CERITA
tentang
hutan perawan dan peri-peri yang berketitiran di dalamnya pernah kudengar dari
bibir nenek puluhan tahun silam, sewaktu beliau masih hidup. Ketika itu umurku
baru tujuh tahun. Selepas waktu, cerita itu kemudian melebur dalam kepalaku
tertindih cerita-cerita baru yang bertubi-tubi mengisi kepala mungilku.
Cerita itu mendengkur bertahun-tahun
dalam kepalaku, hingga ibu kembali membangunkannya, beberapa jam sebelum
kepulangannya. Sebelum sempurna menutup mata dan menyepikan detak jantungnya,
ibu sempat berbisik, “Hutan perawan. Suatu saat kau harus ke sana. Karena kau
perempuan. Kau harus melihat, betapa sulitnya merawat kesucian di zaman sekeruh
ini.”
Aku tak paham, apakah
itu tengah berbicara tentang kesucian gadis-gadis, ataukah ia cuma mengigau.
Namun, kata-kata ibu itulah yang kemudian terus mengiang. Atau jangan-jangan
itu sebuah wasiat yang wajib untuk kutunaikan? Suara ibu terus meracau di
telingaku, seperti dengung nyamuk yang tak henti-henti. Setelah menenangkan
diri dan menjernihkan pikiran, perlahan kubongkar kembali isi kepalaku yang
begitu ruah dengan masalah dan cerita-cerita.
Aku harus menemukan
cerita nenek yang berpuluh-puluh tahun mengendap itu. Aku harus segera
menemukan cerita itu. Hutan itu. Peri-peri itu. Sebelum usia meremasku menjadi
abu.
***
Ratusan cerita telah merestan
dalam kepalaku. Tumpang tindih. Dengan sabar kupunguti satu demi satu cerita
itu. Kuangkat dan kulempar jauh-jauh cerita-cerita berat yang kosong isi. Terengah-engah
dan berkeringat aku mencari cerita itu, seperti mencari sebuah barang yang
telah lama tertimbun dalam gudang yang tak pernah dibuka. Lama sekali kepalaku
berjibaku dengan masa lalu, hingga tiba-tiba ngiang suara ibu melemah, diganti
suara nenek yang serak, seperti puluhan tahun lalu…
“Apa kau suka cerita
tentang peri?” Ketika nenek menanyakan itu, yang tiba-tiba muncul dalam
kepalaku adalah capung-capung kecil yang memiliki tangan dan kaki seperti
manusia dengan wajah gadis mungil berpita bunga-bunga. Kemudian, nenek kembali
mengeluarkan suara. “Bagaimana dengan hutan? Kau suka hutan?”
“Hutan?” Aku terperangah. Karena yang muncul
dalam kepalaku adalah tempat yang sangat lembab dan gelap—yang dipenuhi
binatang-binatang kecil yang melata dan bersengat.
“Iya, hutan,” nenek
kembali bertutur, “tapi ini bukan sembarang hutan. Namanya hutan perawan, dan
di dalamnya hidup ratusan peri, peri keperawanan.”
Tanpa kusadari nenek
telah memulai ceritanya, dan aku mulai terseret ke dalamnya. “Hutan perawan tak
bisa dipisahkan dari jiwa-jiwa kesucian para gadis. Dan tak sembarang orang
bisa masuk ke dalam hutan itu, yang bisa menembus hutan itu hanya perempuan,
tapi juga tidak sembarang perempuan. Hanya perempuan yang memiliki kesucian,
yang bisa masuk ke dalam hutan itu, seperti aku dan ibumu.”
Aku melongo,
memerhatikan bibir nenek yang terus bergerak, “Kau tahu, hutan itu tersimpan di
dunia yang paling sunyi, di balik pagar nalarmu. Di kedalaman gua sadarmu. Dan
hutan itu sangat indah. Dalam hutan itu, rumput-rumpuh menghampar seluas jangka
pandang. Pohon-pohon dalam hutan itu bersinar hijau toska. Bunga-bunga liar
beraneka warna bermekaran di sana sini. Dan tahukah kau? Di dalam kelopak-kelopak
bunga itulah para peri tidur.”
Aku terbengong-bengong
di depan nenek. Antara sadar dan tidak. Seperti tersihir. Akhirnya aku pun
menanggapi cerita nenek. “Tadi, kata nenek, hutan perawan dan kesucian para
gadis tak bisa dipisahkan. Lalu, apa hubungan hutan perawan dengan kesucian
para gadis?”
“Ceritaku belum selesai,
Sayang,” lanjut nenek, “kau ingin tahu, siapa sebenarnya peri-peri dalam hutan
perawan itu?”
Aku mengangguk. Selanjutnya, nenek memintaku
untuk mendekakatkan telinga. Aku membungkuk ke arah bibir nenek. Bibir nenek
pun mendekat, kedua telapak tanganya membentuk corong yang mengarah ke
telingaku, sangat dekat, hingga hembusan napas nenek terdengar jelas sekali.
Kemudian nenek berbisik ke telingaku, seperti menyelipkan sebuah rahasia, “sebenarnya,
peri-peri itu adalah ruh keperawanan para gadis.”
Aku memicingkan mata berusaha
mencerna kata-kata nenek.
“Apa itu berarti, aku
juga salah seorang peri yang ada di sana?” tanyaku kemudian.
Nenek tersenyum,
mengangguk dan melanjutkan, “ya, selama kau menjaga kesucianmu.” Ketika itu,
tentu saja aku belum paham tentang kesucian yang dimaksudkan nenek.
“Berarti aku harus
rajin mandi supaya selalu bersih?” celetukku kemudian.
Nenek berdehem, “ya,
kau harus selalu memandikan dirimu dari apa-apa yang bisa membuatmu kotor. Kau
harus menjaga dirimu dari apa-apa yang bisa membuat kesucianmu hilang. Kesucianmu
sebagai seorang gadis.”
“Kesucian seorang
gadis?”
“Ya, setiap gadis
memiliki kesucian serupa mahkota bunga yang sangat indah dan bercahaya.”
“Berarti aku juga
memiliki mahkota bunga yang indah dan bercahaya?”
Nenek kembali berdehem,
“maka dari itu kau harus pandai-pandai merawatnya.”
“Lalu, mahkota bunga
itu, sekarang ada di mana, Nek?”
Nenek tersenyum, “bunga
itu ada di salah satu bagian tubuhmu, kelak kau akan tahu, Sayang. Baiklah.
Cerita nenek masih belum selesai. Kau mau mendengar lanjutannya?”
Aku mengangguk. Nenek
terdiam beberapa jenak, kemudian mengangkat suara, “Seperti yang sudah nenek
ceritakan, peri-peri itu adalah ruh keperawanan, kesucian para gadis. Dulu,
ketika nenek masih muda, peri-peri di hutan itu masih sangat banyak.
“Oh ya, nenek lupa
menceritakan bahwa sayap mereka sangat indah. Sayap mereka berkilauan dan
mengeluarkan cahaya kuning kehijauan seperti batu fosfor yang tersembunyi dalam
lembah gua yang purba. Mereka beterbangan mengitari bunga-bunga, bergerombol di
ceruk pohon, memetik embun, dan duduk bersandar di pucuk-pucuk daun yang baru
bersemi.
“Tapi itu dulu,” nenek
menghempaskan napas, “sekarang, kian hari, peri-peri dalam hutan itu kian
habis. Satu persatu mati.”
“Mati?” Aku tergagap, “apakah
mereka mati dibunuh, atau mati karena sudah tua?” tanyaku kemudian.
“Mereka mati, karena
mereka tak bisa terbang, mereka kehilangan sayap,” jawab nenek muram.
“Bagaimana mereka bisa
kehilangan sayap?”
“Jadi begini, jika ada
salah seorang gadis tidak dapat merawat kesuciannya, atau membiarkan kesuaciannya
hilang, maka otomatis akan ada satu peri yang mati karena kehhilangan sayap.
Sayap-sayap itu adalah nyawa mereka, kesucian mereka. Jika kesucian mereka
tanggal, maka sayap-sayap peri itu pun akan tanggal, dan mereka pun akan mati.”
Mendengar cerita nenek,
dahiku jadi berkeringat. Aku takut jika suatu saat nanti peri-ku akan mati
karena aku tak mampu menjaga kesucian yang dimaksudkan nenek.
“Nenek yakin, kau pasti
bisa menjaga kesucianmu hingga waktunya tiba. Yaitu ketika Tuhan mengirimkan
sebuah rumah yang penuh taman untuk kau letakkan kesucianmu di sana.” Nenek
menyelami kekhawatiranku. Dan detik itu, aku berjanji bahwa aku akan selalu
menjaga kesucianku, sayap peri-ku, hingga ia mendapatkan rumah yang seperti
dikatakan nenek.
***
Beberapa hari selepas
pemakan ibu, aku bertekad untuk mencari hutan itu. Hutan perawan, hutan
perawan, hutan perawan. Benarkah hutan itu ada? Lalu di mana letaknya? Bisakah
aku sampai di sana? Bisa, selama kau masih menjaga kesucianmu, karena hanya
permpuan-perempuan suci yang bisa menjamah hutan itu, kata-kata nenek menggeletar
di telinga. Aku kembali memutar otak. Absurd. Tempat itu tak mungkin ada. Itu
hanya cerita pengantar tidur. Hutan perawan dan peri-peri yang hidup di
dalamnya hanya ada dalam kepala nenek. Tapi, tunggu. Bukankah ibu juga berpesan
tentang hutan itu? Jadi? Entahlah.
Aku merebahkan tubuhku
di ranjang, seperti arca yang tumbang. Tak bergerak. Hanya mataku yang sesekali
berkerling-kerling. Sesuatu dalam kepalaku terus melaju. Menderu. Seperti roda-roda
mesin yang bekerja. Berputar. Berderak. Mendecit. Meraba. Mencari. Hutan
perawan. Peri-peri. Kesucian. Sayap-sayap. Aku akan mencari hutan itu. Aku
harus mencari hutan ityu. Aku harus menemukan hutan itu. Ruh keperawan dan
kesucian itu. Peri-peri itu.
Akhirnya aku pun terjun
dalam pencarian yang panjang. Menerobos pagar nalar. Menapak jalan setapak yang
mencuat dalam kepalaku. Mengambah gerbang hutan yang mencekam, seperti berjalan
di tengah labirin remang dengan dinding yang mulai retak. Aku yakin hutan itu
pasti ada. Aku hanya butuh terpejam dan berpikir sedikit lebih lama. Aku hanya
butuh percaya, dan kemudian melepas batas nalar dan mencarinya.
Lama sekali. Jauh
sekali. Dalam sekali. Di palung kesadaran yang paling sunyi. Setelah keluar
masuk lorong yang penuh dengan semak
kegamangan, akhirnya aku sampai di tempat itu. Hutan perawan. Persis seperti
yang di ceritakan nenek. Karena sangking dalamnya, hutan itu seperti terletak dalam sebuah gua. Namun gua
itu tidak gelap. Karena pohon-pohon di dalamnya mengeluarkan sinar yang sangat
cerlang. Dari kejauhan, hutan itu tampak seperti dihinggapi jutaan kunang-kunang.
Jantungku berdegup keras. Aku berlari kecil menyongsong hutan itu
Namun dari kejauhan,
aku terperangah. Aku melihat butiran putih, ringan, berguguran. Seperti salju.
Atau memang salju? Aku mendekat. Semakin dekat. Dan yang berguguran itu, yang
berguguran itu bukan salju. Bukan. Tapi seperti… sayap. Hujan sayap. Sayap-sayap
peri. Benarkah? Puluhan sayap. Ratusan sayap. Ribuan sayap. Oh, benarkah ini
sayap-sayap peri? Aku terus berlari, menelusup ke kedalaman hutan itu. Tiba-tiba
kekhawatiran menelusup bagai rasa pahit yang diresapkan jarum suntik.
Semakin dalam. Aku pun
semakin berlari. Hanya ada pohon-pohon yang tiba-tiba sinarnya mulai melemah.
Juga bunga-bunga yang merunduk layu. Tak satu peri pun kujumpai. Aku terus berlari.
Semakin dalam. Sayap-sayap terus berkeriap. Berguguran. Melayang-layang di
udara. Jatuh terkulai di rerumputan dan repih menjadi hitam, menjadi abu. Tiba-tiba
aku ingin menangis. Namun, ketika mataku mulai perih, tiba-tiba seekor peri muncul
di hadapanku. Peri dengan wajah muram, namun kedua sayapnya masih tampak
berkilauan. Peri itu terbang berketititran mengitari kepalaku.
Peri itu terus
mengikutiku dengan nguing suara seperti tangisan. Tubuhku turut lemas. Aku
bersimpuh di jantung hutan perawan. Memandangi sayap-sayap yang terus
berguguran bagai hujan. Tiba-tiba aku teringat tentang kesucian para gadis,
kesucian para puan. Detik itu aku gemetar, memandangi satu-satunya peri yang masih
tersisa di hutan itu.***
Malang,
2013
0 komentar:
Posting Komentar