Tunggu aku di seberang jembatan, kiri jalan, di bawah pohon mangga, di
depan kios rokok Mbak Jum, nanti malam, tepat pukul delapan. Kios itu biasanya
tutup sebelum maghrib, jadi jangan khawatir, takkan ada orang yang melihatmu.
Ingat, pukul delapan malam, tepat. Jangan sampai terlambat.
Jadi, kusarankan, sebelum petang kau sudah mandi, supaya tidak
terburu-buru. Jangan lupa bawa barang-barangmu, barang-barang yang kau anggap
perlu saja. Tak usah bawa boneka segala. Itu tak penting. Dan lagi, tak usah
bawa pakaian terlalu banyak, yang nyaman kau pakai saja. Kalau pun mau bawa
novel untuk dibaca-baca, bawa satu saja, yang tebal sekalian, karena mungkin
nanti kau tak akan sempat membaca. Jadi, kalau bisa, persiapkan semua dari
sekarang, dan ingat jangan sampai ada orang tahu…
Itulah yang dikatakan
Martin siang tadi.
Kau tahu, aku dan Martin
berencana untuk kabur dari rumah, seperti yang dilakukan dua sejoli yang
kasmaran dalam roman-roman picisan. Ceritanya, besok pagi, sekitar pukul
sepuluh, Mami hendak mempertemukan aku dengan lelaki pilihannya. Sesuai rencana
Mami, mungkin kami akan bertukar cincin, dan itu Mami rencanakan supaya aku tak
lagi-lagi berhubungan dengan Martin. Maksud Mami, supaya Martin tahu bahwa aku
sudah jadi milik orang, cincin yang akan melingkar di jari manisku sebagai
tandanya. Oh, betapa naifnya mereka, tidakkah mereka sadar bahwa itu hanya
sebuah cincin. Bahkan anak di bawah umur pun tak jarang memakai cincin. Dan
kupikir, soal cincin yang dipakai sebagai tanda, itu semata karangan manusia,
jadi tak sesakral itu.
Mami tahu kalau aku tak
pernah setuju dengan lelaki pilihannya, tapi Mami memang manusia produk lama,
produk zaman Siti Nurbaya, jadi perjodohan semacam itu baginya sah-sah saja.
Sayangnya, Mami memilih lelaki yang salah. Kuakui, lelaki pilihan Mami memang
sempurna, ia tampan, beruang, dari keluarga terpandang, tapi seandainya Mami
bisa membaca tatapan—seperti yang kulakukan, mungkin Mami akan tahu bahwa
lelaki pilihan Mami itu memiliki mata srigala. Ketika kami bersitatap, aku
seperti melihatnya hendak menerkamku dan melumatku sampai ludas. Dan tentu saja
Mami tak pernah tahu, bahwa lelaki pilihannya adalah lelaki yang suka membawa
gadis-gadis ke hotel atau ke klub malam di akhir pekan.
Aku berkata demikian
bukan tanpa bukti, aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku juga
punya seorang teman yang pernah jadi teman kencannya di akhir pekan. Tentu aku
tak menceritakan semua itu pada Mami. Lagi pula Mami tak akan percaya, tentu
saja.
“Kalau kau tak suka
padanya, kau jangan mengarang-ngarang cerita, itu tak baik,” itulah yang akan
dikatakan Mami.
Jadi, jika malam ini aku
memutuskan untuk pergi dengan Martin, itu bukan salahku. Jika kau dihadapkan
pada dua pilihan, yang pertama kau hidup di sekeliling orang yang bisa
memberimu banyak hal tapi tak bisa memberimu rasa nyaman, dan kedua kau hidup
di dekat orang yang bisa memberimu rasa nyaman meski ia tak bisa memberimu
banyak hal, tentu saja, jika kau ‘normal’ kau akan memilih pilihan kedua. Rasa
nyaman adalah segalanya. Dan ia lebih mahal dari banyak hal. Jadi, sekali lagi,
aku telah memilih pilihan yang tepat untuk pergi dengan Martin. Ke mana saja ia
akan membawaku pergi, aku akan turut.
***
Sekarang sudah pukul
19.45, aku sudah duduk di depan kios rokok Mbak Jum yang sudah kukut sedari
tadi. Di sini sepi, dan dingin, dingin sekali. Seperempat jam lagi Martin akan
datang. Kubayangkan Martin datang dengan baju kotak-kotak biru hitam dengan jins tipis yang agak longgar hingga menutupi
sepatu. Ia datang dengan motor matic
yang biasa ia pakai. Di bagian depan motor ia akan meletakkan kopor kecil
berisi beberapa pakaian dan barang yang ia anggap penting. Lantas ia akan meluncur
dari jalanan yang paling gelap lagi lengang, cahaya dari lampu motornya seperti
dua sorot mata yang mengantarkan kabar gembira.
Oh, betapa, ia seperti
sesosok pangeran yang tiba-tiba muncul menyelamatkan seorang putri yang disandera.
Ia begitu tampan dan penuh kelembutan. Ketika ia melangkah, mengayunkan pedang,
dan bahkan ketika berkata-kata. Setelah mengalahkan para musuh, pangeran itu
akan membawa sang putri ke istananya dan kemudian menikahinya. Kisah yang
sempurna. Happy ever after. Oh,
Martin, tapi mengapa kau belum datang. Beberapa detik lagi, jarum panjang dan
jarum pendek akan bertumbuk pada angka yang sama: delapan, tepat. Bukankah tadi
kau bilang pukul delapan tepat?
Manusia bisa dan boleh-boleh
saja merencanakan banyak hal, tapi bukan ia yang memutuskan. Mungkin, Martin
berada dalam posisi itu. Bukankah bisa saja, ia berangkat dari rumah pukul
tujuh, dan sudah mempersiapkan semua. Tapi, di tengah jalan tiba-tiba ban motornya
bocor sehingga ia harus mampir ke tambal ban. Dan malam-malam begini, mencari
tambal ban mungkin akan sedikit sulit. Kalau Martin beruntung, mungkin ia akan
menemukan sebuah bengkel dan ia bisa membeli ban baru, tanpa harus menembel ban
yang bocor. Dan itu tentu akan menyita waktunya, hingga ia terlambat.
Atau kalau tidak, mungkin
ada beberapa barang penting yang ketinggalan, sehingga ia harus putar haluan
balik untuk mengambilnya, dan itu juga akan memakan waktu. Bukankah hal-hal
semacam itu bisa saja terjadi? Semua hal memang bisa saja terjadi pada manusia.
Manusia yang sebenarnya sangat rapuh tapi sok ampuh.
***
Angin bermain dengan
dedaunan pohon mangga di depan kios rokok Mbak Jum yang sepi. Iramanya begitu
menyeramkan, seakan-akan menciptakan sebuah dunia baru yang begitu dingin dan pendiam.
Kudukku berdiri. Entah mengapa, tiba-tiba aku membayangkan sesosok makhluk
besar berwarna hitam menuruni pohon mangga dan mendekapku dari belakang. Ya
Tuhan, apa yang harus kulakukan. O, Martin mengapa kau belum datang juga. Jika
terjadi sesuatu padaku, kau orang pertama yang harus bertanggung jawab.
Beberapa menit berlalu
dengan cara paling mengerikan, seperti makhluk-makhluk yang berjalan merangkak.
Dan Martin, ia belum juga datang, apa ia tidak sadar, ia sudah terlambat
setengah jam lebih. Lima belas kali pesan pendek kukirimkan, tapi pending. Sepuluh kali kucall tapi di luar jangkauan. Perlahan, rasanya
ada sesuatu yang bocor di dadaku: kekhawatiran. Persis seperti pipi sebuah ban
yang dicium paku payung di tengah jalan. Menempel dan kempes perlahan-lahan.
Kekhawatiran itu mulai menyebar, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Berpusat
di jantung. Membuatku tertegun.
Martin, tak seharusnya
kau terlambat lebih dari setengah jam. Apa kau sengaja mempermainkanku, atau
ada sesuatu yang di luar kuasamu. Entahlah. Tapi yang harus kau tahu, di sini,
seorang gadis tengah menunggumu dengan cemas yang luber sampai ke ujung kaki.
Ia menunggumu dengan setia. Ia kedinginan. Sesekali ketakutan oleh suara angin
yang mempermainkan daun. Kau tahu, bahkan ia sudah menahan pipisnya hampir satu
jam. Martin, kau tidak kasihan padanya, atau—sekali lagi, mungkin ada sesuatu
yang terjadi di luar kuasamu. Oh, lihatlah, gadis itu mulai menangis. Aku
menangis, meski tanpa suara.
***
Sekarang sudah pukul berapa,
Martin? Pukul sepuluh lebih. Tepatnya, pukul sepuluh lebih dua tujuh menit.
Mami sudah menelponku sembilan belas kali dan selalu kureject. Ia mengirim pesan lima kali dan tidak kubalas. Sekarang handphone kumatikan, kalau tidak, Mami
akan terus menelponku sampai aku mengangkatnya. Jadi, kumohon, cepatlah datang,
Martin. Karena aku tak mungkin kembali pulang. Aku sudah membuat pesan tertulis
untuk Mami yang mengatakan, bahwa aku dan kau akan pergi jauh. Jika aku pulang,
bukankah sama artinya dengan menelan muntahanku sendiri. Dan tentu saja, Mami
akan memarahiku habis-habisan. Sungguh alternatif yang buruk. Aku takkan
mengambilnya.
Aku sempat tertidur
beberapa menit, Martin. Dan sekarang nyaris pukul dua belas nol-nol. Lihatlah! Aku
menangis lagi, Martin. Kalau tadi menangis karena khawatir. Sekarang, aku
menangis karena takut, takut kehilanganmu. Dan nanti, jika sampai dini hari kau
belum datang juga, mungkin aku akan menangis lagi, menangis karena esok hari
aku akan jadi gelandangan. Aku lelah, Martin. Lelah menunggumu. Jadi, kau
datang atau tidak?***
Malang, Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar