Hujan ini hanya turun di
sini, di bawah pohon ini. Pohon yang menjulang di tanah lapang, di tengah perkampungan kami. Kami tak pernah mengerti
bagimana pohon itu bisa tumbuh di sini. Ia seperti sebuah
mukjizat yang muncul begitu saja tanpa seorang pun dapat meriwayatkan bagimana
awal mulanya. Bagi kami, pohon itu tak ubahnya mata air yang memberi kehidupan
bagi kampung kami yang kerontang. Dan karena pohon itu mencurahkan hujan yang
tak berkesudahan. Maka moyang kami menamainya sebagai pohon penghujan.
***
Bocah-bocah di kampung kami, entah laki-laki entah
perempuan, kerap bermain dan berlarian di bawah pohon itu. Sekadar untuk
menikmati guyuran hujan. Seperti yang biasa mereka lakukan ketika musim hujan
tiba. Di bawah pohon itu, tubuh mereka kuyup menggigil seperti anak-anak kucing
yang terjebak dalam parit. Sesekali bocah-bocah itu menengadahkan kepala,
membuka mulut lebar-lebar, membiarkan titik-titik air masuk ke mulut mereka.
Beberapa saat kemudian, jika bocah-bocah itu sudah merasa teramat gigil, mereka
akan menepi, menjauhi pohon yang terus mengucurkan hujan itu.
“Dingiiiin.”
“Iya. Gigiku sampai gemeletakkan.”
“Tapi segar.”
“Iya. Tapi segar.”
“Apa kau tidak dimarahi ibumu, main hujan-hujanan
begini.”
“Iya, ya.”
“Kok iya,
ya.”
“Soalnya, ibuku pernah bercerita, waktu kecil ia
juga suka main hujan-hujanan di sini.”
“Begitu, ya?”
“Hem.”
“Hei, coba lihat!”
“Apa?”
“Pohon itu!”
“Kenapa?”
“Aneh ya?”
“Aneh? Apanya yang aneh?”
“Ya hujannya. Hujan kan biasanya turun dari langit.
Nah, ini dari pohon.”
“Menurutku ini tidak aneh, ajaib malah.”
“Sama saja aneh atau ajaib.”
“Iya, ya.”
“Kalau di pelajaran IPA hujan itu turun karena
matahari menyerap air laut dan menjadikannya mendung, kemudian mendung itu
mencair dan berubah menjadi hujan. Kalau pohon ini, bagaimana ya?”
“Menurutku pohon ini juga menyerap air, tapi
langsung dari tanah, kemudian menjadikannya daun yang menggumpal seperti
mendung itu, lalu hujan deh…”
“Mmm, begitu, ya.”
“Mungkin.”
“Main lagi yuk!”
***
Ruahan air terus merembes
melumuri batang pohon itu, yang lainya merinai dari dahan-dahan,
ranting, dan tangkai. Hujan itu mederas begitu rupa seperti juntaian-juntaian
benang yang diulurkan dari ketinggian. Dahan-dahan pohon itu dipenuhi oleh
gumpalan daun yang kami yakini sebagai mendung. Mendung-mendung terus berarak
perlahan-lahan, dari satu dahan ke dahan yang lain, dari satu cabang ke cabang
yang lain. Dari kejauhan, mungkin pohon itu tampak seperti sebuah pohon yang tergores
dalam lukisan abstrak. Begitu buram dan muram.
***
Sepasang kekasih tengah berdiri mematung di bawah
payung, di tepian pohon itu. Kaki mereka kedinginan oleh percikan air yang tak
terhindarkan. Sesekali mereka saling merapat. Mata mereka menghunjam jauh menembus
derai hujan. Mereka seperti tengah meraba sebuah keindahan yang membuat
keduanya semakin tenggelam dalam perasaan. Sesekali tangan mereka menjulur
melampaui batas payung, telapak tangan mereka menengadah, membiarkan titik-titik
hujan menyentuh jari-jemari mereka.
“Indah sekali,” bisik yang perempuan.
“Iya, indah sekali.”
“Seandainya pohon ini tumbuh di
halaman rumah kita.”
“Jangan, ah, nanti halaman rumah
kita jadi becek semua.”
“Seandainya kita bisa menikmati
hujan ini dari balik jendela.”
“Untuk yang satu itu, kau bisa
menunggu sampai musim hujan tiba.”
“Seandainya pohon ini ada di mana-mana?”
“Sudah, ah. Jangan banyak berandai-andai,
tidak sopan.”
“Kira-kira, apa ya yang ada di atas
pohon sana? Apa pohon ini memiliki daun, bunga, dan buah?”
“Entahlah, tapi, kukira yang ada di
atas sana hanya dahan-dahan dan ranting-ranting yang dilumuri awan.”
“Tapi ini kan pohon, pohon kan
biasanya mempunyai daun, bunga, dan buah.”
“Tapi ini kan pohon hujan, mungkin
daun-daunnya berupa awan, bunga-bunganya berupa guntur, dan buahnya adalah
hujan itu sendiri. Bukankah sebuah pohon disebut karena buahnya. Pohon mangga disebut
pohon mangga karena berbuah mangga, pohon durian disebut pohon durian karena
berbuah durian, dan sebagainya…”
“Bagaimana kalau buah-buah itu
disebut justru karena pohonnya?”
“Apa itu penting?”
“Entahlah.”
“Yang penting adalah kita masih
bisa menikmati hawa romantis di bawah pohon hujan ini.”
“Romantis? Apanya yang romantis?”
“Ya hujannya. Hujan kan simbol
keromantisan.”
“Aku baru mendengarnya.”
“Sudah, ah. Aku tak ingin berdebat
lagi.”
“Hmm, di sini cukup dingin.”
“Merapatlah kalau begitu.”
***
Tak seorang pun dapat meraba apa
saja yang tersimpan di ketinggian pohon itu. Tak seorangpun sanggup memanjatnya.
Bonggol pohon itu begitu licin dan dipenuhi lumut. Air seperti terus merembes
dari pori-pori kayu. Pohon itu seperti menyengaja untuk menutup dirinya. Ia
adalah pohon abadi yang lebih suka menyimpan teka-teki dan rahasianya sendiri. Hingga
kami merasa bahwa kami tak perlu lagi mencari tahu mengenai biografi pohon itu.
Dapat menikmati airnya yang mengalir tanpa jeda itu, bagi kami adalah sebuah
anugerah yang tak elok untuk dirusak dengan prasangka-prasangka.
***
Setiap kemarau panjang menjerang,
sumur-sumur penduduk selalu diliputi kekeringan. Musabab itulah, saban hari,
orang-orang kampung akan menyambangi pohon itu dengan membawa jerigen atau
ember wadah air. Mereka akan mengangsu air-air itu ke rumah-rumah mereka, untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari: minum, memasak, mandi, sampai mencuci. Maka—khususnya pada musim kemarau, pohon itu
tak pernah sepi. Sambil menunggu wadah air mereka terisi penuh, mereka akan
berbincang banyak hal yang bahkan, terkadang tak mereka sadari.
“Hei?”
“Apa?”
“Tidakkah kau penasaran dengan
pohon itu? Kira-kira apa ya yang ada di ujung sana?”
“Entahlah, bapak ibuku tak pernah
mengajarkanku untuk bertanya-tanya seperti itu.”
“Kenapa?”
“Sudahlah, jangan banyak bertanya.”
“Tapi kenapa?”
“Aduh, kau bertanya lagi”
“Aku kan hanya ingin tahu.”
“Kalau begitu ketahuilah apa yang
pernah diajarkan ibuku padaku.”
“Tentang apa?”
“Kata ibu, di dunia ini ada
beberapa hal yang tak perlu kita tanyakan keberadaanya—hanya perlu kita
syukuri.”
“Tapi, Tuhan kan menciptakan
manusia dengan rasa ingin tahu.”
“Sudah kukatakan, ada beberapa hal
yang tak perlu kita ketahui jawabannya, karena, adakalanya rasa ingin tahu
manusia itu berbahaya, atau bahkan merusak sesuatu.”
“Maksudmu?”
“Bagaimana, ya menjelaskannya?
Begini, tentu kau pernah mendengar cerita tentang Adam dan Hawa. Nah, bukankah mereka diusir dari surga karena rasa ingin
tahu mereka tentang Khuldi.”
“Tapi ini kan bukan pohon Khuldi,
lagi pula tak ada yang menyuruh kita untuk menjauhi pohon ini.”
“Kalau begitu, kau pikir mengapa
tak seorang pun berhasil memanjat pohon ini dan mengetahui apa-apa yang ada di
atas sana.”
“Mungkin mereka tak benar-benar
ingin tahu.”
“Dan mengapa mereka tak benar-benar
ingin tahu? Karena itu tak berpaedah.”
“Mmm…”
“Airku sudah penuh. Aku pulang
dulu!”
“Mmm…”
***
Dan pohon itu seperti memiliki
dunianya sendiri, memiliki musim sendiri, memiliki lorong waktu sendiri. Ia
hidup dengan keajaibannya sendiri.
Setiap malam merembang—dan pohon
itu menjadi sendiri diliputi kesunyian, dari kejauhan, kami terus menyimak gemericiknya
yang setia. Seperti gumaman seorang ibu yang setia menidurkan anaknya.
Mendengar rinai itu hati kami menjadi damai. Rasa ingin tahu dalam diri kami
menjelma menjadi riak-riak kecil yang tak begitu berarti. Maka, kami tak punya
pilihan lain kecuali membiarkan pohon itu terus tumbuh dan mengguyurkan
keajaibannya: hujan yang turun sepanjang masa.***
Ketika
hujan turun ragu-ragu,
Malang,
November 2012
0 komentar:
Posting Komentar