malunya, “Kamu kan penyair,
kudengar puisimu sering terbit di Koran Minggu, pasti honormu cukup lumayan.
Belum lagi buku barumu yang rilis bulan lalu itu.”
Ya Tuhan, saya hanya tersenyum, kalau kawan saya ini
tahu seperti apa kondisi keuangan para penyair, khususnya penyair pinggiran
macam saya, tentu ia akan patah hati.
“Saya minta maaf, saya benar-benar tidak ada kalau
lima juta,” saya meyakinkannya sambil memandangi cincin batu akik berwarna
hijau tua yang terus-terusan ia timang seperti butiran dirham. Sejenak
terpikirkan oleh saya untuk bertanya padanya, kalau cincin itu memang bisa
mendatangkan rejeki dan keberuntungan kenapa ia harus repot-repot cari pinjaman
uang pada seorang penyair yang tak tentu
arah macam saya.
Saya benar-benar hampir melontarkan pertanyaan itu
ketika tiba-tiba kawan saya menyambar, “Tidak lima juta tidak apa-apalah… Empat
juta atau tiga juta juga boleh.”
Pernyataannya membuat saya kembali berpikir, bahwa
saya juga butuh uang untuk makan sehari-hari, beli pulsa, bensin, dan membayar
uang kontrakan, apakah saya benar-benar rela meminjami kawan saya ini uang?
Tapi sungguh, kawan saya ini sangat pandai memasang
tampang memelas hingga siapapun yang memandangnya akan langsung menyayanginya. Kawan
saya ini, saya mengenalnya hampir setahun lalu di sebuah perkumpulan Seniman
Pinggir. Wajahnya sepolos kain kafan. Ia memang tak pandai membuat puisi atau
menulis cerpen, tapi ia ahli bermain teater. Ia pernah bilang pada saya, bahwa
ia bisa memerankan banyak peran secakap bunglon mengubah warna kulitnya. Kami
cepat akrab karena tampaknya kawan saya ini pandai mengakrabi siapa pun. Ia
juga mengaku menggemari puisi-puisi saya, ia kerap membaca puisi-puisi saya di
Koran Minggu, katanya puisi-puisi saya hidup dan memiliki nyawa.
Selain kondisinya yang tampak menyedihkan, mengingat
ia juga penggemar saya, akhirnya dengan napas naik turun, saya pun berkata,
“Bagaimana kalau dua juta.”
Kawan saya pura-pura kecewa, padahal matanya sudah
tersenyum lebar, dengan nada murung yang penuh kepalsuan ia menyerahkan cincin batu
akik berwarna hijau tua itu sambil berujar, “Ya sudahlah, dua juta tidak apa-apa.”
“Saya transfer saja, ya?” kata saya sedikit berat,
entah kenapa.
Kawan saya mengangguk lantas mendiktekan nomor
rekeningnya.
“Dua bulan lagi saya kembalikan, tolong jaga cincin
itu baik-baik, itu satu-satunya barang berharga peninggalan kakek saya.”
Saya mengiyakan semua omong kosongnya dan membawa
cincin itu pulang. Satu bulan kemudian, ketika saya iseng-iseng mengunjungi kamar sewaanya, Bapak Kostnya bilang bahwa
kamar itu telah disewa orang lain.
“Bocah sinting itu kabur dan berhutang uang sewa satu
setengah bulan pada saya,” ujar Bapak Kostnya dengan geram. Saya segera sadar
bahwa uang dua juta yang pernah saya transfer ke rekeningnya juga turut kabur
bersamanya dan tak bakal tahu jalan pulang..
“Kurang ajar, dasar Bunglon,” tiba-tiba saya memaki,
makian yang saya tujukan pada bunglon yang pandai bermain teater itu, “dia juga
pinjam uang saya dua juta…” lanjut saya. Saya bukan tipe-tipe orang yang suka memaki
dan membuka aib orang lain, termasuk menceritakan hutang orang-orang kepada
saya, tapi uang dua juta yang melayang begitu saja karena kebodohan diri
sendiri bisa membuat penyair manapun kalap.
“Bocah itu juga kabur setelah mengambil cincin batu
akik hijau tua milik saya,” imbuh Bapak Kostnya. Saya sedekit memicing
mendengar lelaki paruh baya itu menyebut-nyebut cincin batu akik hijau tua.
“Biar pun tampak seperti batu akik tua biasa, tapi
cincin itu cincin emas, dua puluh gram, itu harta simpanan saya,” tambahnya
pula, “saya yakin bocah itu yang mengambilnya. Hari itu ia masuk ke kamar saya
untuk meminjam setrika, dan malam harinya, ketika saya naik ke kamar loteng
untuk mengambil setrikaan, kamar itu sudah kosong. Esok paginya saya baru sadar
kalau cincin itu sudah lenyap dari tempatnya.”
Saya tak menimpali gerutuannya, tapi saya memasukkan
kedua tangan ke dalam saku celana. Tangan saya mengepal erat-erat. Dalam salah
satu saku celana saya, sebuah cincin batu akik berwarna hijau tua seperti
berlompatan, ingin keluar dari tempatnya.
Surabaya,
2015
0 komentar:
Posting Komentar