Kau selalu bertanya-tanya,
seperti apakah warna dunia di malam hari? Yang kau tahu, dari lubang pintu dan
jendela buram berkelambu, malam hanyalah warna hitam dengan ratusan mata yang
berkedip-kedip. Kau tak pernah tahu dengan pasti, seperti apa malam di luar
sana, karena setiap malam menjelang, ibu selalu menutup pintu rapat-rapat. Ibu
menyiapkan makan malam alakadarnya dan kemudian membacakanmu buku cerita bergambar
atau mengajarimu permainan warna dengan krayon di buku mewarna. Jelang tengah
malam, ibu berdandan cantik di depan cermin dan kemudian berpamitan padamu.
“Di luar, udara telah
mewangi bunga, dan seperti biasa, ibu
akan segera menjadi kupu-kupu, kau baik-baik di rumah dan jangan bikin ibu
cemas,” tutur ibu.
Kau tak pernah tahu kalau
kupu-kupu juga muncul di malam hari—karena kau memang tak pernah ke mana-mana
di malam hari. Kata ibu, beberapa kupu-kupu bersayap gelap memang hanya muncul
pada malam-malam hari. Kau bertanya, apakah ibu juga punya sayap seperti kupu-kupu
yang ada dalam buku cerita. Tentu saja, jawab ibu. Setiap kupu-kupu pasti punya
sayap. Kau bertanya lagi, apakah aku dapat melihat sayap itu, dan ibu menjawab
lagi, sayap itu terlampau gelap, seperti malam yang gelap, sehingga seseorang
takkan mudah melihatnya.
“Sudah, lekaslah tidur,
dan ibu akan segera terbang, cangkang kotak ini akan menjagamu tetap hangat,” bisik
ibu, ibu memang selalu mengatakan bahwa rumah kotak yang kalian huni itu adalah
cangkang kepompong yang hangat.
Setelah membenarkan letak
selimutmu, ibu mengecup keningmu dan beranjak menutup pintu, dan ketika kau berjingkat
menyusulnya—untuk mengintipnya dari lubang pintu atau dari jendela buram
berkelambu, ibu telah menghilang. Mungkin ibu telah terbang dari balkon rumah kotak
di lantai tujuh itu.
Kau tak pernah bisa
langsung memejamkan mata ketika ibu sudah menutup pintu dan menghilang di balik
pintu. Kau kerap memandangi bohlam di atap kamarmu dan membayangkan ibu memanjat,
naik ke pagar balkon. Ibu membentangkan kedua tangannya dengan wajah menengadah
ke udara, lantas dari dua punggungnya mekar sepasang sayap berwarna gelap. Ibu
mengepakkan sayap-sayap itu dan kemudian terjun dari pagar balkon sebelum
melambung di udara yang kata ibu telah mewangi bunga.
Ketika malam tiba,
keriuhan rumah kotak itu akan segera redam. Setiap orang telah masuk ke rumah cangkang
mereka masing-masing. Kau tak pernah tahu apa yang dilakukan orang-orang di
malam hari. Mungkin orang-orang besar akan pergi meninggalkan rumah dan anak
mereka untuk menjadi kupu-kupu seperti ibu, atau mungkin jadi capung atau
nyamuk atau serangga yang lain. Namun, mungkin juga tidak, karena dari tembok
sebelah kau selalu mendengar suara-suara orang bercakap-cakap atau kalau tidak
suara sayup seperti suara seseorang yang berbicara dari dalam lemari.
Di siang hari, suara-suara
seperti itu juga kerap terdengar, kata ibu, itu suara tetangga sebelah yang
sedang bercakap-cakap, atau kalau tidak suara tivi. Seandainya di rumah
cangkangmu itu ada tivi, mungkin kau tak akan kesepian saat ibu pergi menjadi
kupu-kupu di malam hari. Tapi, kata ibu, tivi bukanlah sesuatu yang bagus, ibu
lebih memilih membelikanmu buku bergambar atau buku mewarnai daripada tivi.
Tivi itu beracun, kata ibu. Dan kau pun hanya akan membolak-balik buku cerita
bergambar itu bilamana matamu belum mengantuk. Sambari sesekali membayangkan
apa yang mungkin dilakukan ibu ketika ia menjadi kupu-kupu di malam hari.
Apakah ia akan hinggap di bunga-bunga atau hanya beterbangan sepanjang malam?
Barangkali menjadi kupu-kupu
di malam hari akan sangat menyenangkan, pikirmu. Sampai-sampai kau selalu
bermimpi menjadi kupu-kupu kecil yang keluar di malam hari, terbang bersama ibu
di ketinggian udara yang mewangi bunga. Namun itu hanya mimpi. Kenyataanya, kau
tak pernah bisa keluar di malam hari. Ibu selalu mengunci pintu dari luar di
malam hari. Dan kau akan meringkuk di dalam cangkang yang terkunci itu dengan
perasaan gelisah yang datang sesekali.
“Kau tak perlu kemana-mana
di malam hari, kau hanya harus memejamkan mata dan tidur, ibu janji, ibu akan
berada di dekatmu ketika kau bangun pagi nanti. Lagi pula, ketika malam tiba,
di luar sana banyak sekali serangga-serangga yang kurang ramah, dan itu tak
baik buat anak-anak.”
Ibu memang tak pernah
ingkar janji, ia selalu ada di dekatmu ketika kau bangun pagi, tapi tetap saja,
kau ingin tahu apa yang terjadi di luar sana, di malam hari. Apakah udara benar-benar
mewangi bunga? Atau malah beraroma selokan busuk dan begitu panas, seperti di
siang hari? Acapkali kau berharap, supaya ibu lupa mengunci pintu sesekali, supaya
kau bisa keluar dari cangkang di malam hari. Dan lihatlah, harapanmu itu
terwujud, setelah ribuan malam kau lewati hanya dengan menguntit ibu sampai
lubang pintu dan jendela buram berkelambu.
Malam itu tangan mungilmu
gemetar mencabut kunci yang masih menancap di lubangnya, kunci dengan gantungan
kupu-kupu bersayap jelita. Dengan ragu-ragu kau menyingkap daun pintu. Malam,
aku datang. Kau melangkah menepi ke bibir balkon di lantai tujuh itu. Seperti
mimpi, kau menghirup udara malam dengan bebas. Dari situ kau tahu bahwa ibu
telah berbohong, sama sekali tak ada udara mewangi bunga. Hanya semilir angin
yang seperti terseok-seok dengan aroma selokan busuk yang sayup-sayup. Sama
seperti aroma siang hari. Rumah-rumah kotak di sekelilingmu, di lantai tujuh
itu, sudah sepi, tak tampak seorangpun. Kau terdiam di bibir balkon. Kagum. Malam
memang indah sekali, tapi, angin semilir yang beraroma selokan busuk itu
semakin pekat.
Dari balkon di lantai
tujuh itu, kau dapat melihat jutaan cahaya kecil yang berkedip-kedip di
kejauahan. Juga di sepanjang jalan yang mengular. Apa itu lampu? Atau mata-mata
tajam serangga malam? Di jalan-jalan itu banyak sekali serangga-serangga merangkak
dengan sangat cepat, seperti ratusan kumbang, berlalu lalang, dengan dua mata
yang mencorong menembus gelap. Kau bertanya-tanya, ke mana mobil-mobil? Apakah
di malam hari, mobil-mobil itu juga berubah jadi serangga, seperti ibu yang
berubah jadi kupu-kupu.
Malam yang mengagumkan, “Aku
akan segera terbang, dan menjadi kupu-kupu seperti ibu,” bisikmu riang.
Kau mulai memanjat pagar
balkon itu, berdiri dengan dua kaki yang goyah. Kau mulai membentangkan kedua
tangan, menengadahkan wajahmu ke langit. Rasanya ada yang mulai menggeliat di
antara dua punggungmu. Mungkin itu dua sayap kecil yang mulai mekar dan
mengepak. Di depan sana, di kejauhan, jutaan mata serangga tak berhenti berkerlip-kerlip.
Seperti menatapmu. Terbanglah. Datanglah.
Mari berpesta bersama kami...***
Malang, 2014
0 komentar:
Posting Komentar