Kardan, tiga
puluh tahun, pukul sebelas malam lebih sepuluh menit, terjebak dalam sebuah
elevator di lantai sembilan, di sebuah apartemen tempatnya bekerja sebagai cleaning service. Apartemen itu baru
saja selesai dibangun dan siap huni. Kardan bekerja di tempat itu belum genap
sebulan. Dan karena elevator tersebut sedang dalam masa percobaan, maka kamera
pengintai pun belum sempat dipasang di sana. Beberapa pegawai lain sudah pulang
terlebih dahulu. Pun dua orang satpam baru yang berjaga di gerbang depan akan
lebih memilih menghabiskan waktu untuk menonton bola atau main kartu daripada
berkeliling memeriksa apartemen yang belum ditempati orang itu.
Kardan menyesalkan
dirinya yang selalu menganggap bahwa handpone
bukanlah barang penting yang harus selalu dibawa kemana pergi. Saat itu Kardan
baru sadar, bahwa pada waktu-waktu tertentu yang tak pernah ia duga, handphone akan sangat berguna. Beberapa
detik setelah elevator itu berhenti tiba-tiba, Kardan tak terlalu cemas. Ia
menganggap itu sebuah kecelakaan yang bisa menimpa siapa saja. Namun, setelah
beberapa menit, tiba-tiba ia merasa cemas. Tersesat seorang diri, di malam
buta, di sebuah tempat yang sesak—menyerupai peti mati, di tengah-tengah gedung
apartemen yang lengang, tentu akan membuat siapapun menjadi panik.
Kardan sudah
berusaha menggedor-gedor pintu elevator yang bungkam itu. Namun usahanya sia-sia
belaka. Kardan juga sudah mencoba berteriak minta tolong, tapi di ruangan kotak
dan sempit itu, suaranya malah membuat telinganya sendiri pekak. Benar-benar tak ada harapan. Kardan yakin, istrinya
di rumah juga tak akan repot-repot mencarinya, lantaran ia sendiri sudah
terbiasa pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali karena terlalu
asik bermain bilyard dan begadang di warung remang-remang.
Kardan
pasrah, ia akan terkurung di tempat terkutuk itu setidaknya sampai besok pagi. Dan
karena jelang akhir pekan, mungkin keadaan bisa lebih buruk lagi. Kardan mencoba
duduk, menenangkan diri. Ia mengatur napasnya sedemikian rupa agar bisa
berpikir jernih. Mendadak Kardan berpendapat, bahwa pada detik-detik seperti
itu, mungkin tak ada lagi orang yang bisa menolongnya kecuali Tuhan. Sayangnya,
Kardan sudah benar-benar lupa kapan terakhir kali menyebut nama Tuhan. Kini,
mulutnya terasa nyanyuk dan canggung ketika hendak menyebutkan nama itu.
Kardan
terduduk lemas. Ia tak percaya bahwa kecemasannya membuatnya hampir menangis. Seperti
anak kecil yang cemas karena tersesat. Kardan mencoba menguatkan diri, bahwa ia
hanya ketiban sial: terjebak di dalam elevator di tengah malam. Namun, seperti
apapun ia mencoba menguatkan diri ia tak pernah bisa. Sejak kecil Kardan sudah fobia
dengan tempat sempit. Pernah sewaktu kecil, ia bermain petak umpet dengan
beberapa teman, ia bersembunyi dalam lumbung tempat padi. Dan ia ditemukan hampir
mati di sana oleh teman-temannya karena sesak napas.
***
Kardan
menerawang ruang kotak dan sempit itu. Mendadak ia bertanya-tanya, seperti
apakah rasanya orang mati yang dikurung dalam peti mati dan dikuburkan di dalam
tanah yang hanya berukuran beberapa meter. Tentu sangat sempit dan gelap. Demi
membayangkannya, Kardan bertambah cemas. Ia bisa merasakan bahwa paru-parunya
seolah menciut, mengkerut, hingga membuat dadanya sedikit nyeri. Dan akhirnya,
setelah sekian lama, mulut Kardan yang hitam dan bau asap rokok itu kembali
menggumamkan nama Tuhan. Jujur, itu membuatnya sedikit lebih tenang, meski
dadanya masih saja nyeri.
Kardan
bersimpuh di sudut ruang, ia seperti tikus yang terjebak dalam jeratan. Kardan
ingat, sewaktu kecil ia pernah mendengar sebuah cerita dari guru ngajinya,
tentang tiga pemuda yang terjebak dalam sebuah gua dan kehilangan jalan keluar
lantaran mulut gua itu tertutup oleh batu besar yang menggelincir begitu saja.
Tiga pemuda itu sadar, pada saat seperti itu tak ada siapapun yang bisa
menolong mereka kecuali Tuhan, hingga dengan kerendahan hati, mereka
bertawassul kepada Tuhan atas kebaikkan paling tulus yang pernah mereka lakukan.
Dan Tuhan pun memakbulkan tawasul mereka hingga batu besar yang menyumpal mulut
gua itu bergeser perlahan-lahan atas kehendah-Nya.
Kardan
tahu betul, bahwa posisinya sekarang persis dengan posisi ketiga pemuda dalam
kisah itu. Haruskah Kardan bertawasul kepada Tuhan atas kebaikan yang pernah ia
lakukan, supaya elevator itu terbuka? Bahkan Kardan juga tak bisa menyebutkan
kebaikan seperti apakah yang sudah ia lakukan selama hidupnya. Dalam cerita
itu, pemuda pertama bertawassul pada Tuhan akan baktinya yang tulus terhadap ibunya,
sedangkan Kardan, terakhir kali menemui ibunya adalah dua tahun lalu, untuk
meminta warisan—karena kalah judi. Kardan ingat, ia sempat bertengkar dengan ibunya
karena itu. Saat itu ia berharap bahwa ibunya yang sudah mulai bangka itu lekas-lekas
pergi ke alam baka menyusul bapaknya. Sampai detik di mana ia tergugu di dalam elevator
seorang diri, ia belum meminta maaf pada ibunya. Bahkan lebaran kemarin, ia
sengaja tak pulang kampung karena merasa jengah dengan sikap ibunya yang begitu
tak acuh padanya.
Detik
itu Kardan tak bisa mencegah air matanya. Ia teringat raut ibunya yang lusuh
karena rasa kecewa dan malu yang tak tanggung-tanggung atas putra sulungnya
yang tak tahu diri itu. Dan saat itu Kardan merasa pantas untuk terjebak dalam
elevator, bahkan ia merasa pantas untuk masuk neraka.
***
Dinding
dan lantai elevator yang kelewat dingin membuat Kardan semakin menggigil. Sudah
jam berapa sekarang?
Kardan
kembali mengingat cerita tentang tiga pemuda itu, pemuda kedua bertawasul atas
kebaikannya menolak perempuan cantik yang terbaring di depan matanya, dan
pasrah untuk ia zinahi. Mendadak Kardan menundukkan kepalanya lekat-lekat. Ia
membayangkan sekujur tubuhnya begitu kotor, seperti dilumuri lumpur. Karna, tanpa
sepengetahuan istrinya, Kardan telah puas menjamahi puluhan wanita berbagai
jenis dari puluhan rumah bordil yang pernah ia singgahi. Mengenai tawasul yang
kedua, Kardan tentu tak masuk dalam hitungan, pun mengenai tawasul pemuda yang ketiga: seorang
majikan yang begitu jujur dan tulus kepada khadimnya.
Kardan sendiri hanya seorang cleaning
service, telak sudah, ia memang tak ingat pernah melakukan kebaikan apapun.
Kardan semakin tergugu, seiring tarikan napasnya yang terasa kian berat.
Apakah riwayatku
akan segera berakhir di dalam ruang sempit ini? Kardan kembali berdiri. Satu
kakinya keram kesemutan, hingga membuatnya berdiri tertatih-tatih. Kardan
mencoba berjalan, terpincang-pincang. Untuk ke sekian kalinya ia menggedor-gedor
pintu elevator yang hanya bergeming dan dingin. Ia kembali berteriak-teriak,
meminta tolong. Namun lagi-lagi suaranya yang bagai srigala terluka itu malah
membuat telinganya sendiri sakit dan berdengung. Ia memilih terdiam dan
meringkuk di pojokkan seperti semula. Ia ingin memejamkan mata tapi lantai dan
dinding tempat ia bersandar kelewat dingin, dan dadanya semakin nyeri, seperti
dicacah-cacah ribuan jarum. Ia menyeringai menahan nyeri yang semakin membuncah
di ulu hatinya.
Kardan
memeluk lututnya erat-erat dan menyandarkan kepalanya yang lunglai di sana. Ia
tak ingin lagi berpikir apa-apa.
***
Kardan tergeragap,
ia terbangun oleh sebuah guncangan. Ia menengok arloji butut di tangan
kanannya. Pukul empat pagi kurang seperempat. Ia merasakan ruangan kotak yang mengurung
tubuhnya hampir semalaman itu bergerak turun, perlahan-lahan, sebelum akhirnya
terbuka di lantai dasar. Benar-benar sunyi. Sunyi sesunyi-sunyinya. Kardan beranjak dari ruangan kotak itu dengan
langkah terhuyung. Kardan belum pernah merasakan sensasi kesunyian yang
mengiris seperti itu. Di luar sana azan subuh menggema, membuat tubuh Kardan
semakin menggigil. Tapi Kardan bertekad, subuh itu ia akan mulai mengambil air
wudhu.***
0 komentar:
Posting Komentar