Cinta pertama itu seperti
cat warna pertama yang tersaput di atas kanvas yang masih polos. Warna itu akan
terserap oleh serat-serat kanvas, mengendap, ia akan mengering, dan sulit dihilangkan.
Setidaknya demikian kau mengibaratkan. Puluhan tahun silam, ketika usiamu baru
saja mekar, dan tubuhmu dipenuhi dengan aroma mawar, kau mengenal seorang
lelaki yang kemudian menjelma cat warna yang tersaput di kanvas hatimu untuk
pertama kalinya. Bekasnya masih utuh sampai sekarang.
Sepanjang yang kau ingat,
kau menyebut lelaki itu sebagai kawan, dan lelaki itu juga menyebutmu sebagai
kawan. Namun, kau berkhianat, kau membiarkan lelaki itu melukis sesuatu di kedalaman
hatimu. Dan lukisan itu tak selesai. Terakhir kali kau bertemu dengan lelaki
itu sudah lama sekali, ketika lelaki itu berpamitan padamu hendak meneruskan
sekolahnya di luar negeri. Kau tahu, lukisan itu memang tak akan selesai, hanya
akan mengering menjadi sebuah noda yang akan sulit dihilangkan.
Selama tinggal di luar
negeri, lelaki itu selalu menghubungimu, paling tidak tiga bulan sekali, bertanya
kabar dan berbagi basa-basi. Hingga suatu hari, tepatnya delapan tahun lalu,
bulan sembilan, tanggal sembilan, ia menghubungimu dan berkabar bahwa ia akan
menikah dengan perempuan cantik di negeri tempatnya tinggal. Bagi seorang
kawan, itu adalah kabar gembira, namun, bagi seseorang yang telah terlanjur
menanam harapan, itu adalah seburuk-buruk kabar yang bisa didengar. Dan setelah
itu, ia tak pernah menghubungimu lagi. Ia seperti hilang dikeremus bumi. Kau
kehilangan. Paripurna.
Bertahun-tahun kau
menggosok cat warna pertama yang tumpah di kanvasmu itu, dan kau hampir putus
asa. Warna pertama itu benar-benar sulit dihilangkan. Berkalang waktu dan usia,
orang tuamu yang selalu mencemaskanmu menjadi perawan tua itu telah menemukan
lelaki yang kata mereka layak untukmu. Kau tak punya pilihan lagi, dan kau
sudah terlanjur menyimpan rahasia. Kau pun menyerah dan memaksakan diri untuk
menutupi warna pertama di kanvasmu itu dengan warna lain. Kau bersiap-siap
dipinang lelaki lain dan berpura-pura mencintai lelaki lain. Sejatinya, hari-harimu
dipenuhi keraguan. Seperti banyak sekali benda-benda halus yang penuh racun,
yang masuk ke dalam otakmu perlahan-lahan. Tak sedetikpun kau mampu
mengenyahkan bayangan lelaki itu, kau seperti berharap-harap lelaki itu datang
dan merengkuhmu pergi ke masa lalu. Kau sering tercenung. Pasrah. Hingga
beberapa hari jelang hari pernikahanmu, seseorang membunyikan bel pintu apartemenmu.
“Paket!” suara itu tak
nyaring tapi kau masih bisa mendengarnya dari ruang tamu.
Seorang lelaki, pengantar
paket, dengan seragam biru laut—yang raut wajahnya tiba-tiba nyaris sama dengan
lelaki di masa lalu itu—tersenyum padamu, di sebelahnya sebuah kardus besar
mengarca seperti memandangimu, “Ada paket untuk Anda,” ujar lelaki itu. Kau
menatap wajah lelaki itu dengan saksama, kau tak yakin, kau hanya merasa bahwa
dirimu mulai berhalusinasi.
“Paket? Dari siapa?”
tanyamu ragu-ragu.
“Mmm… Anda tanda tangan
dulu,” kata si pengantar paket tanpa menggubris pertanyaanmu.
“Paket dari siapa? Apa
ini tidak salah kirim?” tanyamu lagi, sambil terus menatap lelaki pengantar
paket itu.
“Di sini tertulis ‘dari
masa lalu’, dan itu nama Anda kan? Coba Anda baca sendiri,” jawab lelaki itu
santai, “biar saya bantu bawa masuk,” ungkapnya kemudian.
Setelah menerima secarik
kertas yang kau tanda tangani, lelaki pengantar paket itu segera pergi, meninggalkanmu
bersama sebuah kardus besar, berhias pita merah jambu. Kau menatap punggung
lelaki pengantar paket itu kian menjauh dan hilang dibalik lorong apartemenmu. Mungkin
ini kejutan dari calon suamiku, pikirmu. Dengan cutter, kau pun mulai membuka kardus
besar itu, hati-hati. Ketika bagian atas dari kardus besar itu terbuka, kau segera
terpana, dan kau sadar bahwa mungkin kau akan jadi gila. Seorang lelaki muncul
dari dalam kardus itu dan menatapmu dengan iba. Kini kau tahu, paket itu memang
paket dari masa lalu, berisi lelaki di masa lalu, lelaki itu.
Lelaki itu bangkit dan
menguakkan dirinya dari dalam kardus, ia menatapmu, tersenyum padamu, “Kau
masih ingat padaku?” ujarnya dengan manis.
Kau terpaku sejenak,
tertawa dan tak percaya, “Apa aku harus menampar pipiku sendiri supaya aku
bangun dari mimpi?” kau menelisik sosok yang berdiri di hadapanmu, “Bagaimana
mungkin kau bisa berada di dalam kardus? Hei?”
“Mudah, bahkan aku bisa
berada dalam hatimu, benar bukan?” lelaki itu tersenyum, “mulai sekarang aku
akan tinggal di sini, menemanimu,” imbuhnya lagi.
Kau mengerjapkan mata
beberapa kali dan tertawa lagi kemudian terdiam lagi, “Apa itu benar-benar
kau?”
“Siapa lagi?”
Kau terkikik lagi, “Kau
gila! Atau aku yang gila?”
“Semua gila, dan dunia ini
juga gila,” ia balas tertawa.
“Sebaiknya kau pergi dari
sini.”
“Aku tak bisa pergi dari
sini, dan siapa pun tak bisa membuatku pergi dari sini.”
“Apa aku perlu mengirimmu
kembali lewat paket?”
Lelaki itu hanya
menatapmu, “Kau tak bisa melakukannya.”
“Beberapa pekan lagi aku
akan menikah, dan sebaiknya kau tidak mengacaukannya.”
“Kau yang mungundangku ke
sini, sekarang mengapa kau ingin aku pergi dari sini.”
“Aku tak mengundang siapa
pun.”
“Kau mengundangku.”
“Kumohon pergilah.”
“Kalaupun aku pergi, kau
tak pernah bisa menyuruhku pergi dari hatimu. Jadi apa bedanya, aku ada di sini
atau tidak? Toh aku selalu bersamamu, di hatimu, bahkan menjelang hari
pernikahanmu.”
“Bukahkah kau sudah
menikah, apa kau ingin istrimu membunuhmu?”
“Kau tak pernah benar-benar
tahu, apakah aku sudah menikah atau belum, kenyataannya di sini aku sendiri,
dan aku telah sampai padamu?”
Kau terkikik sendiri,
“aku pasti sedang mengalami mimpi buruk.”
“Aku tahu, aku tak pernah
menjadi mimpi buruk bagimu.”
“Kalaupun istrimu tidak
membunuhmu, calon suamiku yang akan membunuhmu,” ungkapmu geram, sementara
detak jantungmu kian terpacu tanpa aturan. Semakin detak.
Kau mengetuk-ngetuk batok
kepalamu sendiri dan tertawa lagi, “oh mimpi buruk,” lantas kau beringsut
menuju kamarmu. Di kamarmu, lelaki itu tengah tersenyum dan merebahkan tubuhnya
di atas ranjang.
“Apa aku boleh tidur di
sini,” ujarnya.
Kini kau menyadari, bahwa
lelaki itu adalah hantu, “Aku akan memanggil satpam supaya menyeretmu pergi
dari sini,” gertakmu.
Lelaki itu masih saja
tersenyum dengan manisnya, dan senyuman itu seperti gelitikkan yang tak henti-henti
hingga membuatmu hampir menangis.
“Aku telah menghapusmu
dari masa laluku, jadi kedatanganmu yang seperti mimpi buruk ini tak akan
mengubah apapun, aku akan berakhir di pelaminan dan kau akan berakhir di
penjara.”
“Apa kau berani
mengatakan itu sambil menatap mataku?” suara lelaki itu semakin merdu.
Kau berpaling, dan lelaki itu berujar lagi. “Ya, kau
menghapusku, tapi aku tidak hilang. Kau menumpahkan warna baru untuk
menutupiku, tapi kau tak bisa membohongi dirimu, aku masih utuh, melekat di
bagian terdalam dari hatimu.”
Kau beranjak keluar
kamar, dengan tangan gemetar kau menghubungi satpam yang selalu berjaga di pos depan,
“Pak satpam, tolong, apartemenku dimasuki orang gila, dan aku tak sanggup
mengusirnya pergi,” katamu terbata-bata. Kau juga menghubungi calon suamimu,
mengutarakan hal yang sama.
Ketika kau hendak beranjak
menuju kamarmu, lelaki itu telah menghadangmu, dengan tawa-tawanya yang begitu
sinis. Mereka akan menyeretmu pergi dari sini, pekikmu. Lelaki itu seperti tak
peduli, ia terus menguntit di belakangmu. Seperti bayanganmu sendiri.
Setelah beberapa jenak,
bel apartemenmu berbunyi, “Mereka datang!”
Daun pintu terbuka, dua
satpam apartemen dengan perawakan sangar itu segera menghampirimu, “Di mana
orang gilanya?”
“Ini! Dia terus
mengikutiku,” kau menunjuk lelaki yang terus menguntit di belakangmu.
“Di mana?” dua satpam itu
celingukan, tampak bingung, bagi mereka kau hanya menunjuk-nunjuk udara kosong.
Dua satpam apartemen itu
berkeliling dari ruang ke ruang, “Tak ada siapa-siapa? Apa Nona yakin ada orang
gila masuk ke sini.”
Kau menghela napas berat,
bagaimana mungkin satpam itu tak melihatnya, sementara lelaki itu masih saja
tersenyum-senyum di belakangmu. Sangat nyata. Bahkan kau bisa menyentuhnya.
“Mohon maaf, tapi di sini
saya tak menemukan orang lain selain Anda, Nona?” kata satpam yang satunya.
“Benar, Anda tak perlu
khawatir, jika memang ada orang gila masuk ke apartemen ini, tentu kami sudah
menangkapnya di gerbang depan,” kata satpam yang satunya lagi.
Kau tertawa pendek
sekaligus mengernyit, “Jadi, kalian pikir aku…”
Dua satpam apartemen itu
segera beringsut sebelum kau berhasil melanjutkan kata-katamu. Lelaki di
belakangmu itu kini beranjak ke hadapanmu dan menutup daun pintu, ia bersandar
di pintu dan masih saja melayangkan senyum kepadamu.
“Kau lihat, mereka tak
bisa mengusirku.”
“Sebentar lagi calon
suamiku akan datang, ia sendiri yang akan mengusirmu.”
“Tak ada yang bisa
mengusirku.”
“Calon suamiku akan
mengusirmu. Aku bersumpah, dia akan mengusirmu! Dia akan mengusirmu!” kau
berteriak dengan suara nyaring.
Dua satpam di balik pintu
apartemenmu terpaku dan saling pandang, mereka bertanya-tanya, dengan siapakah
kau sedang bicara? Mereka berdua menggeleng-gelengkan kepala dan berlalu begitu
saja. Sementara suaramu kian terdengar nyaring di lorong-lorong apartemen.***
Malang, 2014
0 komentar:
Posting Komentar