Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yang
baru dicabut dari tanah basah. Mirip aroma rempah yang segar.
Ibu telah menjelaskan puluhan kali. Bahkan mungkin
ratusan kali. Dengan napas aroma akar rumput basah yang sama. Bahwa aku
terlahir sempurna. Tubuh dan indraku utuh, tidak ada yang cuwil atau rompal.
Tidak ada yang panjang sebelah ataupun kecil sebelah. Semua sempurna. Bahkan
sepasang mata ini. Sepasang mata ini. Orang bilang aku buta. Tapi ibu bilang,
aku hanya melihat dengan cara berbeda. Melihat dengan cara berbeda. Itu saja.
Anak-anak lain suka bertanya, apakah yang aku lihat
hanya gelap? Gelap itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya. Kata mereka,
gelap itu seperti ketika kau memejamkan mata. Ketika kau memejamkan mata, maka kau
takkan dapat melihat. Seperti itulah aku. Seperti itulah orang buta. Mungkin aku
tak paham seperti yang mereka paham. Seperti apa warna gelap. Seperti apa warna
hitam. Ketika aku memejamkan mata, sama rasanya dengan ketika ibu mematikan
lampu saat aku disuruh berangkat tidur. Setelah terdengar bunyi klik—tanda lampu
dimatikan, semua hanya menjadi sedikit berbeda. Seperti itulah gelap. Gelap
hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap.
Barangkali gelap mereka memang berbeda dengan gelapku.
Namun, seperti mereka, aku pun masih bisa merasakan kehadiran cahaya. Aku masih
bisa merasakan sesuatu yang disebut ‘silau’ oleh mereka. Suatu pagi, ibu pernah
membawaku ke taman, dan menyuruhku mendongak. Sesuatu yang hangat, yang bukan
tangan ibu, mulai meraba wajahku. Sesuatu yang megah dan seperti hendak memelukku.
Aku nyaris terperenyak.
“Itu matahari, Sayang. Cahayanya hangat dan agung,
raja di siang hari,” ucap ibu. Aku tahu, ibu juga mendongak. Aroma akar rumput
basah itu menyebar ke langit. Beberapa titik
jatuh ke wajahku.
Pada malam yang dialiri angin yang lembut seperti
satin, ibu juga membawaku ke halaman rumah. Ia juga menyuruhku mendongak. Tak
ada usapan hangat. Tapi aku merasakan sesuatu yang lembut mengaliri wajahku.
Megah sekaligus ramah.
“Itu rembulan, Sayang. Cahayanya anggun dan redup,
ratu di malam hari,” telisik ibu. Angin satin itu membawa aroma akar rumput basah
milik ibu ke mana-mana.
Sejak ibu mengenalkanku pada matahari dan rembulan—aku
lupa kapan, tapi itu sudah lama sekali, aku telah bisa membedakan gelap dan
terang dengan sangat gamblang. Gelap adalah ketika kau sendiri. Dan terang
adalah ketika sesuatu yang megah membersamaimu. Dan hal itu: cahaya, membuatku
lebih mudah mengayunkan langkah.
Aku berjalan dengan meraba cahaya, menyelisik suara,
dan membaui aroma. Dan bagiku, itu tak ada kesulitan sama sekali. Tak ada
kesulitan sama sekali. Aku tetap bisa melihat, hanya dengan cara berbeda,
seperti kata ibu. Aku melihat ibu dengan meraba wajahnya dan menyelisik
suaranya. Hingga dapat kubayangkan wajah ibu dalam benakku. Begitu terang.
Begitu jelas. Suara ibu renyah. Renyah itu seperti ketika kau makan kerupuk
yang baru diambil dari dalam toples. Renyah itu tegas tapi lembut. Mirip suara
‘krap’. Seperti itulah suara ibu.
Ibu adalah satu-satunya kawan dekatku yang paling
dekat. Setelah ibu, baru ada Lukas dan Elias yang sudi berkawan denganku. Yang
lain juga berkawan, tapi tidak terlalu dekat. Dekat artinya, mereka sering
meluangkan waktu bersamaku dan suka mengajakku bercakap-cakap. Ibu, Lukas, dan Elias,
suka melakukan itu. Sebab itu, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa Lukas
dan Elias akan tetap jadi kawanku sampai kapanpun. Tapi Lukas dan Elias punya
kebiasaan buruk, mereka suka datang mengendap-endap. Padahal ibu tak pernah
memarahi mereka. Tapi mereka tetap saja suka datang mengendap-endap.
Ketika ibu tengah sibuk dengan pekerjaan di dalam
rumah. Biasanya Lukas dan Elias muncul dan mengajakku bermain di halaman rumah.
Di sana ada dua ayunan. Aku duduk di ayunan yang satu, sedangkan Lukas dan
Elias duduk di ayunan yang lain. Mereka bilang di halaman rumahku banyak bunga.
Ibuku memang suka sekali dengan bunga. Ada mawar. Melati yang merambat ke tiang
teras. Ada juga kamboja dan bougenvil dalam pot. Lukas dan Elias menjelaskan
bahwa bunga-bunga itu bermacam-macam warna. Ada banyak warnanya.
“Mawar itu merah, melati itu putih, kamboja merah
muda, bougenvil putih dan merah muda, tapi merah mudanya berbeda dengan merah
muda kamboja,” ujar Lukas.
“Kalau daunnya, hampir semua berwarna hijau,” Elias
turut menjelaskan.
Aku hanya berterima kasih dan lalu tersenyum,
melebarkan sudut bibir ke kiri dan ke kanan. Kata ibu, begitulah cara orang
tersenyum. Aku bisa membayangkan dengan mudah seperti apa bentuk mawar, melati,
kamboja, dan bougenvil, meski aku tak begitu paham dengan warna-warna mereka.
Ibu, Lukas, dan Elias mengamati warna dengan mata kasat
mereka. Sedangkan aku mengamati warna dengan caraku sendiri. Merah seperti
aroma garam dan karat. Seperti aroma darah. Kata ibu darah berwarna merah. Meski
aku tahu, mawar punya aroma yang khas—orang-orang menyebtnya harum, tapi bagiku
warna mawar seperti garam dan karat. Dan mawar berduri, jariku pernah tertusuk
duri bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yang beraroma seperti garam dan
karat. Garam dan karat.
Adapun warna melati seperti rasa pahit dan sepat.
Warna kamboja seperti serbuk minuman yang dituang ke dalam gelas. Warna
bougenvil seperti sobekan kertas. Dan warna daun-daun seperti puding cincau yang
mendidih dalam panci. Sekali lagi, aku berbicara tentang warna, bukan aroma.
Bagiku warna adalah bentuk. Merah adalah bentuk. Putih adalah bentuk. Merah
muda dan hijau juga sebuah bentuk. Barangkali itulah yang disebut ibu sebagai
‘melihat dengan cara berbeda’. Melihat dengan cara berbeda.
Suatu malam, di usiaku yang ke sepuluh, kami duduk
mengitari meja makan. Aku dan ibu duduk bersebelahan. Ayah duduk di seberang.
Aku tidak terlalu dekat dengan ayah. Tapi aku bisa membayangkan wajah ayah dari
suaranya yang keras seperti dahan patah, juga aroma napasnya yang dingin
seperti udara yang menyambar ketika kulkas dibuka. Aku pernah meraba wajah
ayah, hampir sama dengan wajah ibu dan wajahku. Hanya saja wajah ayah kasar di
beberapa bagian. Menurut ibu, itu sisa kumis dan jenggot yang dipangkas. Itu
adalah salah satu tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dan
perempuan berbeda.
Ayah bekerja sebagai pejabat negara. Kata ibu, ayah
orang penting. Ayah dekat dengan presiden. Dan sebab itu, ayah jarang sekali
tinggal di rumah. Ayah sering pergi ke ibu kota. Dan bahkan keluar negeri. Aku
dan ibu sudah terbiasa ditinggalkan ayah. Sebenarnya, di rumah kami ada dua
orang pelayan, yang satu namanya No, ia bekerja merawat taman. Dan yang satu namanya
Tik, ia bagian mengurusi pekerjaan rumah. Tapi menjelang petang mereka selalu pulang. Dan aku tak
begitu suka dengan mereka. Mereka jarang berkata-kata, dan seringkali, aroma
mereka yang satu seperti tanah becek dan yang satu seperti kain terbakar. Tapi
bagaimanapun, mereka sudah berbaik hati sudi membantu ibu sampai petang. Jadi
aku tetap menghormati mereka.
Kami masih mengitari meja makan, ketika ayah
menyampaikan, bahwa sebentar lagi, aku akan bisa melihat. Melihat dengan cara
yang sama, persis seperti ayah dan ibu melihat. Seperti Lukas dan Elias
melihat. Kata ayah, itu hadiah ulang tahunku yang ke sepuluh. Hadiah yang
takkan pernah kulupakan. Ayah berbicara soal donor mata. Yang kutahu, donor itu
semacam pemberian. Berarti pemberian mata. Dan ibu menyinggung soal operasi.
Yang kutahu, operasi itu pekerjaan yang berhubungan dengan pisau, dokter bedah,
dan kesembuhan seseorang.
Sepertinya pembicaraan ayah dan ibu akan berlangsung
lama. Sebab itu, setelah makan malam, ibu mengantarku cuci muka, cuci kaki,
sikat gigi, dan lalu tidur. Klik. Lampu dimatikan. Klek. Pintu ditutup dari
luar. Seketika, dalam benakku muncul bentuk-bentuk yang beterbangan. Warna-warna,
aroma-aroma, dan cahaya yang berlompatan. Ketika itu, tiba-tiba Lukas dan Elias
datang. Seperti biasa, mereka datang diam-diam. Barangkali mereka memanjat jendela.
Kata Lukas, mereka sempat menguping soal hadiah ulang tahun itu. Soal aku akan
bisa melihat dengan cara yang sama. Melihat dengan cara yang sama.
“Akan lebih baik kalau kau tidak menerima hadiah
itu,” desis Lukas.
“Betul,” sahut Elias, “hampir semua penglihatan
manusia adalah anak panah iblis yang dilesatkan. Dan itu akan menikam dirimu
sendiri. Sudah banyak buktinya.”
“Lagi pula, sebagian besar manusia memiliki wajah
dan sosok yang menyeramkan dan kadang menjijikkan untuk dilihat. Kau pasti akan
ketakutan.”
“Dan seringkali mereka mendesis seperti ular derik.
Berisik dan mencelakai orang.”
“Akan banyak sekali hal di dunia ini yang tak ingin
kau lihat nantinya. Percayalah, kau takkan suka melihat dengan cara yang sama.”
Aku hanya menyimak ucapan mereka. Dengan rasa ngeri
yang mulai melata.
“Tapi semua terserah padamu,” singkat Lukas.
“Ya, keputusan tetap ada di tanganmu,” Elias
menambahkan.
Malam itu, Lukas dan Elias pamit setelah kukatakan
bahwa aku harus segera tidur. Sejujurnya, aku mulai bosan dan menganggap mereka
hanya menakut-nakutiku. Setelah aku bisa melihat seperti yang lain, tentu akan
semakin banyak anak yang mau berkawan denganku. Pasti Lukas dan Elias cemas
akan hal itu. Padahal aku sudah bersumpah, sampai kapanpun, mereka akan tetap
jadi kawan dekatku. Sampai kapanpun.
Setelah malam itu, Lukas dan Elias masih datang
sesekali untuk mengingatkan soal pengelihatan manusia yang kata mereka mengerikan
itu. Sampai ayah dan ibu benar-benar membawaku ke rumah sakit untuk hadiah
istimewa itu. Ketika aku sampai di rumah sakit, cahaya berlesatan di hadapanku.
Aroma-aroma membaur menjadi satu. Warna-warna beradu. Juga suara Lukas dan
Elias yang terus mengiang sayup di telingaku. Hingga aku seperti tertidur.
Tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama, ketika aku terbangun, sebagian kepalaku
sudah dibaluti kain panjang dan pipih. Setelah beberapa hari, ketika kain itu
dibuka, perlahan, mataku segera mengerjap. Cahaya mendekap tubuhku. Seperti
kain raksasa yang meringkusku. Dan semua menjadi begitu berbeda. Ibu bertanya,
apakah aku bisa melihat? Apakah aku merasa silau? Aku hanya tersenyum lebar. Ibu
menciumku. Wajah ibu persis seperti yang kubayangkan selama ini. Persis. Namun
aroma akar rumput basah itu lenyap entah kemana.
Dan aku merasa sangat girang bisa melihat begitu
banyak binatang berkeliaran. Berbaur dengan manusia. Aku tahu itu binatang
karena mereka memiliki moncong. Semacam bibir yang menjorok ke depan. Ibu
pernah bercerita, bahwa salah satu berpedaan fisik antara manusia dan binatang
adalah pada moncongnya. Bahkan bebek dan ikan lele sekalipun memiliki moncong. Sungguh,
aku merasa takjub dengan dunia baruku.
Aku tidak sabar untuk mengucapkan terima kasih pada
ayah yang telah menghadiahiku sebuah pengelihatan. Sebuah dunia baru. Aku dan
ibu telah menunggu ayah di depan pintu setelah beberapa hari ayah pergi ke luar
kota seperti biasanya. Ketika ayah keluar dari mobil, aku baru tahu bahwa ayah
juga memiliki moncong. Ayah juga memiliki moncong. Tiba-tiba aku teringat kata
Lukas dan Elias. Namun entah mengapa, semenjak aku memiliki pengelihatan yang
sama, Lukas dan Elias tak pernah muncul lagi. Mereka menghilang.
Ketika aku bertanya pada ibu perihal Lukas dan
Elias, ibu menjawab enteng. Kata ibu, Lukas dan Elias hanya sepasang anjing
kembar milik tetangga sebelah. Anjing kembar yang suka keluyuran ke halaman
rumah kami. ***
Madiun,
Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar