“Itu salju, ya?” gadis
kecil itu bertanya pada ibunya.
Ibunya tidak menjawab,
dan malah ikut membayangkan bahwa debu-debu yang menuakan daun-daun dan
memucatkan atap-atap itu adalah salju. Sang ibu seperti terhenyak dari
lamunannya ketika disadarinya bahwa langit terlampau kelabu bahkan untuk ukuran
langit bersalju. Gadis kecil itu, atau pun ibunya memang belum pernah melihat
salju secara langsung, kecuali dari film-film kartun atau drama korea yang ada
di tivi.
“Itu debu-debu Tuhan,”
balas ibunya tiba-tiba, setelah beberapa lama.
“Debu-debu Tuhan?”
“Iya, debu-debu Tuhan.”
“Ibu bohong, katanya debu-debu
itu datang dari gunung.”
“Kalau begitu kenapa kau
bertanya, ‘itu salju, ya?’”
“Soalnya debunya memang
mirip salju di film Barbie.”
“Tapi tetap saja itu
debu, dan bukan salju.”
“Apakah itu benar debu-debu
Tuhan?”
“Iya, itu debu-debu
Tuhan.”
“Mengapa debu-debu Tuhan
datang dari gunung? Apa Tuhan berada di gunung?”
“Tuhan bisa berada di
mana saja Dia mau. Lagi pula gunung milik Tuhan juga, kan?”
Keduanya terdiam, memicing,
menatap langit yang mengucurkan debu-debu tipis. Sudah beberapa hari orang-orang
tinggal di rumah yang bukan rumah mereka. Orang-orang tinggal di rumah yang sama.
Sempit dan berdesak-desakkan seperti di tempat pelelangan ikan. Orang-orang
begitu riuh dengan percakapan-percakapan, dengan keluhan-keluhan. Sementara
bayi-bayi begitu gaduh dengan rengekan-rengekan. Dan perempuan itu memilih
menunggu kedatangan suaminya, dengan duduk di teras paling tepi, dengan
putrinya yang baru masuk SD, yang begitu suka bertanya macam-macam, seperti
mesin penanya.
“Mengapa kita memakai
ini?” gadis kecil itu bertanya lagi.
“Itu masker,” jawab
ibunya datar.
“Masker?”
“Iya, supaya kita tidak
sesak napas karena debu-debu itu.”
Gadis kecil itu terdiam
sejenak dan berujar lagi, “Tapi itu kan debu-debu Tuhan. Kata ibu Tuhan
menyayangi kita. Lalu mengapa debu-debu Tuhan bisa membuat kita sesak napas?”
Perempuan itu menoleh ke
putrinya yang menembakkan matanya tepat ke matanya, memohon jawaban. Mengapa
anak-anak kecil selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit lagi
mencemaskan. Perempuan itu berpaling dan kembali menatap langit yang terlampau
kelabu. Kepala cemasnya berusaha menemukan jawaban.
“Tuhan menyayangi kita,
karena itu Dia menurunkan debu-debuNya yang bisa membuat kita sesak napas.”
“Debu-debu Tuhan juga
mengotori rumah-rumah dan jalan-jalan, padahal, kata Bu Guru, Tuhan suka
kebersihan. Ini benar-benar aneh.”
Perempuan itu tak percaya
dengan apa yang baru saja didengarnya, mengapa pula bocah-bocah kecil zaman
sekarang pandai sekali berkomentar layaknya orang dewasa. Apa ia terlalu sering
menonton Barbie dan Spongebob?
“Ya, itu tadi, karena
Tuhan menyayangi kita,” perempuan itu menjawab juga, “menyayangi tak berarti
memanjakan, atau selalu membuatmu senang. Kamu ingat waktu ibu menghukummu
tinggal di rumah sendirian karena kamu tak mau pergi ke sekolah?”
Gadis kecil itu
mengangguk.
“Itu artinya ibu ingin
kamu belajar menjadi lebih baik. Jika ibu terus membiarkanmu malas pergi ke
sekolah, maka kamu akan ketinggalan pelajaran, kalau kamu ketinggalan
pelajaran, maka kamu akan rugi, dan kamu tidak akan naik kelas. Ibu tak mau
kamu rugi, apalagi tidak naik kelas. Makanya ibu melakukan itu, dan itu karena
ibu menyangimu.”
Gadis itu terlongok
menatap ibunya sebentar dan kembali menekuni langit kelabu di kejauhan. “Jadi
Tuhan menghukum kita?” tanyanya kemudian.
“Tuhan hanya ingin kita
belajar,” jawab ibunya singkat.
Mereka terdiam agak lama.
Gadis kecil itu menggambar matahari cemberut di atas lantai teras yang
diselimuti debu-debu tipis dengan jemari mungilnya.
“Mengapa kita harus pergi
dari rumah dan tidur beramai-ramai di sini?” tiba-tiba gadis kecil itu bertanya
lagi.
“Kampung kita tidak aman,
makanya, untuk sementara waktu kita harus tinggal di sini,” jawab ibunya.
“Tapi mengapa sekarang Ayah
masih tinggal di rumah? Bukankah di rumah tidak aman?”
“Ayahmu harus memberi
makan ternak dan menjaga rumah supaya tidak dimasuki pencuri.”
“Apa ayah akan kembali ke
sini bersama kita?”
“Pasti.”
“Kapan?”
“Segera. Kalau semuanya
sudah aman.”
“Kalau ayah tidak datang
juga bagaimana?”
“Mmm… mungkin ibu harus
menjemputnya.”
Gadis kecil itu terdiam
dan mendadak murung. Ia menghapus gambar matahari cemberut di atas lantai yang
berdebu itu dan menggantinya dengan gambar matahari menangis.
Sejatinya, perempuan itu
begitu cemas menunggu suaminya kembali. Sudah sejak sehari yang lalu suaminya
pamit pulang untuk menyelesaikan segala urusan rumah supaya lebih tenang saat
ditinggal ke pengungsian. Namun sampai sekarang suaminya belum juga kembali.
“Apa kamu janji tidak
akan nakal kalau nanti kamu ibu tinggal sebentar balik ke rumah untuk menjemput
ayahmu?” silih perempuan bertanya.
“Mengapa aku tidak boleh
ikut?” gadis kecil itu balik bertanya dengan nada murung.
“Bukankah sudah ibu
bilang, di rumah tidak aman. Kalau tidak untuk menjemput ayahmu, ibu juga tidak
akan balik ke rumah.”
Gadis kecil itu
tertunduk, kini ia menghapus gambar matahari menangis dan silih menggambar
bintang, bintang yang menangis.
“Ibu hanya sebentar, ibu
janji, sebelum langit gelap, ibu sudah kembali ke sini bersama ayahmu.”
Gadis kecil itu melongok
ke ibunya dan mengangguk berat.
Setelah beberapa jenak, perempuan
itu beranjak dari duduknya dan berbincang lirih dengan salah seorang
tetangganya yang juga sama-sama cemas. Beberapa saat kemudian, setelah mengecup
kening bocah kecil itu, perempuan itu pergi dengan payung hitam yang dimekarkan
di atas kepala, dan perempuan itu pun berjalan menjauh dari rumah pengungsian.
Bocah kecil itu terus mengawasi ibunya sampai sosok remang itu hilang ditelan remang
yang lebih remang di kejauhan.
***
Selama ibunya pergi,
gadis kecil itu hanya terduduk di lantai teras paling tepi. Ia terus menggambar
apa saja di atas lantai yang diselimuti debu-debu tipis itu. Ia tak bisa
memikirkan hal lain kecuali ayah dan ibunya yang harus berjalan melewati debu-debu
yang terus mengucur seperti tak ada habisnya itu. Ia membayangkan tubuh ayah
dan ibunya memutih berselimutkan debu-debu Tuhan itu.
Jelang petang, gadis
kecil itu menjadi sedikit cemas karena ayah dan ibunya tak kunjung datang.
Ketika petang merembang, gadis kecil itu mulai menangis. Ia terus berdiri di
teras paling tepi dan terus menatap ke depan. Beberapa tetangga dan relawan
sudah membujuknya untuk diam dan menunggu ibunya sambil bermain atau tidur-tiduran,
tapi tidak berhasil. Gadis kecil itu terus tergugu di antara keriuhan orang-orang,
di anatara keluh-kesah dan rengekan-rengekan balita. Seorang relawan
menawarinya semangkuk mie instan, meski ia lapar, ia tetap tak menggubris. Ia
masih saja berdiri di teras paling tepi dan terus menatap ke depan.
Di sisi lampu jalan yang
pucat, debu-debu tipis masih tampak beterbangan dari ketinggian. Beberapa pohon
terlihat merunduk seperti merajuk. Mendadak, gadis kecil itu membayangkan bahwa
ayah dan ibunya sangat kelelahan karena debu-debu Tuhan itu terus menerus
mengguyur mereka, mengguyur rumah-rumah, mengguyur jalan-jalan dan pohon-pohon.
Gadis kecil itu membayangkan bahwa ayah dan ibunya sudah tertidur pulas berselimutkan
debu-debu Tuhan dan melupakannya sendirian.
Gadis kecil itu menjadi semakin
cemas dan ingin pulang menyusul ayah dan ibunya yang tak kunjung datang.
Bukankah Tuhan selalu baik pada siapapun. Apakah debu-debu Tuhan ini mau
mengantarku pulang, pikirnya. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, orang-orang
sudah pada tertidur, beberapa yang lain bergerumbul bermain catur, sisanya yang
lain berbincang-bincang rendah di antara keremangan lampu. Tak seorangpun tampak
memedulikannya.
Diam-diam, dengan isakan
lirih, gadis kecil itu melangkahkan kakinya ke depan dan terus berjalan, berjalan
dan terus ke depan, menembus debu-debu Tuhan.***
Malang, 2014
0 komentar:
Posting Komentar