Lubang kunci di pintu
kamarku seperti sebuah kamera yang merekam segalanya. Semenjak ayah mengunciku
di dalam kamar, mataku selalu menempel di lubang kunci itu. Menelisik ruang
makan dibalik pintu.
Dari lubang kunci itu, aku
bisa mengintai sebuah meja makan berbentuk persegi panjang dengan hiasan taplak
renda-renda yang begitu memesona. Meja makan yang selalu tampak menggigil. Meja
makan itu memiliki empat kursi di masing-masing sisinya. Dan di salah satu
kursi itulah, ibu seringkali terduduk dengan tangan gemetaran, memandangi aneka
menu yang haram disentuh, namun telah terhidang di tengah meja.
Acap kali aku dan ibu menonton
bagaimana sup-sup dengan aroma rempah itu mengepulkan asap yang melambai-lambai
menggelitik perut. Nasi dalam mangkuk besar pun mendadak berkeringat dan
kemudian menjadi dingin. Aneka puding dengan saus yang sangat legit sudah mulai
didatangi semut-semut. Daging panggang yang kecoklatan pun mulai kehilangan
aromanya. Dan kami hanya diam, menonton bagaimana makanan-makanan itu kelelahan
merayu kami untuk menyantapnya.
“Mengapa kita tidak
segera memulai makan malamnya?” aku benar-benar tak tahan menyaksikan aneka
hidangan lezat itu mendingin sia-sia.
“Kita harus menunggu
ayahmu dulu,” jawab ibu.
“Tapi aku sudah tidak
sabar, Bu, aku sudah sangat lapar.”
“Tunggulah sebentar lagi,
ayahmu sedang dalam perjalanan pulang.”
“Mengapa kita harus selalu
menunggu ayah setiap kali mau makan malam?”
“Bukankan ibu pernah
bilang, ayahmu adalah kepala keluarga, jadi ia yang harus membuka makan malam
kita, tanpa ayahmu makan malam ini bukanlah makan malam keluarga. Ibu harap kau
paham.”
“Tapi aku sudah lapar
sekali, Bu.”
“Ibu juga berharap kau
diam!” suara ibu sedikit meninggi.
Aku bungkam, menyimak
bunyi keroncongan dari dalam perutku sendiri. Di sisi-sisi meja, piring,
sendok, dan garpu menjadi hening. Ibu menatapku dengan tatapan meminta maaf.
“Bagaimana kalau kau
bermain boneka dulu sambil menunggu ayahmu datang?” ujar ibu kemudian.
Rasa lapar membuat
tubuhku sedikit lemas, hingga aku tak kuasa membalas kata-kata ibu. Aku memilih tertunduk, menyandarkan kening di
bibir meja. Sedikit lama. Seperti tertidur. Kami sama-sama diam dan suara detak
jarum jam tiba-tiba merajalela. Setelah bosan menundukkan kepala ke bibir meja
dan pura-pura tidur, aku kembali menatap sup jamur yang tak lagi mengepulkan
asap. Juga mangkuk nasi yang telah berkeringat. Ayah belum juga datang.
“Mengapa ayah lama
sekali,” aku tak tahan untuk tidak merengek lagi.
“Sebentar lagi ayahmu
pasti datang.”
“Mengapa ayah tidak
bekerja di siang hari saja supaya kita bisa segera memulai makan malam.”
“Pekerjaan ayahmu memang
harus dilakukan di malam hari, jadi ia harus bekerja di malam hari.”
“Aku benar-benar sudah
lapar, perutku sudah berkeriuk-keriuk.”
Ibu terdiam sejenak,
menetapku dengan tatapan iba, “Apa kau benar-benar sudah sangat lapar?”
Aku mengangguk ringan.
Dan anggukan itu membuat ibu beranjak dari kursinya, meraih piringku dan
mengisinya dengan beberapa sendok nasi. Ibu menuangkap sup jamur dan mengiris
beberapa potong daging panggang.
“Apa kau mau bawang goreng?”
Aku menggeleng.
“Makanlah dulu, maaf ibu
sudah membentakmu tadi,” ibu menuangkan air putih ke dalam gelas, dan aku mulai
menyantap sepiring nasi itu dengan lahap. Ibu tersenyum menatapku, namun
matanya tidak, dan tangannya masih saja gemetaran.
“Mengapa ibu tidak ikut
makan?”
“Ibu akan menunggu
ayahmu.”
“Apa ibu belum lapar?”
“Ibu belum lapar.”
Nasi di dalam piringku
tinggal beberapa suapan lagi ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu
depan. Ketukan yang bertubi-tubi.
“Mungkin itu ayahmu,” ibu
berlari menyongsong ketukan di pintu depan.
Ayah berjalan begitu
dingin menuju ruang makan sambil melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke ibu.
Di depan meja makan ayah terdiam menetapku. Tubuhnya seperti bongkahan batu
yang tiba-tiba jatuh dari atap ruang makan. Sedang matanya seperti sepasang
senter yang membuat mataku sakit. Secepat yang bisa kulihat, ayah menggebrak
meja kuat-kuat, membuat sup jamur dalam mangkuk berguncang dan sebagian kuahnya
ruah ke atas meja. Aku ketakutan dan berhenti mengunyah.
“Apa yang sudah kukatakan
padamu tentang makan malam keluarga?”
“Tak ada yang boleh
menyetuh hidangan makan malam sebelum kau datang,” jawab ibu dingin.
“Lantas mengapa kau tidak
membiarkan dia menungguku?”
“Dia sudah kelaparan
menunggumu, dan kau tak pulang-pulang, aku tak tega,” ibu lirih membela.
“Sejak kapan kau berani
membantahku,” ayah menyeret taplak meja berenda itu dengan sangat kasar hingga
semua makanan—termasuk makanan dalam piringku yang belum habis—terlempar
berantakkan. Piring-piring dan mangkuk berserak ke lantai dan patah-rekah
menjadi beling. Aku mulai tergugu karena takut. Ibu ternganga menatap semuanya.
Dan tubuh gemetarnya semakin nyata.
Ayah berjalan
mendekatiku, dan mulai meyeretku mendekati nasi dan sup yang telah ruah
bercampur jadi satu, “sekarang kau makan itu, bukankah kau sudah sangat
kelaparan?”
“Kau sudah gila!” ibu
berusaha merebutku dari tangan ayah, namun ibu malah mendapatkan tamparan di
pelipisnya. Ibu tak meyerah ia terus berusaha merengkuhku dari tangan ayah,
hingga ayah mendorong ibu kuat-kuat sampai ibu terjengkang ke lantai. Ibu
berguncang-guncang karena isakan, ayah silih menyeretku menuju kamar dan
mengunciku dari luar. Di ruang makan ayah kembali meneriaki ibu, “Kalau kau
sampai berani macam-macam, membukakan pintu atau memberinya makan tanpa
sepengetahuanku, ia akan mendapatkan hukuman yang lebih dari ini.”
Sejak hari itulah aku kerap
menempelkan mata di lubang kunci. Aku akan berlari mejauhi lubang kunci
bilamana ayah datang, memasukkan batang kunci, membuka pintu, dan melemparkan
sepiring nasi ke lantai, dan kemudian menguncinya kembali. Dari lubang kunci itu,
aku masih sering melihat ayah meneriaki ibu, menggerbak meja, atau menumpahkan
makanan ke lantai. Ibu tak melawan, hanya gemetar. Seusainya ibu baru
menuntaskan makan malamnya dengan tubuh berguncang, dengan pandangan lurus terarah
ke lubang kunci.
Setiap kali tiba waktu
makan, ibu tak henti-henti membujuk ayah supaya membukakan pintu kamarku, dan
membiarkanku turut makan bersama. Tapi ibu tak mendapatkan apapun kecuali
bentakkan atau terkadang perlakuan kasar. Hingga suatu malam, sebelum ayah
pulang, ibu menyiapkan hidangan makan malam lebih cepat dari yang seharusnya.
Wajah ibu tampak sedikit berseri. Dan dari balik lubang kunci itu, ibu
memanggilku dan berbisik padaku, “Tenanglah, ibu akan segera mengeluarkanmu
dari situ.”
Detak jarum jam di ruang
makan terdengar sampai di kamarku. Dan mataku masih terus menempel di lubang
kunci itu. Dari balik lubang kunci itu, aku menyaksikan ibu tersenyum aneh
sambil melarutkan serbuk ke dalam gelas minum ayah. Beberapa menit berikutnya,
ibu sudah berlari ke ruang depan, ayah datang. Suara ketukan sepatu ayah
semakin nyaring. Di meja makan itu ayah melepaskan jaketnya dan menggantungnya
di punggung kursi. Sementara ibu mulai mengambilkan nasi dan sayur ke piring
ayah. Malam itu, wajah ibu memang lebih berseri. Sesekali ia melirik lubang
kunci tempat mataku terkunci.
Ayah begitu lahap
menyantap makan malamnya. Ibu tak ikut makan. Hanya menunggu sampai ayah
menghabiskan makan malamnya dan kemudian meneguk air putih dalam gelas
minumnya, sampai habis.
“Airnya sedikit aneh, agak sepat,” komentar
ayah. Ibu tidak menyahut. Ibu silih mengambil piring dan memulai makan malamnya
sendiri.
Dari lubang kunci itu,
aku melihat ibu memulai suapan pertama ke mulutnya. Ibu mengunyah makanannya dengan
sangat tenang. Sementara ayah mulai tertunduk-tunduk dan terbatuk-batuk sambil
mencengkeram lehernya sendiri. Ibu masih terus melanjutkan makan malamnya
dengan tenang. Sesekali ia tersenyum menatap ayah yang tiba-tiba menyungkurkan
kepala ke bibir meja. Sekilas, suasana menjadi hening. Dan meja makan itu
tampak menggigil karena keheningan.
Ketika ayah sudah tertidur
pulas dan tidak berkutik lagi, ibu beranjak merogoh saku celana ayah dan
mendapati sebuah kunci. Ibu melangkah anggun menuju kamarku. Aku menjauhkan
mataku dari lubang kunci yang sudah terisi oleh batang kunci yang kemudian berputar.
Daun pintu terempas ringan. Menyibak kamarku yang pengap. Aku melihat tubuh ibu
tak lagi gemetar.
“Ibu mau melanjutkan
makan malam, sebaiknya kau ikut,” ibu meraih tanganku dan menuntunku ke meja
makan, dengan senyum yang begitu lumat.
“Apa ayah tak akan
marah?”
“Ayahmu tak akan marah.”
Malam itu kami
menuntaskan makan malam yang paling damai. Tanpa teriakkan ayah. Tanpa
gebrakkan di meja makan. Dan tanpa makanan yang tercecer sia-sia. Sementara
ayah masih saja menundukkan kepala di bibir meja. Mungkin ayah hanya pura-pura
tidur. Persis seperti yang kulakukan ketika aku menahan lapar. ***
Malang, 2014
0 komentar:
Posting Komentar