Lelaki itu baru saja
bertengkar dengan istrinya. Musababnya perkara remeh: sepulang kerja lelaki itu
lapar dan di meja makan tak ada makanan.
“Kau tak masak?” serunya
pada istrinya yang tengah panik menimang-nimang balitanya yang terus-terusan
menangis.
“Gak sempat masak, anakmu
gak enak badan, seharian rewel, nggak bisa ditinggal,” jawab istrinya dengan
intonasi datar.
“Apa tak ada bakso atau
sate padang lewat depan rumah?” lelaki itu bertanya lagi.
“Ada, lewat, tapi nggak
sempat manggil,” jawab istrinya masih dengan suara datar.
“Butuh waktu berapa lama
sih untuk manggil tukang bakso, orang tinggal panggil, tunggu, bayar, selesai…
Pulang kerja, lelah, laper, di rumah tidak ada makanan, begini ini yang bikin
jengkel,” suara lelaki itu sedikit meninggi.
“Kau pikir tak lelah
mengurusi bayi yang rewel, tak mau tidur, tak mau mimik, nangis terus, aku juga
lelah, bahkan aku sendiri juga belum makan,” jawab istrinya sambil terus mendiam-diamkan
bayinya yang terus merengek.
“Iya, tapi apa susahnya
panggil tukang bakso. Kalau memang lelah, gak sempat, tidak masak juga tidak
apa-apa, tapi apa pantas suami pulang hanya disuguhi angin begini!”
“Kau tak tahu bagaimana
rasanya ngurus bayi, apalagi kalau rewel begini, bawaannya bikin emosi…”
“Kau ibunya, itu tugasmu,
seharusnya kau lebih telaten pada anakmu dan tidak banyak mengeluh seperti
itu.”
“Siapa yang mengeluh, aku
cuma capek. Semua-mua tugasku, masak, nyuci, nyetrika, ngepel, ngurus bayi…
sementara kau di kantor bisa bekerja sambil duduk-duduk bersendau gurau…”
“Kok ngomongnya begitu? Duduk-duduk
sambil bersendau gurau katamu? Kau pikir suamimu ini bos? Suamimu ini cuma OB.
Kau pikir tidak bersusah payah? Motoran berangkat pagi pulang sore, terjebak
macet, kelaparan di jalan… belum lagi di kantor orang-orang mintanya macem-macem.
Kalau ngomong itu dipikir, jangan asal ngoceh.”
“Situ jadi lelaki jangan
manja, kan situ bisa keluar sebentar, ke warung kek, atau bikin mie instan
sendiri kek… orang kok mintanya dilayanin terus, iya kalau yang ngelayanin sehat
terus. Ngurus bayi itu butuh tenaga ekstra, kau tak pernah tahu itu, tengok
sendiri, cucian sampai numpuk belum tersentuh.”
“Selalu ngurus anak jadi
alasan, kau saja yang malas. Lihat saja rumah kayak kapal pecah begini.”
“Tanganku cuma dua, kalau
mau semuanya beres ya cari pembantu sana, tapi gajimu sebagai OB itu mana cukup
buat bayar pembantu, buat harian aja sudah ngos-ngosan… ” istrinya membalas
dengan sinis.
“Mulut perempuan yang
begitu itu yang bikin lelaki pada selingkuh!” tandas lelaki itu dengan wajah
membara, sejurus kemudian ia menggebrak meja, menyahut kunci sepeda motornya
dan beringsut keluar rumah.
Istrinya tercenung
sambari menatap wajah bayinya yang mulai mengantuk. Perlahan-lahan didengarnya
deruman sepeda motor pergi menjauh. Perempuan masih menatap bayi mungilnya. Air
matanya luruh dan jatuh tepat ke kening bayinya. Bayi itu menggeliat.
***
Lelaki itu melajukan
sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Langit mulai gelap. Ia tak tahu hendak
pergi ke mana, tetapi ia ingat, tujuannya utamanya pergi dari rumah adalah
untuk mengisi perutnya yang lapar. Namun, rasa lapar di perutnya telah hilang lantaran
pertengkaran yang barusan itu. Lelaki itu terus melajukan sepeda motornya. Membelah
gelap. Ketika dirasainya udara menjadi dingin ia pun berhenti di sebuah
restoran remang-remang di sisian jalan.
Ia sering melewati jalan
itu ketika berangkat dan pulang kerja, namun ia tak pernah tahu kalau di sisian
jalan itu ada sebuah restoran besar. Seingatnya di daerah itu hanya ada warung-warung
kecil yang menjajakan ikan mentah di pagi dan sore hari, yang lainnya hanya tambak
dan gerumbul semak.
Ia tak peduli, rasanya
malam itu ia tak ingin pulang, ia masih sangat jengkel kepada istrinya. Lelaki
itu pun masuk dan duduk di kursi paling tepi, sebelah kanan. Seorang pelayan
menghampirinya dengan buku menu dan menunggunya sejenak.
“Gurami asam manis satu,
nasi putih satu, es degan satu, air mineral satu, yang botol kecil saja,”
pintanya pada pelayan yang masih berdiri di sebelahnya. Si pelayan tersenyum,
menyebutkan ulang menu-menu yang ia pesan dan berlalu.
Lelaki itu tercenung,
memandang ke depan: orang-orang yang tengah asik makan, bercanda tawa, dan
berbincang-bincang dengan suara sayup. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana.
Sejenak baru disadarinya bahwa menu yang ia pesan belum juga datang. Ia terus
menunggu dan menunngu, melamun dan melamun. Dilihatnya orang-orang berlalu
lalang, datang dan pergi. Anak-anak kecil, para remaja, orang-orang dewasa,
para manula. Semuanya datang dan pergi. Ia masih melihat beberapa pelayan yang
sama dengan pakaian seragam yang sama dengan wajah yang telah menjadi keriput
dan tua.
Kursi dan meja tempat ia
duduk mendadak berdebu, usang, dan kemudian berubah warna. Ia terduduk diam di
atas kursi yang terus berganti-ganti dengan sendirinya. Lelaki itu seperti
berada dalam mimpi, namun ia masih tak bergerak, melamunkan entah. Ketika
seorang pelayan mendekatinya dan mengantarkan beberapa menu yang ia pesan, ia sempat
terlonjak, seperti terbangun dari khayalan.
“Lama sekali,” gumamnya.
Pelayan itu tersenyum dan
membalas, “sepuluh tahun.”
Lelaki itu seperti
mendengar sebuah gurauan yang tak lucu, ia tak ambil pusing, ia pun makan
dengan lahap, membayar, dan kemudian pulang. Begitu keluar dari halaman
restoran itu, ia mengernyitkan dahi. Tambak ataupun semak yang seharusnya ada
di daerah itu telah hilang digantikan rumah-rumah baru yang terlihat begitu
asing. Meski sedikit bingung, ia tak peduli, ia terus melajukan motornya
menelusuri jalan-jalan yang masih ia ingat. Ia merasa perjalanannya barusan
terlalu jauh dan melelahkan. Tiba-tiba ia ingin cepat sampai rumah dan memeluk
istrinya untuk meminta maaf.
Begitu sampai di depan
rumah, matahari telah bersinar dengan kilaunya, lelaki itu berjalan ragu. Ia
tak yakin itu rumahnya. Hingga seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun
berteriak-teriak, “Mama-mama ada orang gila di depan rumah.”
Seorang perempuan yang
sangat ia kenal keluar dari balik pintu dan terdiam menatapnya, cukup lama.
Tiba-tiba perempuan itu berlari memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Ia
semakin bingung.
“Sepuluh tahun Mas
menghilang, akhirnya pulang juga,” ujar perempuan itu terbata-bata. Sementara
bocah kecil di beranda masih terus menatapnya.***
Malang, 2014
0 komentar:
Posting Komentar