Stasiun Kota Baru
diguyur gerimis, senja itu. Sedikit berangin. Aku duduk tercenung seorang diri
di kursi tunggu penumpang, menunggu kedatangan kereta dari Surabaya. Tujuh
Flamboyan raksasa berjajar di sepanjang tepian stasiun. Kelopak-kelopak merah
menyala itu berterbang ke mana-mana. Larung terbawa angin dan menari di udara. Rebah
di teras stasiun dan terinjak-injak kaki yang tergesa. Tersangkut tubuh kereta
yang tengah melaju. Berserakan di bawah bantalan rel kereta. Seperti potongan
cinta yang membara, yang bersembunyi di balik sosok-sosok yang kumal.
Aku masih tercenung di
kursi tunggu penumpang. Memeluk tas butut berisi pakaian kumal. Melamunkan
entah.
Di kursi yang lain,
beberapa orang tampak saling berbincang. Sesekali peluit bertiup panjang. Jam
kereta ekskutif menuju Jakarta selalu datang tepat waktu. Tak seperti kereta ekonomi
yang selalu berhenti lama di stasiun-stasiun kecil, lantaran selalu dikalahkan
oleh kereta-kereta ekskutif yang harganya hampir lima kali lipat dari kereta biasa.
Tapi aku suka jika kereta ekonomi menuju Jakarta datang terlambat. Karena aku
bisa berlama-lama menakjubi keindahan stasiun Kota Baru—yang menurutku—selalu beraroma
cinta.
Di kursi tunggu
penumpang, tempatku duduk itulah, aku bertemu Sarwito. Lelaki aneh yang
mengenakan pakaian kusut kedodoran, yang dongengnya selalu ingin kembali
kudongengkan pada setiap orang yang kutemui. Lelaki krempeng itu menyapaku
seolah-olah kami sudah sangat karib. Ia menepuk-nepuk pundakku, beberapa kali,
seraya bertanya kabar.
“Kau makin gemuk saja,
sudah lupa, ya. Saya Sarwito, kita bertemu di Gubeng beberapa bulan lalu,”
katanya.
Tentu saja aku ling-lung,
menerka-nerka, benarkah ingatanku sudah sangat buruk sehingga tak bisa mengingat
kembali wajah-wajah orang yang pernah kukenal.
“Sarwito?” barangkali
alisku bertaut menjadi satu lantaran aku tak yakin pernah mengenal orang itu
sebelumnya.
“Iya, Sarwito, si juru
dongeng. Bukankah waktu itu kau semangat sekali mendengar dongeng-dongengku,”
lelaki berpawakan antik itu kian mengada-ada. Maka, aku segera menyimpulkan,
bahwa ia hanya orang gila yang butuh banyak bicara.
“Dongeng?” ekspresiku
masih sama.
“Apa kau ingin
mendengarnya lagi? Dongeng-dongeng yang lain, maksudku. Aku masih punya banyak
dongeng.”
Aku tidak menyahut.
Melemparkan pandangan ke rerimbun Flamboyan yang begitu memesona, berbeda
sekali dengan lelaki butut di sebelahku. Melihatku tidak menggubrisnya, ia ikut-ikut
melemparkan pandangan ke arah yang sama. Tapi bibirnya juga mulai menyerocos.
“Kau pernah mendengar
cerita tentang sebuah keluarga di pedalaman Jepang? Keluarga ini aneh sekali.
Terutama ibunya.”
Aku tak berniat
mendengar ocehannya, tapi suaranya yang parau itu seperti pengantri tiket
kereta, terus berdesak-desakkan, menerobos telingaku.
“Keluarga itu tidak
lengkap. Dan tidak bahagia. Hanya ada satu ibu dan tiga anak lelakinya yang
kembar.”
Aku hampir saja
bertanya, bapaknya ke mana? Tapi aku
tak ingin ketularan gila, jadi aku tetap bersikap seolah tidak menggubrisnya.
“Bapaknya tewas
terbakar matahari ketika tengah memanen buah aprikot di ladang majikannya.”
“Buah apa?”
“Aprikot.”
“Buah apa itu?”
“Ya buah beneran. Di
Indonesia nggak ada buah aprikot, adanya di asia timur sana. Buahnya bulet-bulet
mirip sawo, dan rasanya manis sedikit asam.”
“Ooo…”
Ia diam agak lama
sebelum mengatakan, “Kau ada cerutu?”
Aku menggeleng, “Permen
ada.”
“Sini, permen juga
tidak apa-apa. Aku tak bisa meneruskan cerita kalau mulutku kering. Oh ya,
sampai mana tadi ceritaku?”
“Bapaknya tewas
terbakar matahari,” sahutku spontan.
Aku berharap kereta
menuju Jakarta segera datang, sehingga aku tak perlu berlama-lama menjadi
korban cericit lelaki aneh bernama Sarwito itu.
“Bapaknya tewas
terbakar matahari, sampai hangus. Anehnya, para pekerja lain, termasuk buah-buah
aprikot yang ada di ladang itu utuh, tidak tersentuh, malah kian segar. Sejak
itu istrinya menganggap matahari punya dendam terhadap dirinya, keluarganya.
Hatta ia memutuskan, bahwa matahari akan menjadi seterunya, sampai akhir
hayatnya.” Ceritanya semakin aneh, tapi, rasanya, aku semakin tertarik.
“Sejak kejadian itu,
sang ibu melarang anak-anaknya keluar rumah di siang hari, ‘Ibu mengharamkan
kalian membuka tirai jendela, apalagi daun pintu,’ kata sang ibu, ‘kalian harus
tahu, bahwa matahari adalah raksasa yang kejam yang telah menelan bapak kalian
dengan lidahnya yang berkobar. Jadi, selama matahari berpijar, kalian tak boleh
keluar rumah. Kalian harus tetap berada di dalam rumah. Kecuali kalian ingin mati
hangus seperti bapak kalian. Mengerti?’ Anak-anak kecil itu terdiam seperti
ketakutan. Mereka melihat api di mata ibu mereka yang selalu marah di siang
hari.”
Ceritanya kian tak
masuk akal. Aku mulai melirik lelaki itu. Ia bercerita seperti menceritakan
dirinya sendiri. Permen yang ada dimulutnya hancur dikremusnya.
“Masih ada lagi
permennya?” ia menoleh ke arahku. Serta merta aku merogoh saku dan mengeluarkan
sebungkus permen untuknya. Ia membukannya perlahan dan segera melemparkan
butiran permen itu ke mulutnya.
“Kau tahu, apa yang
kemudian terjadi pada anak-anak malang itu?” ia berbicara sambil mengulum
permen itu perlahan. “Mereka anak-anak kecil yang sangat polos, tentu saja
mereka mendengarkan dengan baik kata-kata ibunya. Singkatnya, selama bertahun-tahun,
mereka hidup seperti kalong, seperti vampire. Tidur mendengkur memeluk mimpi di
siang hari dan bekerja, beraktifitas di malam hari.”
Lelaki itu mematung
beberapa saat. Ia seperti menyelami nasib anak-anak malang yang ada dalam
ceritanya.
“Lalu,” aku mengangkat
suara, seperti tak rela jika tiba-tiba cerita berakhir sampai di situ.
“Seiring waktu, usia
anak-anak itu merembang dewasa. Mereka tak begitu kenal dengan makhluk bernama
tetangga. Orang-orang di sekitar mereka pun sudah menganggap keluarga itu
sebagai keluarga aneh, keluarga yang terdiri dari orang-orang gila yang aneh.
Hingga tak satupun merasa perlu untuk peduli atau sekedar bertegur sapa.”
Ia terdiam lagi.
Sepertinya, permen di mulutnya sudah habis.
“Permen?” silih aku
yang memancingnya. Ia tak menjawab, tapi tangan terulur menyahut permen dari
tanganku. Ia membuka bungkusnya perlahan dan melemparkan butir permen itu ke
mulutnya, seperti sebelum-sebelumnya.
“Karena anak-anak itu
sudah mulai dewasa, mereka pun sudah mulai bisa berpikir lebih. Hanya saja, di
antara ketiga anak kembar itu, hanya satu orang saja yang benar-benar meragukan
kata-kata ibunya. Berjibun pertanyaan menyeruak ke benaknya. Rasa penasarannya
terhadap sosok matahari pun kian meraja. Ia hampir lupa seperti apa sosok
monster raksasa bernama matahari itu. Tapi, yang ia ingat, ketika ia masih
kecil, ketika bapak mereka masih hidup dan ibu masih mengizinkannya keluar
rumah di siang hari, sosok matahari adalah sosok yang indah. Bundar dan
bersinar seperti rembulan yang selalu ia kagumi di malam hari. Bahkan, matahari
lebih indah lagi, bisa menumbuhkan rerumputan dan bunga-bunga, bias nebgilaukan
embun pagi dan mengundang cericit beburung.
“Anak itu pun akhirnya
memutuskan untuk mengkhianati ibunya. Dua anak di antaranya pun tak bisa
berbuat banyak terhadap tekad saudaranya. Tapi, mereka berjanji tidak akan
memberitahukan perihal penghianatan itu pada sang ibu.” Lelaki itu menghela
napas, sangking asyiknya bercerita ia lupa kalau permen di mulutnya sudah lama
lumat.
Aku kembali merogoh
saku celana, permen di saku celanaku pun sudah habis. Tiba-tiba aku khawatir
jika lelaki itu pergi begitu saja sebelum cerita yang ia ceritakan itu telak
sampai endingnya.
Lelaki itu masih diam.
Menoleh ke arahku, “Habis, ya, permennya?”
Sebelum aku menjawab
pertanyaan itu, peluit bertiup panjang, serupa jeritan. Kereta ekonomi menuju Jakarta
segera datang, para penumpang harus bersiap-siap. Entah kenapa, aku enggan
beranjak dari tempat dudukku. Enggan meninggalkan lelaki antik itu. Ketika
kereta berhenti tepat di hadapanku, mulutku menganga, terjerat dilema: apakah
aku harus pergi atau tetap tinggal?
Lelaki di sebelahku
masih terdiam. Ia memerhatikan lalu-lalang orang yang keluar dari gerbong-gerbong
besi itu. Mereka tampak seperti rayap yang keluar dari sarangnya. Menyebar ke
mana-mana.
Peluit panjang kembali
melolong, kereta akan segera di berangkatkan. Ketika kereta itu mulai berjalan
perlahan, dan kemudian hilang seperti dilesatkan, aku masih utuh, duduk di
tempat yang sama.
“Tenang saja, kereta
malam menuju Jakarta masih ada,” lelaki itu seperti membaca pikiranku. “Kau
masih mau mendengarkan kelanjutan ceritaku, kan?” imbuhnya lagi.
Aku mengangguk.
“Nah, pada suatu siang,
ketika sang ibu dan dua saudaranya yang lain masih mendengkur, ia bangkit
perlahan, membuka selimut, berjingkat, menggeser pelan-pelan daun pintu. Cahaya
hangat pun mulai resap ke dalam ruangan, menimpa ibu dan dua saudaranya yang
masih lelap. Yang tak pernah ia duga sebelumnya, tiba-tiba sang ibu berteriak,
begitu juga dua saudaranya. Cahaya hangat itu menimpa mata mereka. Semenjak
itu, ibu dan dua saudaranya tak bisa melihat apa-apa lagi, baik di siang hari
atau di malam hari. Dalam keadaan celaka itu, sang ibu pun mengutuknya,
menyerapahinya, hatta mengusirnya. Sang ibu tak sudi lagi mendengar suaranya,
hingga ia memutuskan untuk menjadi bisu. Kini, ia benar-benar menyesal. Tapi ia
tak benar-benar pergi dari rumah. Ia tak sampai hati meninggalkan ibu dan kedua
saudaranya yang buta.
“Di dalam rumah, anak
itu menjadi orang bisu yang mengurusi tiga orang buta. Untuk menghidupi ibu dan
kedua saudaranya, anak itu berkeliling ke banyak tempat, ke kota-kota, ke
stasiun-stasiun, dan menjadi juru dongeng. Satu dongeng yang paling sering ia
ceritakan adalah dongeng tentang kehidupannya sendiri.”
Lelaki itu terdiam. Air
mukanya kelam.
“Tunggu sebentar, aku
akan kembali dengan cerutu dan permen. Kau tunggu sebentar,” tuturku demi
mencairkan hawa kelam petang itu.
Beberapa saat kemudian,
ketika aku kembali ke tempat itu, lelaki itu sudah tidak ada di sana.
Barangkali ia ke kamar kecil, pikirku. Aku terus menunggunya. Satu jam hampir
berlalu dan lelaki itu masih belum kembali. Kecemasanku menjadi-jadi. Petang
lesap tertikam gelap. Hawa dingin kian pekat. Dan entah mengapa, aku masih
menunggu lelaki menyedihkan itu datang. Malam kian larut dalam hitam. Stasiun
makin sunyi. Hingga ketika peluit panjang itu kembali melolong, suaranya terasa
menyakitkan di telinga.
Kereta malam menuju Jakarta
sudah datang dan akan segera diberangkatkan. Cerutu dan permen di tanganku
masih utuh. Dan lelaki itu belum juga kembali. ***
Malang,
2013
0 komentar:
Posting Komentar