Rumah kami dan rumah Wak
Karni bersebelahan, hanya bersekat pagar beluntas setinggi pinggang dan
beberapa pohon petai cina yang tak pernah berbuah. Rumah Wak Karni berlantai
dua, berwarna kuning muda, dan berubin keramik, sedangkan rumah kami berlantai
satu, sedikit reot, dan berubin tanah mentah. Jika ditilik secara saksama, dua
rumah itu akan tampak seperti gubuk dan istana yang bersandingan. Atau seperti tahi
lalat yang menempel di wajah cantik.
Di halaman rumah
kami—yang berpagar beluntas itu, sama-sama menganga dua buah kolam yang telah
lama kami manfaatkan untuk memelihara ikan. Sebelum pagar hidup itu membatasi
rumah kami, Bapak dan Wak Karni adalah saudara sepupu yang cukup karib.
Suatu ketika, mereka bekerjasama
hendak membuka sebuah usaha peternakan ikan. Bapak dan Wak Karni bahu membahu
menggali tanah di halaman rumah kami. Mereka saling membantu, semua pekerjaan
dikerjakan berdua, hingga dalam hitungan pekan, dua buah kubang selebar hampir delapan
meter telah menganga dan siap dimanfaatkan. Satu kubang di halaman rumah kami,
dan satu kubang lagi di halaman rumah Wak Karni.
Kubang itu pun segera
dialiri air dari sungai irigasi yang kebetulan mengalir melintasi halaman depan
rumah kami. Bapak dan Wak Karni yang mengurusnya. Benih gurami pun disebarkan di
dua kolam itu, pada hari yang sama, dengan jumlah yang sama. Tiada hari bagi
dua lelaki paruh baya itu kecuali berdua-duaan di pagi hari, atau di senja
hari, mengelilingi dua kolam di halaman rumah sambil mengobrol ringan dan
sesekali menabur-naburkan pakan ikan ke antero kolam.
Gurami-gurami yang mereka
ternakkan rupanya lebih cepat tumbuh dari yang mereka perkirakan, pada tiga
bulan pertama, gurami-gurami itu telah mekar sebesar telapak tangan orang
dewasa. Sesekali, Bapak atau pun Wak Karni menyerok satu dua ekor bilamana kami
membutuhkan lauk. Tepat dalam jangka waktu delapan bulan, gurami-gurami itu
telah melebar sebesar piring dan siap untuk dipanen. Pada panen musim pertama itu,
Bapak dan Wak Karni mendapatkan hasil melimpah yang tak pernah mereka bayangkan
sebelumnya. Bahkan hasil berternak gurami itu jauh lebih menguntungkan
ketimbang bertanam padi yang masa panennya 4 bulan sekali namun kerap dimakan
wereng dan tikus itu. Bapak dan Wak Karni membagi hasil keuntungan itu menjadi
dua. Dan berencana melanjutkan peternakan yang menguntungkan itu.
Hingga pada suatu petang,
Wak Karni mendatangi rumah kami dan mengajak Bapak membicarakan sesuatu. Tiba-tiba
Wak Karni mengutarakan maksudnya untuk menernak gurami secara individu, sendiri-sendiri.
Entahlah, alasan apa yang menyebabkan Wak Karni mengutarakan keputusan seperti
itu.
“Kita sudah cukup belajar
bagaimana berternak gurami, kupikir kita sudah bisa mencobanya sendiri-sendiri.
Maksudku, kita akan bisa melihat seberapa kemampuan kita masing-masing, dalam
mengurus kolam dan ikan-ikan itu. Aku tidak meragukan kemampuanmu, aku hanya
ingin mencoba kemampuanku sendiri, tidak apa-apa, kan? Kau tidak keberatan,
kan?” kata-kata Wak Karni tampak nyanyuk dan terbata.
Bapak hanya berdehem,
tentu ia tak bisa mencegah keinginan Wak Karni. Dan akhirnya mereka pun berpisah.
Beternak gurami sendiri-sendiri. Setelah memutuskan kerjasamanya dengan bapak,
Wak Karni melebarkan kolamnya tiga kali lipat—mengingat halaman rumahnya jauh
lebih luas ketimbang halaman rumah kami. Wak Karni membayar beberapa orang
untuk menggali kubang baru di halaman rumahnya, mengalirinya dengan air yang
sama, dan melepaskan benih-benih ikan yang sama pada hari yang sama dan dengan
jumlah yang sama per kolamnya.
Waktu pun berjalan, pekan
dan bulan seolah menjelma menjadi ikan-ikan kecil yang terus tumbuh dan
berenang-renang di dalam kolam kami. Bapak dan Wak Karni sudah mulai jarang
berdua-duaan lagi. Sesekali mereka masih berpapasan di halaman rumah ketika
tengah memberi makan ikan-ikan itu. Mereka semakin sedikit berbicara. Bulan
demi bulan pun mengantarkan kami ke masa panen. Ketika ikan-ikan itu dipanen,
terjadi suatu yang mengejutkan. Entah musabab apa, gurami-gurami yang dipanen
di kolam Wak Karni jauh lebih kecil ketimbang gurami-gurami hasil ternakkan Bapak.
Hasil panen dari satu kolam milik Bapak sama dengan hasil panen dua kolam milik
Wak Karni.
Wak Karni sempat heran dan kemudian kembali
mendatangi Bapak untuk menanyakan kira-kira apa yang membuat panen guraminya
kurang mulus. Tanpa menggurui, Bapak pun menjelentrehkan caranya beternak, caranya
memberi pakan, memberi gizi tambahan untuk ikan-ikan, mengatur aliran air, dan
sebagainya… Pada musim berikutnya benih-benih gurami pun kembali diternakkan,
pada waktu yang sama, dengan jumlah yang sama. Anehnya, ketika masa panen tiba,
hasil panen dari satu kolam milik kami nyaris sama dengan hasil dari tiga kolam
milik Wak Karni. Wak Karni mengalami panen yang lebih buruk dari musim
sebelumnya.
Entah mengapa, semenjak
itu Wak Karni tak pernah lagi mengajak Bapak bicara. Konon, di warung-warung
dan di pasar-pasar Wak Karni menebar desas-desus yang mengatakan bahwa Bapak
telah menumpahkan guna-guna ke kolam Wak Karni sehingga panennya selalu gagal.
Mendengar kabar itu Bapak hanya tersenyum simpul, dan merasa tak perlu
menanggapinya. Hingga suatu pagi, ketika bapak hendak memberi makan ikan-ikan
di kolam kami, bapak menemukan ratusan gurami yang belum siap panen itu telah membangkai
dan mengapung di permukaan kolam seperti cendol. Beberapa gurami yang masih sekarat
tampak menggelepar berputar-putar di antara ratusan bangkai lainnya sebelum
terdiam dan mengapung dengan mata mendelik seperti layaknya mata ikan.
Bapak yakin sekali,
seseorang telah menuang racun ke kolam kami. Karena, jika air irigasi itu
beracun, tentu ikan-ikan di kolam Wak Karni mengalami hal yang sama. Betapa
mendongkolnya hati Bapak ketika itu hingga ia nyaris menangis. Ratusan ikan itu
adalah nyawa, dan mereka melayang sia-sia. Mau tak mau ratusan ikan itupun terbuang
tanpa faedah.
“Aku tak tahu, siapa
orang yang tega melakukan ini, siapa pun itu, aku telah merelakannya, biar
Tuhan yang mengurus orang itu. Kedengarannya memang sangat remeh, hanya ikan-ikan,
tapi ikan-ikan itu adalah nyawa yang disematkan Tuhan, manusia tak bisa
melakukan itu, maka biar Tuhan saja yang mengurus orang itu,” ujar Bapak dengan
mata berkilat-kilat. Ketika itu, orang-orang tengah berkerumun di tepian kolam
dengan ratusan bangkai ikan itu, dan Wak Karni juga ada di sana dan ikut
mengikrarkan bela sungkawa dengan wajah tertekuk.
Bapak tak pernah menuduh
Wak Karni atau siapapun, tapi entah mengapa, jarak antara Bapak dan Wak Karni
terasa semakin jauh. Setelah peristiwa yang menyesakkan itu, Bapak mengalami
kerugian yang cukup besar hingga ia harus mengistiratkan kolamnya. Dan di
belakang kami, Wak Karni kembali menebarkan desas-desus busuk bahwa peristiwa
matinya ikan-ikan di kolam kami adalah hukuman dari Tuhan untuk kami. Sebagai
manusia biasa, Bapak pun tak bisa terus menerus menyabarkan hatinya. Satu hal
yang sangat tidak disukai Bapak dari Wak Karni adalah, ia terlalu pengecut, ia
selalu menutup mulutnya rapat-rapat di hadapan kami, dan kemudian membeo keras-keras
di belakang kami.
Karena tak kuasa lagi
membentengi kemarahannya, suatu petang, Bapak menemui Wak Karni yang tengah
memberi makan ikan-ikan di halaman rumahnya. Terjadilah adu mulut di antara
mereka. Nyaris saja dua lelaki paruh baya itu saling pukul seperti bocah cilik
yang rebutan mainan, kalau saja para tetangga tidak datang dan memisahkan
mereka.
Esok paginya, kami
mendapati istri Wak Karni tengah menancapkan ranting-ranting beluntas sebagai
pagar pembatas antara rumah kami. Seiring waktu, pagar beluntas itu pun kian
merimbun dan menjulang hingga setinggi pinggul orang dewasa. Wak Karni pun
masih meneruskan usaha berternak guraminya. Dan kami dengar, hasil panenan Wak
Karni tak pernah sebagus hasil panenan kami. Sementara itu, Bapak masih
mengistirahatkan kolamnya. Hingga suatu hari, pelanggan Bapak datang dan
menawarkan bantuan untuk Bapak, supaya Bapak bisa kembali memanfaatkan kolam di
halaman rumah yang telah lama menganggur itu.
Tepat hari itu—ketika
salah satu pelanggan Bapak datang dan bertamu ke rumah kami, kami mendengar
suara ramai-ramai dari rumah sebelah, dari rumah Wak Karni. Sesekali kami
mendengar tangisan dan jeritan. Sebagai kerabat yang cemas, sekaligus sebagai
tetangga yang baik, kami pun berlari tanpa peduli, menerobos pagar beluntas
yang menjulang memisahkan rumah kami. Di ruang tengah, di antara kerumunan
orang-orang, kami mendapati Wak Karni tengah terbaring dengan suara tercekik. Wajahnya
memerah dan matanya mendelik.
Kata istrinya, saat sarapan—dengan
lauk lalapan gurami, beberapa jam lalu, tulang gurami tersangkut di tenggorokan
Wak Karni dan tak dapat dikeluarkan. Beberapa orang mengusulkan supaya Wak
Karni lekas-lekas dibawa ke rumah sakit. Namun, sebelum tubuh Wak Karni yang
lemas itu dibopong ke dalam mobil, Wak Karni telah menghembuskan napas
terakhirnya. Istri Wak karni pingsan dan anak-anaknya menjerit tak karuan. Tak
seorang pun menganggap itu masuk akal. Bagaimana mungkin setangkai tulang ikan
dapat merenggut nyawa seseorang.
Sementara itu, Bapak
hanya bungkam, matanya redup namun berkilat-kilat serupa cermin retak. Mata Wak
Karni yang mendelik itu mengingatkan Bapak pada mata ratusan ikan yang
mengapung di kolamnya beberapa waktu silam.***
Malang, 2014
2 komentar:
Assalamualaikum....
Saya suka beberapa postingan di blog anda...
Saya ingin meminta izin utk dapat sya jadikan naskah teater jika berkenan
izin jadikan naskah teater
Posting Komentar