Semenjak kakek dan nenek meninggal,
rumah itu menjadi semakin sunyi. Dan kesunyian itu, seakan memiliki wujud
seperti asap yang terus menyebar, mencari jalan keluar. Asap itu seolah menguap
dari dinding-dinging, atap-atap, lantai, kursi-kursi, ranjang, lemari, serta
sebuah sumur tua yang selalu menganga dan tak pernah kenyang melahap daun-daun
kering serta bangkai-bangkai serangga ke dalamnya.
Halaman belakang rumah
kakek berhadapan langsung dengan area pemakaman kampung, hanya berbatas sebuah
pagar berupa pohon jarak setinggi pinggul orang dewasa. Ketika melihat pohon-pohon
jarak yang berderet itu, aku seperti melihat sebuah pembatas antara riuh dan sepi,
antara petang dan pagi, antara hidup dan mati. Kakek dan nenek juga dimakamkan
di pemakaman itu. Bahkan nisan-nisan dari kuburan mereka terlihat jelas dari
halaman belakang rumah. Seperti dua buah tangan yang menyembul dari dalam tanah
dan melambai-lambai.
Tahun-tahun menggeliat,
dan bayangan tentang halaman belakang
rumah itu tak pernah berubah. Sebuah sumur dengan timba menggantung di ambang
liang. Sebuah ruang mandi yang sangat sederhana, yang tak memilki atap dan pintu,
kecuali sebuah kelambu—yang dibikin dari kain sarung yang sudah tidak dipakai dan
disampirkan alakadarnya di palangan kayu. Di teritisnya, dua buah kursi anyam
yang amburadul telah terjaga selama puluhan tahun. Sampai-sampai kaki kursi itu
tenggelam ke dalam tanah dan lapuk dimakan rayap.
Sebelum kakek dan nenek
meninggal, mereka betah sekali duduk berlama-lama di kursi itu sambil
memandangi puluhan batu nisan yang mencuat di pemakaman belakang rumah. Kakek
pernah bilang, memandang batu nisan di pemakaman bisa membuat seseorang menjadi
tenang dan berpikir lebih jernih.
Kakek juga pernah berkisah,
dulu sekali, neneklah yang bersikeras ingin membangun rumah di pinggiran makam
itu.
“Apa kau tidak takut
tinggal bersebelahan dengan kuburan?” kakek pernah bertanya serupa itu pada
nenek, dan apa jawab nenek?
“Apa yang perlu
ditakutkan dari kuburan, dari nisan-nisan, dari benda mati? Toh kita juga akan
mati.”
Selanjutnya, nenek
menyebut rumah itu sebagai rumah pulang. Dan rumah itu memang selalu
mengingatkan mereka untuk pulang. Hampir tak pernah kakek atau nenek menginap
berlama-lama di rumah yang bukan rumahnya. Tak ada rumah yang setenang rumah itu.
Kata kakek, nenek memang lebih menyukai kesunyian daripada keramaian. Sebab itulah
nenek lebih memilih membangun rumah di tanah kosong, di sebelah kuburan yang
lengang, ketimbang membangun rumah di sisian jalan, di keramaian, atau di mana
pun.
Dari ayah, aku tak pernah
mendapat banyak cerita tentang rumah itu, kata ayah—yang merupakan bocah semata
wayang kakek dan nenek, yang sedari kecil hidup di rumah itu, rumah itu sama
sekali tak ada bedanya dengan rumah-rumah lain. Hanya saja, ketika malam tiba,
terasa sangat sunyi. Seperti ada liang dalam rumah itu yang menelan riuh-piuh
dunia luar. Namun, dari kakek, aku mendapat banyak cerita menarik tentang rumah
di sebelah makam itu. Konon, kata kakek, setiap kali ada orang meninggal, malam
harinya, aroma wangi yang ganjil selalu tercium sampai ke dalam rumah, merambah
sampai ke dapur, kamar, dan ruang depan.
“Itu hanya aroma bunga selepas
pemakaman, aroma bunga dari orang-orang yang nyekar,” ujar kakek. Tapi ujar nenek
tidak demikian.
“Bukan, itu bukan aroma
bunga, itu adalah aroma dari sebuah pesan. Pesan yang sangat dalam. Dan mungkin
hanya kita saja yang bisa menghirupnya.”
“Apa karena rumah kita
paling dekat dengan makam?”
“Mungkin.”
Dan setiap kali membaui
aroma itu, kakek dan nenek selalu merapatkan genggaman tangan. Menjelang tidur,
mereka berbaring dan menerawang ke
langit-langit yang pekat. Tangan mereka tak lepas bergenggaman. Sesekali mereka
terisak tanpa sebab, dan kerap kali mereka saling menggumam. Kakek menyebutnya
gumaman menjelang tidur. Gumaman yang melulu sama.
“Kelak, salah satu dari
kita akan pergi terlebih dahulu dan berpisah ranjang. Salah satu dari kita akan
terbaring di ranjang ini, sementara yang lain akan terbaring di belakang sana,
di sebuah ranjang yang dingin di bawah gundukan tanah dan tiang nisan.”
Sewaktu nenek hamil,
kakek pernah merasa cemas dengan calon bayinya, dengan aroma ganjil yang selalu
tercium setiap kali ada orang dikuburkan, hingga kakek mengusulkan untuk pindah
rumah. Namun nenek tak pernah sudi pindah rumah, ia terlanjur jatuh cinta pada
rumah itu, beserta kesunyian yang meliputinya. Nenek berkaul, setiap orang
dilahirkan dari kesunyian dan akan kembali pada kesunyian, bemula dari rahim
ibu yang sunyi dan kembali pada rahim tanah yang juga sunyi.
Kakek mengaku, butuh
waktu sedikit lama untuk bisa mencecap manisnya kesunyian di rumah pulang itu—kesunyian
yang telah lama diagung-agungkan nenek—sampai ia menjadi seorang bapak dan
kemudian sedikit beruban dan menjadi seorang kakek, “Semakin seseorang berbau
tanah, kesunyian akan semakin berarti. Seperti bayi yang begitu karib dengan
aroma keringat ibunya.”
Kakek mengibaratkan hari-harinya
bersama nenek di rumah itu seperti mimpi indah dalam sebuah tidur pendek, mimpi
yang cepat sekali pergi dan membuat seseorang menjadi pikun. Ketika ayah lahir,
aroma ganjil selepas pemakaman pun masih kerap tercium, hanya saja sedikit
pudar, mungkin karena mereka sudah terlalu biasa. Dan gumaman menjelang tidur
mereka pun menjadi sedikit berbeda, “Kelak, salah satu dari kita bertiga akan
berpulang terlebih dahulu...”
Nyatanya, dari mereka
bertiga, nenek adalah orang pertama yang meninggalkan rumah pulang untuk pulang
ke rumah pulang yang paling pulang. Disusul kemudian kakek, beberapa tahun
setelahnya. Dan rumah itu pun sempurna menjadi milik sepi. Ayah sendiri merasa
enggan tinggal di rumah yang berhimpitan dengan makam itu. Lagi pula, waktu
itu, ayah sudah mendapatkan pekerjaan tetap di kota tempatnya melanjutkan
sekolah. Hingga akhirnya ia menikah dan membangun rumah sendiri di kota itu,
jauh dari kesunyian rumah pulang, rumah masa kecilnya
Aku tak ingat kapan
pertama kali ayah mengajakku ke rumah itu, yang kuingat dari rumah itu hanyalah
hawa sunyi serta dua buah kursi anyam yang terdiam di belakang rumah dan menantang
makam. Aku sendiri menganggap rumah kakek jauh lebih nyaman ketimbang rumah
ayah di kota. Selepas kakek dan nenek meninggal, lama sekali kami tidak
mengunjungi rumah itu. Hingga ayah—yang usianya kian uzur dan sering sakit-sakitan,
mendadak berinisiatif mengajak kami berziarah ke makam kakek dan nenek, katanya
sekalian menjenguk rumah itu.
“Saat tubuhku terasa begini rapuh, tiba-tiba
aku sangat merindukan rumah itu, aku ingin duduk di kursi anyam di belakang
rumah sambil memandang lepas ke gunduk makam dan nisan-nisan. Memang, tak ada
rumah yang lebih baik dari rumah yang selalu mengingatkanmu akan pulang,” ujar
ayah sambil menuang lamunannya.
Entah mengapa, aku
merinding mendengar kata-kata ayah yang terakhir.***
Malang, 2014
1 komentar:
Aku merinding baca ini, Kang.
Posting Komentar