Perempuan itu duduk dengan sangat tenang, sambil menyulam bibirnya
sendiri. Tangannya bergerak runtun. Jarum mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan
tertib ke bibirnya. Lantas ditariknya kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang
jatuh. Berjuntaian.
Sulaman itu begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka
berarti. Ia menjahitnya begitu saja. Seperti menjahit sebuah kain yang
terbelah. Seperti menjahit sebuah luka yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu serapat-rapatnya. Sampai
tak ada lagi celah di antara dua bibirnya yang bisa mengeluarkan suara. Benar-benar
rapat. Serapat-rapatnya.
***
Semula, ia adalah perempuan
yang banyak sekali bicara. Setiap orang yang ia temui, entah ia kenal entah tidak,
akan ia ajak bicara. Bicara apa saja. Objeknya pun bisa siapa saja. Di mana
saja dan kapan saja. Perempuan itu akan terus bicara. Sampai mulutnya berbusa-busa.
Dan mengeluarkan bau yang sangat tidak sedap.
Semula, perempuan itu
tidak menyadari akan bau yang sangat busuk, yang menguar dari mulutnya itu.
Hingga suatu ketika, satu persatu, orang yang ia ajak bicara selalu menutup
hidung, mata, dan telinga mereka. Beberapa yang lain, memilih untuk menghindar,
meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ketika ia bertanya, apa yang salah dengan ucapannya,
beberapa orang memilih untuk jujur, dengan mengatakan, bahwa setiap ucapan yang
keluar dari mulutnya, tidak hanya bau, tapi juga buas, tajam, beracun, dan bisa
membunuh siapa pun.
Maka, serta merta,
perempuan itu menyadari sesuatu, bahwa mungkin, semua keluarganya—bapak, ibu,
dan adik perempuannya—yang tewas beberapa tahun silam itu, tak lain dan tak
bukan disebabkan oleh sesuatu yang menyembul dari sebuah liang purba di anatara
dua bibirnya.
Mendadak, perempuan itu
teringat kata-kata bapaknya—yang seorang pemburu, “Mulutmu adalah harimau buas,
jika kau tidak bisa menjadi pawang yang baik, jika kau tak bisa mengendalikannya
dengan baik, kau akan diterkamnya sendiri.”
Bebarapa hari setelah
mengatakan itu, pada suatu malam bapaknya dinyatakan hilang di hutan saat melakukan
perburuan, hingga paginya, ketika dilakukan pencarian, bapaknya sudah ditemukan
tewas terperosok ke dalam jurang, dengan tubuh penuh luka sayatan, luka yang
memanjang seperti bekas cakaran binatang buas. Ketika itu, ia hanya menerka-nerka,
bahwa bapaknya tewas diterkam binatang ganas sebelum akhirnya terlempar ke ceruk
jurang.
Namun, jika ditelusuri,
sebenarnya ia sendiri yang membujuk bapaknya untuk berburu ke hutan malam-malam.
Saat malam hari, semua binatang yang
bersembunyi akan keluar dari sarangnya, jadi bapak akan pulang dengan binatang
buruan yang melimpah, begitulah ia meyakinkan bapaknya dengan kata-kata. Hingga
bapaknya benar-benar berangakat ke hutan jelang malam-malam buta.
Kini, perempuan itu mulai
berani menyimpulkan sesuatu, tentang harimau buas yang dituturkan bapaknya.
Jika harimau itu bisa menerkam pemiliknya sendiri, bukan tidak mungkin ia akan menerkam
dan melukai orang yang ada di sekitarnya. Kematian bapaknya adalah sebuah bukti
nyata, demikian ia menyimpulkan.
***
Beberapa bulan setelah
bapaknya meninggal dikoyak binatang buas. Ibunya, yang seorang penjual daging, juga
ditemukan tewas dengan beberapa luka tusukan di tubuhnya. Kabar yang beredar
ketika itu adalah, ibunya telah menjadi korban perampokan yang beberapa waktu
terakhir kian marak. Hal tersebut dibuktikan oleh barang-barang dan perhiasan
yang dibawa ibunya yang turut raib. Mendadak, ia teringat bahwa beberapa waktu
sebelum ibunya ditemukan tewas, ibunya pernah bertutur padanya, “Mulutmu adalah
pisau, Nak. Tajam dan bisa menghunjam apa saja. Jika kau tak menggunakannya
dengan baik, kau bisa tersayat sendiri olehnya.”
Beberapa waktu, jauh
sebelum kejadian itu, ia selalu berkoar pada banyak orang, bahwa ibunya adalah
seorang perempuan yang sangat pelit. Tak pernah sudi mengeluarkan sepeser uang
pun untuk menyenangkan anaknya. Padahal ia tahu, ibunya punya banyak uang dan
perhiasan yang nilainya jutaan. Ketika itu, ia juga sempat menjabarkan
kebiasaan buruk ibunya, yang suka menyembunyikan aneka perhiasan dalam dompet
butut yang selalu dibawanya kemana ia pergi.
Kini, barulah perempuan
itu mafhum mengenai pisau yang dibicarakan ibunya.
***
Mengenai adik perempuanya
yang meninggal karena menenggak racun, ia mulai meraba-raba, dan satu hal yang
kemudian hinggap dalam ingatannya. Suatu ketika, adik perempuannya itu pernah
berkata, “Mulutmu adalah gua beracun, jadi, lebih baik tidak terlalu sering kau
membukanya. Kau tahu, racun itu sangat berbahaya, bisa dengan mudah dihirup
siapa saja dan membunuh siapa saja.”
Beberapa hari setelah
itu, secara tak sengaja, ia memergoki kekasih adiknya tengah berduaan dengan
gadis lain. Dan baginya, perkara semacam itu adalah perkara yang wajib ia
ceritakan. Maka, sesampainya di rumah, ia menceritakan perselingkuhan itu pada
adiknya, dengan sedikit bumbu-bumbu supaya semakin pedas. Maka terjadilah
pertengkaran hebat antara sepasang kekasih itu. Berselang waktu, lambat laun,
adiknya menjadi seorang gadis yang sangat pemurung. Tak banyak kata. Suka
menyendiri. Mengurung diri dalam kamar. Hingga suatu malam, ia ditemukan tewas dengan
mulut penuh busa. Sebuah racun serangga tergeletak bungkam di sebelahnya.
Satu persatu, perempuan
itu mulai merunut, hingga ia menemukan akar dari semua permasalahan, yakni sebuah
liang yang menganga di wajahnya, sebuah mulut, mulutnya sendiri. Mulutnya yang sangat buas seperti harimau.
Mulutnya yang kelewat tajam seperti mata pisau. Dan mulutnya yang amat
berbahaya seperti bisa.
Menyadari dirinya telah
berubah menjadi monster yang telah mencelakakan dan dijauhi banyak orang,
perempuan itu memutuskan untuk menjahit mulutnya sendiri. Menutup satu-satunya pintu
paling berbahaya yang selama ini telah menyusahkan banyak orang. Bahkan
membunuh orang-orang tercinta. Ya, pintu itu harus ditutup segera. Serapat-rapatnya.
***
Dengan sangat tekun,
perempuan itu menyulam bibirnya sendiri. Tangannya bergerak runtun. Jarum
mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan tertib ke bibirnya. Lantas ditariknya
kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang jatuh. Berjuntaian.
Sulaman itu begitu rapi
dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka berarti. Ia menjahitnya begitu
saja. Seperti menjahit sebuah kain yang terbelah. Seperti menjahit sebuah luka
yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu serapat-rapatnya. Sampai tak ada lagi celah
di antara dua bibirnya yang bisa mengeluarkan suara. Benar-benar rapat. Serapat-rapatnya.
Usai menamatkan
jahitannya, perempuan itu berjalan terhuyung mendekati cermin. Dengan saksama,
ia memerhatikan mulutnya sendiri yang kini telah terbekap rapat oleh sulaman
benang. Dirabanya mulut itu pelan-pelan. Hati-hati. Dari kiri ke kanan. Dari
kanan ke kiri. Benar-benar rapat. Ia menghela napas lega. Pintu bencana yang
selama ini terbuka telah sempurna ditutupnya.
Detik itu, ia hendak tersenyum
puas. Namun, ketika ia hendak tersenyum, mendadak ada yang sangat nyeri di
sekitar bibirnya. Seketika itu pula ia menyadari, bahwa bibirnya tak mungkin bisa
ia ajak tersenyum lagi. Karna bibirnya telah tertutup rapat oleh jahitan.***
Malang, 2014
1 komentar:
Kereeeen cerpennya :)))
Posting Komentar