Sebelum
kau menembakkan matamu ke arah langit yang hampir matang di sebelah barat,
sekawanan burung telah terlebih dahulu terbang melintas dan menghilang di
kejauhan. Langit begitu tenang, hingga kita mengira bahwa pada saat-saat
tertentu langit pun dapat mengheningkan cipta untuk kesedihan yang mengendap di
bumi. Dan warna jingga—senja itu, mungkin mengingatkan kita pada langit-langit
di atas perkampungan kita beberapa malam lalu.
Kita semua
tahu, senja begini, burung-burung pun pulang ke sarang mereka. Jika di waktu
yang sama manusia tak bisa pulang ke rumah mereka, apakah berarti burung-burung
yang tak pernah kita lihat senyumnya itu lebih bahagia? Sepertinya, iya, burung-burung
itu tak pernah merasa punya beban meski bisa saja tiba-tiba sebuah senapan
telah terbidik dan sebuah peluru siap bersarang di kepalanya.
Ketika
baru saja kita membayangkan kebahagiaan burung-burung, lekas-lekas kau berkata,
“Aku ingin terbang ke langit seperti mereka.”
Sementara
langit semakin merah, dan kita mulai bertanya-tanya, apakah sekarang sudah
masuk waktu maghrib? Jika melihat ke arah matahari yang terbenam, mungkin
sebentar lagi akan maghrib. Dan mulai beberapa hari lalu, kita telah menandai
waktu sembahyang hanya lewat tinggi matahari, karena, beberapa malam silam,
masjid-masjid beserta mushola di kampung kita telah hangus oleh api orang-orang
suci. Rumah-rumah dan fasilitas umum juga ditanami api yang menari-nari.
Beberapa orang, jika mereka tak berhasil melarikan diri, mungkin juga akan hangus
seperti dikremasi.
“Burung-burung
terbang hanya dengan kawanan mereka, seperti juga ikan-ikan yang berenang hanya
dengan jenis mereka sendiri. Apakah manusia juga begitu?” kau seperti bertanya
pada langit. Dan suatu saat—yang tak akan kita ketahui, mungkin langit akan
menjawab dengan caranya sendiri.
“Manusia
tentu tidak sama dengan binatang, mereka punya akal dan punya hati,” kata-kata
itu terdengar seperti ceramah agama, dan aku tahu, beberapa malam lalu—ketika
orang-orang suci itu menanam api di perkampungan kita, ceramah itu tidak
berlaku.
“Tapi beberapa
malam lalu, kita melihat, orang-orang suci itu seperti kawanan harimau yang
menyerang kawanan rusa, dan seolah-olah mereka melakukannya karena telah
mendapat restu paling kudus.”
Matamu
masih tertembak ke arah langit yang telah matang di sebelah barat. Kerudungmu
yang hitam berkibar-kibar, seakan-akan kau akan berbela sungkawa untuk
selamanya, seumur hidupmu.
“Kehilangan
tempat tinggal dan keluarga mungkin adalah sesuatu yang sulit, tapi
seharusnya kita masih bersyukur karena kita tidak kehilangan moral kita sebagai manusia. Katakan, manusia macam apakah yang tega menyeret nenek-nenek lumpuh keluar dari rumah mereka sendiri, atau melempar anak-anak kecil dari pangkuan ibunya. Benarkan Tuhan merestui mereka, seperti sembohyan yang mereka dengung-dengungkan, bahwa darah kita telah menjadi halal lantaran kita berdoa dengan cara yang mereka anggap salah.”
seharusnya kita masih bersyukur karena kita tidak kehilangan moral kita sebagai manusia. Katakan, manusia macam apakah yang tega menyeret nenek-nenek lumpuh keluar dari rumah mereka sendiri, atau melempar anak-anak kecil dari pangkuan ibunya. Benarkan Tuhan merestui mereka, seperti sembohyan yang mereka dengung-dengungkan, bahwa darah kita telah menjadi halal lantaran kita berdoa dengan cara yang mereka anggap salah.”
Suaramu
masih saja berlompatan seperti rancauan bayi tak tak pernah tahu cara terbaik
untuk tidak menyukai sesuatu. Kita kehilangan tempat tinggal. Dan kau
kehilangan keluargamu. Setelah beberapa malam lalu, kampung kita tinggalah
puing-puing yang mengepulkan asap. Beberapa dari kita terpisah dengan sanak
saudara. Kita begitu panik dan tak sempat memikirkan apapun selain nyawa kita
yang sudah seperti daging cincang yang tercerai berai dan siap ditusuk dan
dibakar matang seperti sate. Barangkali keluargamu terdampar di pengungsian
entah, seperti kita yang juga terdampar di pengungsian entah. Dan kita
mendengar, bahwa para aparat dan orang-orang yang peduli itu telah berjanji
akan mengembalikan kita kepada keluarga kita masing-masing.
“Mengapa
mobil jemputannya belum datang?” langit sudah mulai gelap, hingga pandanganmu
ke ketinggian terhalang oleh warna hitam.
Mungkin
saja mobil-mobil yang akan menjemput kita dan membawa kita ke tempat
pengungsian yang baru juga telah dibakar di tengah jalan. Bukankah mereka juga
telah memblokir mobil sukarelawan yang membawa bahan makanan untuk kita?
“Sepertinya sudah maghrib, sebaiknya kita
sembahyang, dan mungkin mobil itu akan datang usai kita sembahnyang.”
Langit
sudah sempurna gelap. Kau tak perlu memandangnya berlama-lama. Karena, tanpa
memandangnya pun kegelapan akan kita temui di mana-mana. Lepas sudah. Di tempat
pengungsian ini, kita sembahyang tanpa sajadah. Orang-orang sembahyang tanpa
sajadah. Dan malam yang dingin pun segera turun setelah isya’ menggeliatkan
tubuh-tubuh yang kepayahan.
“Mobil
jemputan itu tak akan datang, dan kita semua akan membeku di ruangan tanpa
dinding ini,” mukena putih yang kau kenakan kau lipat kembali. Seperti melipat
kedamaian yang hanya sejenak dan mengembalikannya pada kerudung hitam yang
abadi.
Kukatakan
padamu, bahwa ruangan tanpa dinding ini bisa saja menjadi lebih buruk, jika
kita tak bisa mengendalikan pikiran-pikiran buruk yang terus membayang setelah
kejadian mengerikan beberapa malam lalu itu. Dan kau pun terdiam, memilih
merebahkan tubuh di atas lantai-lantai yang tiba-tiba menjelma menjadi balok es
paling dingin.
Malam
belum lagi sampai puncaknya. Dan kemah pengungsian ini telah menjadi sepi. Akan
senantiasa sepi. Selepas sembahyang isya’, orang-orang lebih memilih berdzikir
dalam tidur mereka yang berhimpit-himpit seperti mayat yang dijajarkan karena
kematian masal. Mereka, kita, memang sudah serupa mayat yang tak terurus,
bergelimpangan dan tenggelam dalam pikiran kita masing-masing.
Dan
ketika malam berjalan dengan sangat lambat, seperti gelapnya, seperti juga dinginnya,
aku melihatmu bangkit di antara puluhan mayat yang lelap itu. Kau pergi menuju
pancuran air dan sembahyang tengah malam dengan tubuh gemetar, dengan pundak
berguncang. Mungkin karena dingin. Selepas itu lampu penerangan yang redup di
barak pengungsian tiba-tiba mati. Di langit yang serba kelam itu aku seperti
melihat tubuhmu melayang-layang, gamis dan kerudung hitammu berkibar-kibar, mengecil
di ketinggian, serupa kawanan burung yang terlambat pulang ke sarangnya.***
Malang, 2013
0 komentar:
Posting Komentar