Kupu Kupu Ibu, SINAR HARAPAN, Sabtu – Minggu, 25 – 26 April 2015




 


Kau selalu bertanya-tanya, seperti apakah warna dunia di malam hari? Yang kau tahu, dari lubang pintu dan jendela buram berkelambu, malam hanyalah warna hitam dengan ratusan mata yang berkedip-kedip. Kau tak pernah tahu dengan pasti, seperti apa malam di luar sana, karena setiap malam menjelang, ibu selalu menutup pintu rapat-rapat. Ibu menyiapkan makan malam alakadarnya dan kemudian membacakanmu buku cerita bergambar atau mengajarimu permainan warna dengan krayon di buku mewarna. Jelang tengah malam, ibu berdandan cantik di depan cermin dan kemudian berpamitan padamu.
“Di luar, udara telah mewangi bunga, dan  seperti biasa, ibu akan segera menjadi kupu-kupu, kau baik-baik di rumah dan jangan bikin ibu cemas,” tutur ibu.
Kau tak pernah tahu kalau kupu-kupu juga muncul di malam hari—karena kau memang tak pernah ke mana-mana di malam hari. Kata ibu, beberapa kupu-kupu bersayap gelap memang hanya muncul pada malam-malam hari. Kau bertanya, apakah ibu juga punya sayap seperti kupu-kupu yang ada dalam buku cerita. Tentu saja, jawab ibu. Setiap kupu-kupu pasti punya sayap. Kau bertanya lagi, apakah aku dapat melihat sayap itu, dan ibu menjawab lagi, sayap itu terlampau gelap, seperti malam yang gelap, sehingga seseorang takkan mudah melihatnya.
“Sudah, lekaslah tidur, dan ibu akan segera terbang, cangkang kotak ini akan menjagamu tetap hangat,” bisik ibu, ibu memang selalu mengatakan bahwa rumah kotak yang kalian huni itu adalah cangkang kepompong yang hangat.
Setelah membenarkan letak selimutmu, ibu mengecup keningmu dan beranjak menutup pintu, dan ketika kau berjingkat menyusulnya—untuk mengintipnya dari lubang pintu atau dari jendela buram berkelambu, ibu telah menghilang. Mungkin ibu telah terbang dari balkon rumah kotak di lantai tujuh itu.
Kau tak pernah bisa langsung memejamkan mata ketika ibu sudah menutup pintu dan menghilang di balik pintu. Kau kerap memandangi bohlam di atap kamarmu dan membayangkan ibu memanjat, naik ke pagar balkon. Ibu membentangkan kedua tangannya dengan wajah menengadah ke udara, lantas dari dua punggungnya mekar sepasang sayap berwarna gelap. Ibu mengepakkan sayap-sayap itu dan kemudian terjun dari pagar balkon sebelum melambung di udara yang kata ibu telah mewangi bunga.
Ketika malam tiba, keriuhan rumah kotak itu akan segera redam. Setiap orang telah masuk ke rumah cangkang mereka masing-masing. Kau tak pernah tahu apa yang dilakukan orang-orang di malam hari. Mungkin orang-orang besar akan pergi meninggalkan rumah dan anak mereka untuk menjadi kupu-kupu seperti ibu, atau mungkin jadi capung atau nyamuk atau serangga yang lain. Namun, mungkin juga tidak, karena dari tembok sebelah kau selalu mendengar suara-suara orang bercakap-cakap atau kalau tidak suara sayup seperti suara seseorang yang berbicara dari dalam lemari.
Di siang hari, suara-suara seperti itu juga kerap terdengar, kata ibu, itu suara tetangga sebelah yang sedang bercakap-cakap, atau kalau tidak suara tivi. Seandainya di rumah cangkangmu itu ada tivi, mungkin kau tak akan kesepian saat ibu pergi menjadi kupu-kupu di malam hari. Tapi, kata ibu, tivi bukanlah sesuatu yang bagus, ibu lebih memilih membelikanmu buku bergambar atau buku mewarnai daripada tivi. Tivi itu beracun, kata ibu. Dan kau pun hanya akan membolak-balik buku cerita bergambar itu bilamana matamu belum mengantuk. Sambari sesekali membayangkan apa yang mungkin dilakukan ibu ketika ia menjadi kupu-kupu di malam hari. Apakah ia akan hinggap di bunga-bunga atau hanya beterbangan sepanjang malam?
Barangkali menjadi kupu-kupu di malam hari akan sangat menyenangkan, pikirmu. Sampai-sampai kau selalu bermimpi menjadi kupu-kupu kecil yang keluar di malam hari, terbang bersama ibu di ketinggian udara yang mewangi bunga. Namun itu hanya mimpi. Kenyataanya, kau tak pernah bisa keluar di malam hari. Ibu selalu mengunci pintu dari luar di malam hari. Dan kau akan meringkuk di dalam cangkang yang terkunci itu dengan perasaan gelisah yang datang sesekali.
“Kau tak perlu kemana-mana di malam hari, kau hanya harus memejamkan mata dan tidur, ibu janji, ibu akan berada di dekatmu ketika kau bangun pagi nanti. Lagi pula, ketika malam tiba, di luar sana banyak sekali serangga-serangga yang kurang ramah, dan itu tak baik buat anak-anak.”  
Ibu memang tak pernah ingkar janji, ia selalu ada di dekatmu ketika kau bangun pagi, tapi tetap saja, kau ingin tahu apa yang terjadi di luar sana, di malam hari. Apakah udara benar-benar mewangi bunga? Atau malah beraroma selokan busuk dan begitu panas, seperti di siang hari? Acapkali kau berharap, supaya ibu lupa mengunci pintu sesekali, supaya kau bisa keluar dari cangkang di malam hari. Dan lihatlah, harapanmu itu terwujud, setelah ribuan malam kau lewati hanya dengan menguntit ibu sampai lubang pintu dan jendela buram berkelambu.
Malam itu tangan mungilmu gemetar mencabut kunci yang masih menancap di lubangnya, kunci dengan gantungan kupu-kupu bersayap jelita. Dengan ragu-ragu kau menyingkap daun pintu. Malam, aku datang. Kau melangkah menepi ke bibir balkon di lantai tujuh itu. Seperti mimpi, kau menghirup udara malam dengan bebas. Dari situ kau tahu bahwa ibu telah berbohong, sama sekali tak ada udara mewangi bunga. Hanya semilir angin yang seperti terseok-seok dengan aroma selokan busuk yang sayup-sayup. Sama seperti aroma siang hari. Rumah-rumah kotak di sekelilingmu, di lantai tujuh itu, sudah sepi, tak tampak seorangpun. Kau terdiam di bibir balkon. Kagum. Malam memang indah sekali, tapi, angin semilir yang beraroma selokan busuk itu semakin pekat.
Dari balkon di lantai tujuh itu, kau dapat melihat jutaan cahaya kecil yang berkedip-kedip di kejauahan. Juga di sepanjang jalan yang mengular. Apa itu lampu? Atau mata-mata tajam serangga malam? Di jalan-jalan itu banyak sekali serangga-serangga merangkak dengan sangat cepat, seperti ratusan kumbang, berlalu lalang, dengan dua mata yang mencorong menembus gelap. Kau bertanya-tanya, ke mana mobil-mobil? Apakah di malam hari, mobil-mobil itu juga berubah jadi serangga, seperti ibu yang berubah jadi kupu-kupu.
Malam yang mengagumkan, “Aku akan segera terbang, dan menjadi kupu-kupu seperti ibu,” bisikmu riang.
Kau mulai memanjat pagar balkon itu, berdiri dengan dua kaki yang goyah. Kau mulai membentangkan kedua tangan, menengadahkan wajahmu ke langit. Rasanya ada yang mulai menggeliat di antara dua punggungmu. Mungkin itu dua sayap kecil yang mulai mekar dan mengepak. Di depan sana, di kejauhan, jutaan mata serangga tak berhenti berkerlip-kerlip. Seperti menatapmu. Terbanglah. Datanglah. Mari berpesta bersama kami...***
Malang, 2014

0 komentar: