Rasanya lama sekali kau
tidak melihat gadis itu. Dua tahun lalu, seusai tamat SMA, gadis itu berangkat
kerja ke kota dan meninggalkan ibunya yang sendiri, di kampung. Kini pada umur
dua puluh, gadis itu pulang kampung dengan perut mengembung. Ia hamil tua. Tanpa
suami. Ibunya yang kurus dan sakit-sakitan itu semakin tampak kurus dan renta.
Setiap kali melihatnya kau ingin menangis karena rasa iba.
Puluhan tahun lalu, kau
hampir gila karena perempuan itu, dan gadis yang sekarang hamil tua itu hampir
saja jadi anakmu. Namun, ibumu mengingatkanmu.
***
Perempuan itu memang
memiliki garis nasib yang kurang baik. Ia hidup seperti dalam liang yang
teramat pekat. Buruknya lagi, ia tak pernah pandai menyalakan cahaya, alih-alih
menyalakan cahaya, kau: satu-satunya lubang cahaya yang datang hendak menyinari
hidupnya yang pekat, malah ia tutup rapat-tapat. Sempurnalah ia dalam liang
gulita itu.
Perempuan itu memang tak
pernah mencintaimu. Bahkan ia telah hamil dengan lelaki lain, lelaki yang
dicintainya, lelaki yang mungkin telah kabur ke belahan dunia lain untuk
menghamili perempuan lain. Namun kau bersikeras hendak menikahi perempuan yang
hamil tanpa suami itu. Kata ibumu, jika kau masih bertekad menikahinya, maka
kau seperti mengorek sisa-sisa makanan di lubang sampah, sementara di meja
makanmu aneka makanal lezat lagi halal telah terhidang rapi. Atau barangkali,
kau terobsesi menjadi malaikat?
Perempuan itu hidup cuma
bertiga, dengan ibunya yang renta dan sakit-sakitan, dengan anak perempuannya
yang berusia satu tahun setengah, dan dengan dirinya sendiri. Jadilah ia
perempuan perkasa, perempuan yang merawat dua perempuan lain (ibunya yang pikun
dan anaknya yang balita) yang tak tak berdaya upaya. Demi itu, kau merasa iba
dan ingin menikahinya. Bahkan, karena perempuan gulita itu, kau jadi berani
menguntai balas kata-kata ibumu.
“Masih banyak perempuan
baik-baik di dunia ini, jadi jika ibu tidak merestuimu menikahi perempuan itu,
ibu pikir keputusan ibu tidak salah, toh
kalaupun bapakmu masih hidup, ibu yakin bapakmu juga akan menentang keras.”
“Tapi kasihan dia, Bu,
dia butuh seorang lelaki untuk mendampinginya,” balasmu.
“Iya, ibu sepakat, dia
memang butuh lelaki untuk mendampinginya, tapi itu bukan kamu. Ibu yakin,
lambat laun akan ada lelaki yang setara dengannya, yang akan menikahinya.”
Kau terdiam sejenak,
“Bahkan Kanjeng Nabi pun menikahi janda, Bu.”
“Lancang sekali kau
membawa-bawa nama Kanjeng Nabi, sama sekali bukan pada tempatnya jika kau
menyamakan istri Kanjeng Nabi yang mulia itu dengan perempuanmu itu.”
“Tapi aku hanya ingin
menyelamatkan hidupnya, Bu, agar hidupnya lebih baik.”
“Kau bisa menyelamatkan
hidupnya tanpa harus menikahinya.”
“Tapi bayi perempuan itu
kasihan, ia tak berdosa, ia tak tahu apa-apa. Mungkin akan baik jika aku
menjadi ayahnya.”
“Ayahnya bukan kamu,
ayahnya sudah kabur. Dan lelaki seperti itu memang pantas untuk perempuan
seperti itu.”
“Kumohon, ibu jangan
berkata begitu.”
“Mengapa kau melarang ibu
berkata begitu, tak bisakah kau bayangkan, seperti apa kehormatan seorang perempuan
yang rela disentuh begitu dalam oleh lelaki yang belum menikahinya. Dan anak
itu…, anak itu tetaplah hasil dari hubungan haram.”
“Ibu!” kau membentak
ibumu.
“Lihatlah, kau sudah
mulai membentak ibu.”
“Tapi ibu tak pantas
berkata begitu. Bagaimana pun anak itu adalah suci, ia bersih dan tak tahu apa-apa.”
“Ibu tak bilang anak itu kotor
atau najis, hanya saja anak itu lahir lantaran hubungan yang tidak suci, hubungan
haram, proses kejadian anak itu adalah proses yang cacat dari awalnya. Anak itu
seperti benih yang ditanam di lahan yang salah, di lahan orang, lahan yang tidak
hak. Tentu pohon itu akan baik-baik saja dan akan terus tumbuh, bila tiba
masanya pohon itu pun akan berbunga dan berbuah, tapi tetap saja, kau menenam
pohon itu di lahan yang salah, di lahan yang bukan lahanmu. Jika kelak kau
memakan buah pohon itu, kau sama seperti memakan buah curian, meski kau yang
menanamnya sendiri.”
Kau menatap wajah ibumu
yang begitu bara. Kata-kata itu seperti ujung tombak api yang menancap ke ulu
hatimu. Kau membisu.
“Sesuatu, jika
sudah salah dari awalnya akan melahirkan kesalahan yang semakin beranak pinak. Kesalahan
yang mungkin akan sangat sulit untuk kau ralat dan kau runut. Bahkan ibu tak
bisa membayangkan, apakah umur manusia yang pendek ini sanggup menebus
kesalahan yang sebesar itu,” tutur ibumu lagi.
Ibumu memang sangat keras
dalam hal prinsip. Kau tercenung, menunduk, menatap kedua kaki ibumu yang
tampak putih. Gelembung itu mendadak mengembang di pelupuk matamu.
Setelah terdiam beberapa
jenak, ibumu berujar lagi, “Jika kau bisa memulai sesuatu dengan bersih,
mengapa kau harus melibatkan sesuatu yang kotor di dalamnya.”
“Mungkin perempuan itu
memang kotor, tapi anak itu… ” kau coba menyela.
“Ibu tak mengatakan anak
itu kotor, hanya saja… ibu tak sampai hati melihatmu mengurusi anak yang bukan
anakmu, bahkan kelak, jika anak itu tumbuh besar dan menjadi seorang gadis,
tetap saja, anak itu lahir dari sesuatu yang salah. Dan dari pengalaman asam
garam, ibu telah banyak melihat tamsil bahwa anak-anak yang terlahir dari
sesuatu yang salah, ia cenderung akan berjalan ke jalan setapak yang salah
pula, dan sebaliknya seorang anak yang terlahir dari sesuatu yang hak, ia akan
lebih mudah untuk diarahkan ke jalan setapak yang hak juga.”
Kau masih tercenung.
Gelembung di pelupuk matamu menggenang dan luruh.
“Apa kata-kata ibu terlalu
keras? Apa kata-kata ibu terdengar seperti ceramah?”
Kau menggeleng, tersenyum,
dan beranjak dari dudukmu. Kau mendekati ibumu yang terduduk di hadapanmu. Kau
meraih kakinya, mencium tangannya, dan membaringkan tubuhmu di pangkuannya.
“Maafkan aku, Bu. Tapi
aku tak bisa melupakan perempuan itu,” kau sedikit terisak.
“Tapi perempuan itu bisa
dengan mudah melupakanmu, dan perangai perempuan seperti itu dapat ditebak,” balas
ibumu.
“Terkadang aku tak sampai
hati melihat hidupnya yang begitu keras.”
“Perempuan itu telah
belajar. Terkadang sesuatu yang manis di awal memang harus dibayar dengan
sesuatu yang pahit sepanjang hidup,” tutur ibumu lagi.
Kau pun meninggalkan
perempuan hamil itu, dan menikah dengan perempuan baik-baik yang dipilihkan
ibumu.
***
Puluhan tahun berlalu.
Kau hidup dengan seorang bidadari yang dipilihkan ibumu. Bidadari yang begitu pandai merawat taman-tamannya.
Kini kau dianugerahi dua
orang putra, yang seorang baru kelas lima SD, dan yang seorang lagi telah lulus
SMA. Putramu yang besar itu, kini tengah menimba ilmu di sebuah perguruan
tinggi di luar negeri. Ia mendapat beasiswa. Ia begitu tampan, santun, dan
cerdas. Beberapa kawan yang memiliki anak gadis selalu mencandaimu, menawarkan
gadis-gadis mereka untuk dinikahi putramu. Dengan seulas senyum yang diiringi
candaan ringan, kau akan menjawab, “Ia masih terlalu muda, biarlah ia puas menuntut
ilmu, kalau anak gadismu sanggup menunggu, tungggulah barang lima atau tujuh
tahun lagi.”
Sementara kau hidup
dengan bidadari dan kedua malaikatmu, di luar sana, seorang perempuan yang
kurus dan tampak renta—yang pernah mengisi relung jiwamu, hidup di dalam liang
yang semakin kelam dan pekat, bersama anak gadisnya yang hamil tua.***
Untuk para gadis yang suatu saat nanti akan menjadi
ibu.
Madiun, 2014
0 komentar:
Posting Komentar