Seseorang mengatakan,
menulis itu sebuah ilmu, dan ilmu itu seperti sebuah pisau, jika tidak dipakai
atau diasah, ia akan tumpul. Maka, malam ini, setelah berbulan-bulan tidak
menulis, aku mencoba memulainya lagi. Dan baru saja kusadari, bahwa pisauku telah
benar-benar tumpul. Banyak ide meletup-letup dalam kepalaku, seperti gelembung
bubur yang mendidih di dalam periuk di atas tungku. Begitu panas dan butuh
dituangkan. Namun, ini tak semudah kedengarannya.
Aku sudah duduk di
depan laptop selama hampir satu jam, dan layar monitor masih putih sempurna. Hanya
kursor kecil berkedip-kedip seperti mengejek. Aku jengkel dan mulai memikirkan
kalimat yang menarik untuk membuka paragraph awal. Tanganku mulai bergerak,
memencet tombol-tombol huruf di keyboard, suaranya sedikit berisik, seperti ketukan
sepatu di ubin keramik.
Satu kalimat telah
tertuang. Kubaca lagi. Berulang kali. Baru kusadari bahwa aku tak pernah
menemukan kalimat pembuka yang lebih buruk dari itu. Pragraph awal dari sebuah
cerita adalah hal yang sangat menentukan, tak ubahnya sebuah pintu gerbang
untuk masuk ke kedalaman cerita. Jika pintu itu salah atau terkunci, pembaca
takkan sudi masuk ke dalamnya, dan cerita itu pun hanya akan menjadi sebuah
tulisan yang gagal. Tulisan yang ditulis oleh seorang yang mungkin saja hanya
pecundang.
Aku menekan tombol backspace lama sekali, sampai deretan
huruf itu hilang dan layar monitor kembali menjadi putih. Dan kursor kurang
ajar itu kembali berkedip-kedip mengejekku.
Aku kembali tercenung
memikirkan kalimat pembuka yang lain. Kalimat pembuka yang mungkin pantas untuk
dibaca siapapun. Setelah beberapa jenak, aku tersenyum dan kembali
menuliskannya seperti orang mabuk. Sebuah kalimat pembuka telah berjajar di
layar putih. Kalimat pembuka itu kubaca berulang-ulang dengan bangga, hingga tiba-tiba
seseorang tengah menggetok kepalaku dengan palu, aku menyadari sesuatu, kalimat
pembuka itu memiliki cita rasa seperti sebuah puisi yang tidak matang. Penuh
metafora tapi kering. Aku tak percaya bahwa aku yang barusan menuliskannya. Aku
menghela napas. Kutekan tombol Ctrl+A dan
kemudian Del. Layar bersih seperti
semula.
Aku duduk bersila dan
mengambil napas pelan. Menatap layar monitor yang kosong itu dengan saksama.
Kursor kecil itu masih saja berkedip-kedip. Genit sekali. Barangkali ia akan
terus berkedip-kedip seperti itu sampai laptop itu kehabisan baterai dan
listrik mati. Aku seperti tercenung. Dan mendadak semuanya menjadi sunyi. Aku
terus menatap layar putih itu dan berharap sebuah keajaiban terjadi.
Menulis memang bukan
sesuatu yang bisa dipaksakan. Sampai-sampai kepalaku sedikit pening gara-gara
memikirkan bagaimana memulai paragraph pertama. Kepalaku benar-benar pening.
Dan berat. Hingga langit-langit bagai berputar. Aku memejamkan mata. Membiarkan
diriku membeku dalam keheningan. Dengan begitu rasa pening di kepalaku bisa
sedikit berkurang. Mungkin.
Setelah beberapa menit,
dalam keheningan, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan yang bertubi-tubi dari
dalam laptop, seperti suara tombol huruf yang diketuk berkali-kali dan berganti-ganti.
Suaranya tak begitu nyaring, seperti dari dalam pengeras suara dengan volume
terlalu kecil. Namun, mendadak di layar putih itu muncul huruf-huruf yang saling
mengejar. Aku mengucek mata. Tak percaya. Tapi aku membacanya… terus
membacanya…
Lelaki
di depan laptop itu jengkel pada dirinya sendiri. Ia ingin menulis sesuatu
namun tak pernah berhasil. Kepalanya telah menjadi pisau yang tumpul dan tak
bisa digunakan untuk mengiris kata apa pun. Ia menyesal sebab lama tidak
mengasah pisau itu. Kini, setiap kalimat yang ditulisnya ia rasai seperti merajam
dirinya sendiri.
Lelaki
itu sebenarnya punya ide bagus tentang kisah cintanya yang dikhianati, ia ingin
menuliskannya, tapi ia gagal sejak kalimat pertama. Padahal kisah itu tidak
terlalu rumit, hanya seorang wanita yang menolak dinikahi seorang pria yang
konon pekerjaannya adalah penulis. Pekerjaan yang tak boleh tercantum dalam
daftar identitas. Mengingat detik ini ia tidak berhasil memulai tulisan apapun.
Ia pun mulai ragu pada dirinya sendiri dan beranggapan bahwa keputusan
kekasihnya itu keputusan yang adil. Pekerjaan menulis memang tidak bisa diharapkan.
Menulis memang tidak lebih mudah dari menjadi seorang buruh pabrik, pikirnya.
Buktinya ia hanya terlongok di depan laptop selama berjam-jam dan tak
menghasilkan apapun. Malah kepalanya yang jadi pening. Ia sadar, itu
kesalahannya: ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya.
Lelaki
itu memang tak kenal menyerah—atau bebal?Ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia tak akan beranjak dari
laptopnya sebelum menghasilkan sebuah tulisan, setidaknya tiga halaman. Namun
begitulah, sampai detik ini ia masih bengong dan tak bisa memulai tulisannya.
Ia masih saja berjibaku memilah ide-ide dan kalimat-kalimat pembuka yang
menarik, yang semuanya berselengkatan dalam kepalanya.
Bagaimana
kalau aku menuliskan kisah ibuku, bisiknya dalam hati. Namun ia sadar, ibunya
tak pernah memiliki kisah yang menarik. Keluarganya baik-baik saja.
Dan menulis sesuatu yang baik-baik saja
tentu kurang menarik. Kini ia berimajinasi, ibunya gantung diri karena ayahnya
selingkuh dengan bibinya. Lalu suami bibinya silih menusuk ayahnya sebab
menyelingkuhi istrinya. Oh tidak, itu kisah yang rumit dan terlalu tragis,
pikirnya kemudian. Ia menyerah, ia memang tak bisa mengambil ide apapun dari
kisah keluarganya, alih-alih membuat kalimat pembuka yang menarik.
Setelah
berpikir lagi, sedikit lama, lelaki itu lekas menyadari bahwa masalahnya bukan
pada ide ataupun kalimat pembuka, tetapi pada bagaimana pisau itu bekerja
dengan baik. Merajang kata-kata dan meraciknya menjadi kalimat yang lezat.
Mustahil, oh mustahil, ia bahkan bingung apa yang sedang bergejolak di
kepalanya. Yang jelas, semua kegalauan ini berujung pada kesalahannya sendiri:
ia terlalu lama tidak menggunakan pisaunya. Kini pisau itu sudah tumpul. Dan ia
baru tahu rasa.
Lihatlah!
Lelaki itu hanya memelototi layar laptopnya yang kosong dengan tatapan kosong.
Kosong sekosong-kosongnya. Lihatlah lelaki itu. Kau mengenalnya lebih baik dari
siapapun. Pecundang itu. Lelaki itu. Yang konon adalah seorang penulis. Sang
penulis.
Aku?***
Malang,
2014
6 komentar:
He-he-he.
Secara keseluruhan saya suka. Ada cerpen di dalam cerpen.
It's annoying but great.. Haha, sepertinya banyak penulis yang galaunya sama dengan lelaki itu.. :D
Terima kasih, sudah mampir. Salam kenal semua...
tulisan ini lucu sekaligus smart :p saya mulai cekikikan ketika mendapati sang lelaki memikirkan kisah aneh yang akan melibatkan ibunya sebagai tokoh utama :-D
Anyway... ini cara paling pintar melampiaskan kegalauan :p
Terima kasih sudah mampir, semoga mencerahkan, menginspirasi, atau sekurangnya menghibur :)
Cerpen yang sangat unik dan menghibur.
Posting Komentar